Jumat, 31 Desember 2010

Garuda (Pancasila) di Dadaku!

Kompas, Jumat, 24 Desember 2010


Oleh: AGUS DERMAWAN T

Dalam minggu-minggu ini kita tak henti melantunkan ”Garuda di Dadaku”, sepotong lagu dari grup Netral yang disadur dari nyanyian rakyat Papua, ”Apuse Kokondao”. Lagu itu selain untuk memberi semangat kepada tim nasional Indonesia yang tiba-tiba selalu menang, juga untuk memantulkan rasa nasionalisme kita yang ternyata tak pernah kikis.
Seraya menyanyi kita membusungkan dada yang dibungkus kaus merah bergambar Garuda Pancasila. Garuda di dadaku!
Dalam euforia sepak bola boleh jadi kita hanya berhenti di garuda ketika melihat gambar itu. Tak lagi kita perhatikan, apalagi ingat, bahwa Sang Garuda berbenak Pancasila yang melambangkan roh utama bangsa Indonesia. Kekhawatiran inilah yang kemudian memancing pasal gugatan seorang ahli hukum dengan menegaskan bahwa kesakralan Garuda Pancasila tak seharusnya tereber-eber di kaus sepak bola.
Namun, seraya menghormati gugatan si ahli hukum dan sambil ikut bersorak-sorai ala sepak bola, kita bisa menggunakan momentum berkibarnya lambang Garuda sebagai pengingat kembali hal ihwal yang berkait dengan Pancasila, sebuah fundamental foundation of state, sebuah Lebensanshauung bangsa yang telah dipakai 65 tahun lamanya. Pengingatan itu kontekstual bila masuk dari wilayah seni rupa.
Terindah di dunia
Dalam perupaan, nilai-nilai luhur Pancasila itu diformulasikan dalam lambang-lambang visual. Setiap sila lalu terepresentasi dalam gambar.
Semoga tidak seperti mengulang penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), bolehlah diingat bahwa sila ”Ketuhanan yang Mahaesa” diformulasikan dalam simbol bintang sebagai gambaran dari nur atau cahaya. Sila ”Kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam simbol rantai yang berangkai-rangkai. Sila ”Persatuan Indonesia” dalam simbol beringin, pohon tempat berlindung.
Sila ”Kerakyatan Indonesia yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan” digambarkan dalam simbol kepala banteng. Sila ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” disimbolkan dengan gambar padi dan kapas.
Gambar-gambar itu dimaktubkan dalam perisai. Perisai itu sebagai lambang dari penjaga jiwa tergantung di dada burung garuda. Jadilah lambang Garuda Pancasila.
Gambar perlambang ini sejak awal memang menarik, terutama dalam aspek irama bentuk atau komposisinya. Lambang berbentuk nyaris simetris dengan sayap yang dilukiskan mengepak halus. Gerakan sayap mencitrakan ke atas, diikuti dengan selempang Bhinneka Tunggal Ika yang melengkung seperenam lingkaran sehingga secara keseluruhan lambang ini dituntun oleh pola membulat yang mencitrakan kesempurnaan.
Garuda Pancasila akhirnya tampil dengan estetik. Sebagai lambang negara, Garuda Pancasila termasuk salah satu gambar lambang yang terbaik di dunia. Nilai itu selain diangkat oleh faktor penerapan simbol-simbolnya (jumlah bulu sayap yang 17, bulu ekor yang 8, dan bulu tubuh yang 45), juga oleh eksekusi estetiknya. Suatu hal yang menjadikan sang lambang punya nilai dekoratif.
Itu sebabnya, pada beberapa waktu lalu Armani Exchange (A/X), perusahaan mode internasional milik Giorgio Armani, mengeluarkan T-shirt berlambang Garuda Pancasila. Di situ lambang Pancasila dalam perisai sedikit diubah. Kepala banteng diganti dengan huruf ”A” dan pohon beringin diganti dengan huruf ”X”. Entah apa salahnya T-shirt apik yang sesungguhnya membanggakan kita itu dilarang beredar di Indonesia.
Bukan cuma perusahaan bernama harum yang berminat kepada Garuda Pancasila. Gerombolan busuk pun ingin memakai gambar itu sebagai bagian dari usahanya. Kelompok sindikat narkoba di Afganistan menggunakan gambar lambang Garuda Pancasila sebagai stempel hasil produksi olahan heroin.
Usaha yang melecehkan ini terbongkar pada tengah Februari 2010 dan membuat Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Jenderal Polisi Gories Mere melakukan penyelidikan serius.
Dikabarkan bahwa narkoba cap Garuda Pancasila itu diproduksi oleh gerilyawan Taliban yang beroperasi di Afganistan Selatan. Dalam kelompok Taliban ini diketahui memang ada orang-orang Indonesia yang dulunya bergabung dengan kelompok Mujahidin ketika Afganistan berperang melawan Rusia.
Dari Erlangga ke Soekarno
Sosok garuda memang menarik. Namun, siapa yang memilih burung garuda sebagai lambang negara? Ada yang mengatakan Muhamad Yamin dan Sultan Hamid II. Kala itu Yamin menjadi Ketua Panitia Lencana Negara dan Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara dalam Kabinet Indonesia Serikat.
Namun, versi lain mengatakan bahwa Presiden Soekarno adalah orang yang paling menentukan. Soekarno memiliki banyak referensi betapa garuda sejak dahulu kala telah dipakai oleh raja-raja besar. Raja Erlangga, misalnya, menggunakan lambang Garudamukha sebagai meterai kerajaan.
Dalam buku tentang lambang-lambang kerajaan yang terbit pada tahun 1483, tercantum gambar seorang raja Jawa yang naik di atas punggung burung besar seperti phoenix. Pada bagian lain, seorang raja Sumatera tampak mengendarai burung rajawali. Semua burung besar itu akhirnya disarikan sebagai burung garuda.
Soekarno memang termasuk orang yang suka sekali dengan sosok dan mitos burung garuda. Itu sebabnya, ia menamai penerbangan Indonesia pertama dengan Garuda.
Keyakinannya bahwa garuda adalah burung sakti dan perkasa milik Indonesia semakin terpaku kuat ketika ia membaca sajak Noto Suroto yang ditulis dalam bahasa Belanda. ”Ik ben Garuda, Vishnoe’s voegel, die zijn vleugels uitslaat hoog boven uw einladen” (Aku adalah Garuda, burung kendaraan Wisnu, yang membentangkan sayapnya menjulang tinggi di atas kepulauan). Karena itu, pada 28 Desember 1949, pesawat tipe Douglas DC-3 Dakota PK-DPD sumbangan pengusaha dan rakyat Aceh itu sudah memakai logo ”Garuda Indonesia Airways” di tubuhnya yang gemuk.
Kini lambang Garuda itu terpampang di dada puluhan ribu orang yang bertandang di Gelanggang Olahraga Bung Karno. Sungguh relevan: Garuda Pancasila di dadaku!
AGUS DERMAWAN T Penulis Buku-buku Seni Rupa

Selasa, 28 Desember 2010

Tol Semarang-Solo demi Gengsi

Kompas, Rabu, 29 Desember 2010



Oleh DJOKO SETIJOWARNO
Beberapa tahun silam, pejabat dan anggota DPRD Jawa Tengah serempak dan sepakat berkomentar, provinsi tetangga sudah punya jaringan tol lebih panjang. Di Jawa Tengah hanya ada jaringan tol di dalam Kota Semarang. Maka perlu dibangun Tol Semarang-Solo.
Sementara itu, ruas Tol Seksi II Gedawang-Susukan sekitar 4,6 kilometer dibangun di atas lahan baru, hasil pengeprasan bukit dan pengurukan jurang sedalam 20 meter-30 meter. Jalur ini dinilai jalur paling berbahaya karena rawan bencana lahan ambles. Padahal, ahli tanah, hidrologi, dan konsultan jalan tol sudah angkat tangan untuk mengatasi lahan patahan dan cekungan air tanah. Akibatnya tertunda terus peresmian ruas Semarang-Ungaran.
Pembangunan jalan tol, kecuali di Jakarta dan Surabaya, sesungguhnya belum menarik bagi investor. Hal ini disebabkan tak adanya kepastian pembebasan lahan dan jaminan seberapa besar jumlah kendaraan yang akan melintas di ruas jalan tol. Jalan tol setidaknya harus dilalui 22.000 kendaraan per hari.
Hal yang sama terjadi untuk ruas tol Semarang-Solo yang mulai digagas tahun 1987 dan mulai intensif digarap serius tahun 2000 oleh Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dengan mengajak Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk berinvestasi. Tak ada investor swasta yang tertarik dengan ruas ini. Dulu pernah ada beberapa investor yang berminat, lantas mengundurkan diri akibat dinilai tidak layak dan berisiko besar jika dibangun. Sesungguhnya hal itu menjadi cerminan bagi Pemprov Jateng tak harus memaksakan diri dan mengutamakan gengsi semata dengan membohongi publik. Jelasnya, hingga kini telah memberikan kesejahteraan buat oknum konsultan, oknum kontraktor, makelar tanah, oknum eksekutif dan oknum legislatif dari pemerintah pusat hingga daerah.
Munculnya kasus tanah di Jatironggo menunjukkan lemahnya pengawasan internal maupun eksternal di instansi terkait. Tak mungkin orang luar tahu akan data itu kalau tidak diberi informasi lengkap dari pihak internal. Sesungguhnya indikasi keterlibatan pihak dalam sebagai pemilik lengkap data sangat kuat sekali. Tinggal sekarang ini sejauh mana penyidik mau serius menangani kasus itu.
Sesungguhnya sejak awal beberapa kesalahan sudah dilakukan. Studi amdal tidak dilakukan dengan penuh kesungguhan. Informasi daerah zona merah atau daerah rawan bencana diabaikan. Tak ada niat tulus dari eksekutif maupun legislatif agar proyek ini benar-benar diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Kesalahan teknis tak akan separah seperti sekarang ini bila sejak awal penuh kecermatan dalam merancangnya. Ibarat pepatah, nasi sudah menjadi bubur, uang rakyat sudah telanjur banyak yang digunakan tak tepat sasaran.
Semestinya harus ada pihak yang bertanggung jawab. Jangan alam yang selalu disalahkan karena sejak awal sudah diinformasikan. Perencana tak mau belajar dengan Pemerintah Hindia Belanda ketika 146 tahun silam membangun jaringan jalan rel Semarang-Solo tak melintas daerah Ungaran, tetapi memilih melewati daerah Kabupaten Grobogan yang ternyata lebih aman dan lebih mudah pengerjaannya. Selain alasan kemudahan sumber angkutan barang (kayu jati, hasil perkebunan) juga alasan rawan bencana yang tak pernah dipelajari para ahli geoteknik. Perencana semestinya turut bertanggung jawab atas ketidakselesaian pekerjaan ini.
”Trace” alternatif
Sesungguhnya pada 2002 penulis mengusulkan untuk tak memilih trace yang sekarang. Pasalnya cukup banyak tantangan, tingkat kerusakan, dan dampak yang akan ditimbulkan setelah secara fisik dibangun. Namun, hal itu tak membuat Pemprov Jateng berubah pikiran.
Seandainya pilihan trace bersisian dengan jalan rel lintas Semarang-Solo, ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh.
Jalan rel sebagai median jalan tol membuat jalur rel lebih aman dari gangguan perlintasan sebidang liar. Biaya pembangunan bisa girit hingga 50 persen. Minim konflik sosial karena di sepanjang wilayah itu tak banyak permukiman dan tak banyak lahan yang harus dibebaskan. Minim calo tanah karena luas tanah yang tersedia sudah mencukupi sekitar 80 persen dari kebutuhan. Ekosistem lebih terjaga dengan baik karena tak ada bukit-bukit yang harus dikepras. Proses pengerjaan lebih mudah karena lokasi relatif datar. Ada sinergi antara jalan rel dan jalan tol dalam hal operasional nantinya. Namun, usulan itu tak menarik apalagi untuk dibahas lebih lanjut.
Pembangunan Tol Semarang-Solo lebih pada pencitraan berbagai pihak yang berkepentingan. Bukan berpihak pada kepentingan masyarakat untuk kesejahteraan. Ruas ini layak bila dikerjakan pada tahap akhir ketika semua ruas Tol Trans Jawa terbangun. Pada 2000, Bappenas mengingatkan melalui kajiannya, ruas Tol Semarang-Solo layak dibangun tahun 2020. Itu pun dengan kondisi volume lalu lintas kendaraan roda empat meningkat terus, bahan bakar minyak (BBM) tetap mendapat subsidi, kondisi perekonomian masyarakat terus meningkat. Padahal, dalam waktu 10 tahun setelah kajian itu, justru bertolak belakang dengan perkiraan kondisi awal. Jumlah sepeda motor meningkat terus. Lima tahun lalu, produksinya 2-3 juta unit per tahun, sekarang 7 juta unit per tahun.
Mulai 2011, kendaraan roda empat pelat hitam tidak mendapat jatah BBM subsidi. Kendaraan roda empat merupakan pemasok pendapatan bagi investor jalan tol selama ini. Bukan angkutan barang atau angkutan umum yang selain jumlahnya sedikit juga jarang yang masuk jalan tol. Sementara kemampuan atau daya beli masyarakat umumnya masih rendah.
Biaya pembebasan lahan dan pembangunan konstruksi jalan tol Semarang-Solo sepanjang 80 kilometer diperkirakan mencapai Rp 9 triliun. Seandainya dana itu mau dialihkan maka dapat untuk membangun jaringan transportasi umum beserta kelengkapannya di beberapa kota di Jateng. Sebagian dana juga dapat dimanfaatkan untuk mengaktifkan jalur kereta api (KA) yang nonaktif di Jateng sepanjang 600 km. Artinya akan banyak sekali masyarakat Jateng yang akan menikmati dana sebesar itu.
Buruknya perencanaan yang tak cermat sudah sepantasnya mendapat sanksi. Jangan kesalahan ditanggung rakyat dengan menyedot anggaran besar yang semestinya dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur lainnya. Kapan rakyat tak dibebani atas kesalahan pejabat yang lalai dan hanya semata mencari pencitraan untuk dirinya. Membangun jalan tol bukan semata karena gengsi, tetapi kemanfaatan buat publik sungguh-sungguh diutamakan.
DJOKO SETIJOWARNO Ketua Forum Perkeretaapian MTI Pusat, Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Semarang

Minggu, 19 Desember 2010

Mari Kita Berkumpul Sejenak




Penulis mengundang teman-teman untuk datang. 
Silakan datang. 
Apapun latar belakang teman-teman.

---------------
-------

Senin, 13 Desember 2010

Propaganda (dukungan) Acara Solo 18 Desember 2010

(komik dukungan sekaligus pengganti ketidak hadiran penulis dalam acara. 
Tidak resmi. 
Hanya bisa mendukung dari jauh)







ruang17
———–
Arsitektur selayaknya menjangkau dan terjangkau oleh seluruh -wilayah- lapisan masyarakat, tak terkecuali dengan acara arsitektur yang, seperti yang kita tahu, jakarta-bandung adalah kota ‘pusat’ acara. Acara ruang17 kali ini mencoba mencoba untuk tidak terikat pada tempat, tujuannya; menghilangkan batas antara pusat dan tepi ketika semua dapat terjadi bersama.

Acara:
presentasi dan diskusi -ARSITEKTUR PASCA BENCANA- bersama Eko Prawoto




presentasi `Print Culture of Architecture’ bersama Rampakasli (Hafiz Amirrol, Edy Subangkit, Michael Lengkey and Firman Irmansyah)

pameran fotografi dan print culture of architecture

accoustic performance bersama i-coustic

penggalangan bantuan bencana*


Waktu dan Tempat:
sabtu 18 desember 2010
pkl : 18:30 – 21:30
@ studio genesis solo
JL.Anggur 7 / no.12 jajar surakarta


Tulisan ambil darihttp://ruang17.wordpress.com/

Ada juga di: 

Rabu, 08 Desember 2010

IN PROCESS - Budi Pradono 20102010

(disadur dari buku panduan pameran)
 
Mengapa arsitek memerlukan jam terbang yang panjang seperti pilot pesawat? Atau nafas yang panjang seperti pelari marathon? Itulah yang membedakan arsitek dengan seniman murni. Seorang pelukis adalah seorang yang merdeka,bergumul melawan dirinya sendiri. Jika orang di luar diri si seniman tidak memahami nilai keindahan dan makna dari sebuah lukisan, itu bukann persoalan besar karena produk lukisan yang menjadi karya seni tadi tidak terkait langsung dengan fungsi ruangan berikut jenis aktivitasnya, meskipun dapat dijadikan bagian dari dekorasi ruangnya.

Tidak ada kaum borjuis yang mengarahkan lukisannya sehingga sang seniman memiliki kebebasan tanpa batas. Ini pula yang membedakannya dengan arsitek dalam merealisasikan gagasan. Di alam bawah sadarnya, seorang arsitek berpikir tentang kewajibannya memproses ide dalam media gambar, maket model tiga dimensi, komputer rendering dan sebagainya sebagai alat komunikasi dengan kliennya atau masyarakat umum.

Seorang yang membeli gagasan abstrak dari arsitek kadang-kadang menuntut banyak hal supaya sesuai dengan kebutuhannya atau imajinasinya, baik mengenai luas ruang, bentuk bangunan, material, sampai susunan ruangannya. Bahkan kadangkala harus disesuaikan dengan aspek feng-shui. Bila diibaratkan dengan pelari marathon, seringpula arsitek harus berlari beberapa putaran lagi guna mencapai titik kesepahaman atau kompromi yang dapat diterima pihak lain (klien). Jika tidak banyak latihan, tentu saja bisa terjatuh di tengah jalan. Jam terbang seorang pilot maupun arsitek memiliki  beberapa kesamaan, salah satunya adalah melatih kesabaran dan intuisi dalam melakukan berbagai manuver menembus awan belantara, membaca kompas dan arah angin supaya pesawat bisa tetap melaju kencang. Kemerdekaan arsitek akhirnya tinggal sebesar jari kelingking dibandingkan ide awalnya yang sebesar awan di langit. Belum lagi kompromi teknis dengan ahli struktur yang mengharuskan arsitek berpikir pragmatis dan praktis. Dalam proses perancangan ini imajinasi seorang arsitek harus ditransformasikan ke dalam imajinasi masyarakat, agar kualitas ruang yang dibayangkannya dapat dipahami. Media maket menjadi salah satu jembatan antara imajinasi sang arsitek dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat.

Maka ketika saya belajar dari perbedaan tersebut, sebuah proses kreatif arsitek yang panjang dan berliku-liku ternyata memiliki keindahannya tersendiri. Saya kemudian sadar bahwa ide dan gagasan besar dalam satu bangunan terdiri dari sekumpulan ide-ide kecil yang banyak sekali. Meskipun tantangan desain arsitektur menuntut saya untuk terus berinovasi, ketika proses merancang dimulai, ada beberapa aspek kompromi dan dialog yang harus diakui dan ternyata mampu menghasilkan hal mencengangkan serta tak terduga.

Saya pun harus lebih fleksibel dalam menyikapi peraturan, menyiasati program fungsional, eksplorasi material, kombinasi atau komposisi berbagai material dan semua itu mengarahkan pada sesuatu yang akan dicapai kemudian, baik kualitas ruang fisik maupun implisit. Tahapan tersebut tidak saja bagian dari implementasi konsep dari arsitek tetapi juga termasuk perjalanan prosesnya yang selalu tarik menarik dalam bentuk negosiasi praktis dengan kebutuhan end-user yang memiliki kriteria spesifik pada setiap ruang. Maka spesifikasi pragmatis dari end user tetap harus diterjemahkan secara estetik demi menghasilkan suatu komposisi aransenmen yang indah, unik dan personal.

Dengan memperhatikan proses sebuah karya rancangan sejak awal hingga akhir dapat memberikan inspirasi bagi proyek berikutnya. Inilah yang mendasari mengapa saya ingin menampilkan pameran bertajuk 'In Process'. Proses dalam merancang arsitektur ternyata sangat lama dibandingkan dengan proses kreatif dari disiplin lain. Dalam dunia arsitektur, peran arsitek adalah menciptakan dan mengolah ide dasarnya dulu, baru setelah itu dikomunikasikan pada ahli lainnya, seperti ahli sruktur, ahli mekanikal elektrikal dan sebagainya. Saya sadar bahwa integrasi antar berbagai disiplin sangat diperlukan tidak saja di atas kertas tetapi juga di lapangan. Dalam era globalisasi seperti saat ini, saya juga mulai berperan dalam beragam proyek di luar negeri yang mengharuskan saya untuk melakukan justifikasi agar menyerap perbedaan bahasa dan budayanya. Akhirnya saya semakin sadar bahwa arsitektur adalah seni desain yang universal, bahasa gambar menjadi perekat dialog antar perbedaan tersebut.
Saya selalu ingin menggunakan material-material lokal yang lemah yang rentan terhadap cuaca, yang sudah pernah digunakan oleh manusia sejak dahulu seperti tanah liat, bambu, batu ,kerikil, bata ,dan seterusnya yang dikombinasikan dengan material industri seperti baja maupun kaca. Eksplorasi ini tentu saja memerlukan intensitas maupun kepekaan tehadap material.
Ruang Ambigu
Di sisi yang lain saya ingin mempertahankan hubungan antara lingkungan dan bangunan(arsitektur), terutama karena saya tumbuh di negara tropis, saya ingin merelatifkan hubungan dengan alam dengan cara melubangi, atau membuat dinding menjadi sedikit porous sehingga dengan begitu sebenarnya menghasilkan ruang dalam yang sangat menarik. Sejatinya di negara kita yang matahari bersinar setiap waktu menginspirasikan bahwa sebenarnya batas ruang luar dan dalam dapat direlatifkan atau tidak perlu dibatasi dengan sesuati yang terlalu rigid, atau bisa menyatu dengan  alam. Efek dari berbagai material menghadirkan bayangan maupun pantulan baik dari dalam kaca maupun air. Kualitas ruang inilah yang saya sebut ambigous space, ruang yang ambigu. Ruang ini hidup karena bayangan yang hadir sehingga memiliki dimensi ke empat yaitu waktu, cahaya,dan bayangan.

Pada beberapa proyek, saya sudah berusaha memanfaatkan teknologi laser cut, mesin yang dapat memotong baja dengan halus sehingga dapat menghasilkan ambigous space yang indah. Ruang inilah yang saya hargai sebagai jembatan antara bangunan (arsitektur) dan alam.

Kualitas suasana ruangan ini selalu berubah bergantung dari parameter pencahayaan luar ruang maupun pencahayaan dari dalam. Saya mengunjungi Hiroshige Ando Museum di Tochigi satu jam dari luar kota Tokyo, beberapa kali dalam musim dan waktu yang berbeda-beda, saya mendapati bahwa kualitas yang ditawarkan selalu berubah dan selalu baru. Hal ini karena kualitas pencahayaan pada tiap musim berbeda-beda.

Ruang ambigu didefinisikan oleh sesuatu yang intangible yaitu bayangan, pencahayaannya, pantulan dan pergerakannya. Pergerakan dari bayangan material dari pagi ke siang hari berbeda dengan pergerakan bayangan dari siang hari ke sore.

Bagi saya dinding masif meletakkan sebuah batas yang terlalu keras, seperti memisahkan suatu tempat dengan tempat lainnya. Batas yang rigid bagi saya kurang memberikan kesempatan untuk berdialog antara alam dengan arsitektur yang saya ciptakan, dimana ada dialog yang intens antara ruang dalam dan ruang luar, ada transfer informasi antara keduanya. Seperti kertas shoiji pada bangunan tradisional jepang yang memberi kesegaran penerangan ke dalam ruang atau sebaliknya interior sebuah bangunan bisa membagikan bayangan ke luar bangunan di saat sore hari atau malam hari. Sebuah pertukaran informasi yang membutuhkan sinar sebagai medianya. Saya ingin menggunakan pertukaran informasi seperti saat ini yang membentuk arsitektur sehingga pelingkup ruang perlu dipertanyakan kembali porousitasnya, atau materialnya sehingga relasi yang misterius antara manusia dan alam akan tetap ada.

Pelingkup dari sebuah ruang adalah alat penetrasi informasi dari lingkungan di luar. Jika kita mendapatkan pelubangan pada pelingkup tersebut, maka pelingkup tersebut telah menjadi media sebagai penetrasi informasi baik itu berupa pencahayaan maupun segala partikel di udara. Media inilah sebagai kulit kedua yang sebenarnya dapat diolah kembali, dilukai, diberi pola perlubangan yang bermacam-macam hingga menjadi saringan bagi hadirnya pencahayaan ke dalam bangunan.

Dalam menghadirkan ruang ambigu ini, saya juga tidak segan untuk mempertanyakan kembali atap yang selalu tertutup rapat sehingga kita perlu pencahayaan buatan. Pada proyek R-house dan H-house atapnya sebagian telah diganti dengan rumput untuk mereduksi panas dan sekaligus menghijaukan kota tapi beberapa bagian cenderung dibuka dan diberi artikulasi kaca dan metal sehingga mampu menghasilkan pencahayaan alami ke dalam rumah sekaligus menghadirkan suasana ruang yang misterius ini.

Saya juga sangat menghargai prosesi. Bagi saya proses perjalanan manusia memahami kualitas ruang yang berbeda-beda hampir selalu ada dalam arsitektur yang saya ciptakan. Dengan artikulasi pada pencahayaannya. Ini menghasilkan drama, seperti musik. Ini dapat dirasakan seperti pada proyek ISSI vila di Bali, R-house, dan Kencana House di Jakarta. Orang yang datang ke tempat tersebut selalu diajak untuk menyelami dan menghayati ruang yang selalu berubah suasananya.


Oleh sebab itulah dalam konsep pameran ini, saya ingin menampilkan berbagai dokumentasi baik dalam bentuk sketsa, film, maket sampai catatan-catatan harian seperti artefak. Konsep ini sangat sesuai dengan karakter lokasi dimana pameran ini diselenggarakan yaitu di Museum Mandiri, Jakarta Kota. Disamping itu, hal paling penting bagi saya adalah memberi kesempatan bagi diri saya untuk ber-moratorium, menyelami kembali proses berarsitektur itu sendiri sehingga saya tetap dapat memahami kebutuhan kekinian sekaligus melakukan eco critic. Karena sebuah bangunan memiliki cerita-nya masing-masing. maka pameran ini pun menampilkan 13 proyek yang berbeda yang memiliki keunggulannya masing-masing. Sebagian besar yang ditampilkan di sini adalah proyek yang belum dan hampir selesai, dengan rentang waktu antara enam bulan sampai tujuh tahun. Jika proyek ini sudah selesai, saya yakin bahwa dokumentasi proses perancangan dan implementasinya menjadi sesuatu yang sangat berharga. Dengan demikian, saya memiliki harapan bahwa pameran ini dapat memberi motivasi serta inspirasi tidak saja untuk generasi muda tetapi juga bagi masyarakat dunia.

Budi Pradono 20.10.2010


   




















Senin, 06 Desember 2010

Sayembara Perpusnas - Antara harapan dan kenyataan

Gedung Graha Cipta 3 Taman Ismail Marzuki, Minggu sore kemarin (5/12) cukup ramai pengunjung. Di depan terpampang spanduk bertuliskan Pameran Arsitektur 70++. Apa ini maksudnya? Ternyata di dalam sedang diadakan penutupan pameran 79 karya arsitek-arsitek yg mengikuti Sayembara Konsep Desain Perpustakaan Nasional.

Antara Harapan dan Kenyataan
Disela-sela acara penganugerahan berbagai kompetisi yang digelar Perpustakaan nasional itu diadakan Talkshow arsitektur menanggapi Sayembara Konsep Desain Arsitektur Perpusnas itu, dengan pembicara Budi Sukada dan Ahmad Djuhara.  Ahmad juhara mengawali dengan menceritakan judul talkshow "antara harapan dan kenyataan". Sangat khas, dan provokatif, mengingat banyak sayembara diadakan tp jarang yg kemudian dibangun, atau dibangun tapi melibatkan pemenangnya dengan intervensi yg besar sehingga hasilnya berbeda.
Budi Sukada yg juga anggota dewan juri, menanggapi sayembara ini sebagai cara terbaik untuk mendapatkan yang terbaik di antara yang terbaik.  Kompetisi semacam ini sangat baik bagi para arsitek karena dengan begitu profesi ini terhindar dari praktik penunjukkan langsung. Apalagi untuk sebuah bangunan pelayanan publik, haruslah secara fair didapatkan dari yg terbaik. Sejarah Sayembara Arsitektur kita sebenarnya sudah ada sejak jaman Soekarno. Ya, masa itu berbagai bangunan publik yg berdiri hingga saat ini didapatkan dari sebuah sayembara.
Tetapi , patut dicatat juga adanya kemungkinan justru yang terbaik itu terlewat dari pengamatan juri. Ahmad Djuhara kemudian memberi contoh bangunan hasil sayembara seperti Sydney Opera House karya John Utzon ,justru dipungut dari tempat sampah kemudian jadi pemenangnya.

Hasil sayembara bukanlah sesuatu yg terbaik diantara yg terbaik, tapi yang terbaik menurut juri-lah pemenangnya. Nah, kemudian muncul banyak motif yg mendasari arsitek-arsitek mengikuti sayembara arsitektur. 

Budi Sukada menjelaskan ada dua jenis motif arsitek mengikuti sayembara. Yang pertama yaitu ikut sayembara karena ingin menang. Tidak jarang seorang arsitek jauh-jauh sebelum ia membuat karya, ia melihat dulu siapa juri-jurinya. Juri A itu suka dengan konteks urban, juri B suka dengan konteks budaya, juri C dengan ini ,itu dan sebagainya. kemudian merancang dengan patokan-patokan itu supaya menang.

Sedangkan tipe yg kedua adalah, arsitek yg ikut sayembara karena hanya ingin ikut serta, berkontribusi dengan penyelesaian menurut arsitek itu sendiri. Ahmad Juhara menceritakan teman seperjuangannya, mamo (adi purnomo), yg ikut sayembara karena selalu ingin membongkar TOR sayembara itu.

Sayembara terbuka memang cara yg sangat fair, terlebih di dalam dunia arsitektur yg agak teknis. Ada sayembara yg mensyaratkan seseorang harus memiliki surat keahlian terlebih dulu, tapi biasanya ide-ide cemerlang justru muncul dari orang-orang yg masih muda, yg di benaknya masih belum tekurung berbagai macam aturan. "Dengan sayembara ini saya tentu harus siap untuk kalah, walaupun harus siap untuk menang juga". Tambah Djuhara. Coba bayangkan betapa malunya jika orang yg lebih tua kalah dari orang yg lebih muda. Tapi inilah cara yg lebih adil.

Talk show kemudian dilanjutkan dengan pengumuman pemenang berbagai macam sayembara yg diselenggarakan perpusnas. Pada kesempatan yg membahagiakan itu teman kita Gideon Richie Santoso dkk(Diaz Drie U. dan Y.Bosko W) memperoleh penghargaan Juara 3 Lomba Sculpture Perpusnas. Selamat!

Berikut ini beberapa foto suasana dan karya-karya peserta sayembara konsep desain arsitektur perpusnas tsb.
Para Pemenang Sayembara Konsep Desain Arsitektur Perpusnas
Para Pemenang Lomba Sculpture






Juara 1