Sabtu, 27 November 2010

Pidato Anak 12 Tahun Tentang Masa Depan Dunia

  
(izinkan cafestudiodelapan membantu meneruskan yang sudah diteruskan)


Cerita ini berbicara mengenai seorang anak yg bernama Severn Suzuki seorang anak yg pada usia 9 tahun telah mendirikan Enviromental Children's Organization ( ECO ).

ECO sendiri adalah Sebuah kelompok kecil anak" yg mendedikasikan diri Untuk belajar dan mengajarkan pada anak" lain mengenai masalah" lingkungan.

Dan mereka pun diundang menghadiri Konfrensi Lingkungan hidup PBB, dimana pada saat itu Seveern yg berusia 12 Tahun memberikan sebuah pidato kuat yg memberikan pengaruh besar ( dan membungkam ) beberapa pemimpin dunia terkemuka.

Apa yg disampaikan oleh seorang anak kecil ber-usia 12 tahun hingga bisa membuat RUANG SIDANG PBB hening, lalu saat pidatonya selesai ruang sidang penuh dengan orang" terkemuka yg berdiri dan memberikan Tepuk Tangan yg meriah kepada anak berusia 12 tahun.

Inilah Isi pidato tersebut: (sumber The Collage Foundation)


 ---------------------------------------




Halo, nama Saya Severn Suzuki, berbicara mewakili E.C.O - Enviromental Children Organization

Kami Adalah Kelompok dari kanada yg terdiri dari anak" berusia 12 dan 13 tahun. Yang mencoba membuat Perbedaan: Vanessa Suttie, Morga, Geister, Michelle Quiq dan saya sendiri. Kami menggalang dana untuk bisa datang kesini sejauh 6000 mil. Untuk memberitahukan pada anda sekalian orang dewasa bahwa anda harus mengubah cara anda, Hari ini Disini juga. Saya tidak memiliki agenda tersembunyi. Saya menginginkan masa depan bagi diri saya saja.

Kehilangan masa depan tidaklah sama seperti kalah dalam pemilihan umum atau rugi dalam pasar saham. Saya berada disini untuk berbicara bagi semua generasi yg akan datang.

Saya berada disini mewakili anak" yg kelaparan di seluruh dunia yang tangisannya tidak lagi terdengar.

Saya berada disini untuk berbicara bagi binatang" yang sekarat yang tidak terhitung jumlahnya diseluruh planet ini karena kehilangan habitat nya. kami tidak boleh tidak di dengar.

Saya merasa takut untuk berada dibawah sinar matahari karena berlubang nya lapisan OZON. Saya merasa takut untuk bernafas karena saya tidak tahu ada bahan kimia apa yg dibawa oleh udara.

Saya sering memancing di di Vancouver bersama ayah saya hingga beberapa tahun yang lalu kami menemukan bahwa ikan"nya penuh dengan kanker. Dan sekarang kami mendengar bahwa binatang" dan tumbuhan satu persatu mengalami kepunahan tiap harinya - hilang selamanya.

Dalam hidup saya, saya memiliki mimpi untuk melihat kumpulan besar binatang" liar, hutan rimba dan hutan tropis yang penuh dengan burung dan kupu". tetapi sekarang saya tidak tahu apakah hal" tersebut bahkan masih ada untuk dilihat oleh anak saya nantinya.

Apakah anda sekalian harus khawatir terhadap masalah" kecil ini ketika anda sekalian masih berusia sama serperti saya sekarang?

Semua ini terjadi di hadapan kita dan walaupun begitu kita masih tetap bersikap bagaikan kita masih memiliki banyak waktu dan semua pemecahan nya. Saya hanyalah seorang anak kecil dan saya tidak memiliki semua pemecahan nya tetapi saya ingin anda sekalian menyadari bahwa anda sekalian juga sama seperti saya!

Anda tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki lubang pada lapisan ozon kita. Anda tidak tahu bagaiman cara mengembalikan ikan-ikan salmon ke sungai asalnya. Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan binatang-binatang yang telah punah.

Dan anda tidak dapat mengembalikan Hutan-Hutan seperti sediakala di tempatnya yang sekarang hanya berupa padang pasir.. Jika anda tidak tahu bagaima cara memperbaikinya. TOLONG BERHENTI MERUSAKNYA!

Disini anda adalah deligasi negara-negara anda. Pengusaha, Anggota perhimpunan, wartawan atau politisi - tetapi sebenernya anda adalah ayah dan ibu, saudara laki" dan saudara perempuan, paman dan bibi - dan anda semua adalah anak dari seseorang.

Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa kita semua adalah bagian dari sebuah keluarga besar, yang beranggotakan lebih dari 5 milyar, terdiri dari 30 juta rumpun dan kita semua berbagi udara, air dan tanah di planet yang sama - perbatasan dan pemerintahan tidak akan mengubah hal tersebut.

Saya Hanyalah seorang anak kecil namun begitu saya tahu bahwa kita semua menghadapi permasalahan yang sama dan kita seharusnya bersatu untuk tujuan yang sama.

Walaupun marah, namun saya tidak buta, dan walaupun takut, saya tidak ragu untuk memberitahukan dunia apa yang saya rasakan.

Di Negara saya, kami sangat banyak melakukan penyia-nyiaan, kami membeli sesuatu dan kemudian membuang nya, beli dan kemudian buang. walaupun begitu tetap saja negara" di utara tidak akan berbagi dengan mereka yang memerlukan. Bahkan ketika kita memiliki lebih dari cukup, kita merasa takut untuk kehilangan sebagian kekayaan kita, kita takut untuk berbagi.

Di Kanada kami memiliki kehidupan yang nyaman, dengan sandang, pangan dan papan yang berkecukupan - kami memiliki jam tangan, sepeda, komputer dan perlengkapan televisi.

Dua hari yang lalu di Brazil sini, kami terkejut ketika kami menghabiskan waktu dengan anak" yang hidup di jalanan. Dan salah satu anak tersebut memberitahukan kepada kami: " Aku berharap aku kaya , dan jika Aku kaya, Aku akan memberikan anak" jalanan makanan, pakaian dan obat-obatan, tempat tinggal . dan Cinta dan Kasih sayang " .

Jika seorang anak yang berada dijalanan yang tidak memiliki apapun, bersedia untuk berbagi, mengapa kita yang memiliki segalanya masih begitu serakah?

Saya tidak dapat berhenti memikirkan bahwa anak" tersebut berusia sama dengan saya , bahwa tempat kelahiran anda dapat membuat perbedaan yang begitu besar. bahwa saya bisa saja menjadi salah satu dari anak" yang hidup di Favellas di Rio; saya bisa saja menjadi anak yang kelaparan di Somalia ; seorang korban perang timur tengah atau pengemis di India .

Saya hanyalah Seorang anak kecil namun saya tahu bahwa jika semua Uang yang dihabiskan untuk perang dipakai untuk mengurangi tingkat kemisikinan dan menemukan jawaban terhadap permasalahan alam, betapa indah jadinya dunia ini.

Di sekolah, bahkan di taman kanak-kanak anda mengajarkan kami untuk berbuat baik. Anda mengajarkan pada kami untuk tidak berkelahi dengan orang lain. Mencari jalan keluar, membereskan kekacauan yang kita timbulkan. Tidak menyakiti makhluk hidup lain, Berbagi dan tidak tamak..

Lalu mengapa anda kemudian melakukan hal yang anda ajarakan pada kami supaya tidak boleh dilakukan tersebut?

Jangan lupakan mengapa anda menghadiri Konfrensi ini. mengapa anda melakukan hal ini - kami adalah anak" anda semua , Anda sekalianlah yang memutuskan dunia seperti apa yang akan kami tinggali. Orang tua seharus nya dapat memberikan kenyamanan pada anak" mereka dengan mengatakan " Semuanya akan baik-baik saja ". 'kami melakukan yang terbaik yang dapat kami lakukan' dan ' ini bukanlah akhir dari segalanya'

Tetapi saya tidak merasa bahwa anda dapat mengatakan hal tersebut kepada kami lagi. Apakah kami bahkan ada dalam daftar prioritas anda semua? Ayah saya selalu berkata ' kamu akan selalu dikenang karena perbuatan mu bukan oleh kata" mu '

Jadi, apa yang anda lakukan membuat saya menangis pada malam hari. kalian orang dewasa berkata bahwa kalian menyayangi kami.

Saya menantang A N D A , cobalah untuk mewujudkan kata" tersebut.

Sekian dan terima kasih atas perhatian nya.

 -------------------------------

Servern Cullis-Suzuki telah membungkam 1 ruang sidang Konfrensi PBB, membungkam seluruh Orang" penting dari seluruh dunia hanya dengan pidatonya, setelah pidato nya selesai serempak seluruh Orang yang hadir diruang pidato tersebut berdiri dan memberikan tepuk tangan yang meriah kepada anak berusia 12 tahun.

dan setelah itu ketua PBB mengatakan dalam pidato nya..

" Hari ini Saya merasa sangatlah Malu terhadap Diri saya sendiri karena saya baru saja disadarkan betapa penting na linkungan dan isi nya disekitar kita oleh Anak yang hanya berusia 12 tahun yang maju berdiri di mimbar ini tanpa selembar pun Naskah untuk berpidato, sedang kan saya maju membawa berlembar naskah yang telah dibuat oleh assisten saya kemarin… Saya ... tidak kita semua dikalahkan oleh anak yang berusia 12 tahun "


Severn Suzuki, Anak umur 12 Tahun yang mengingatkan tentang masa depan dunia.





------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ *Tolong sebarkan tulisan ini ke semua orang yang anda kenal, bukan untuk mendapatkan nasib baik atau kesialan kalau tidak mengirimkan, tapi mari kita bersama-sama membuka mata semua orang di dunia bahwa bumi sekarang sedang dalam keadaan sekarat dan kita-lah manusia yang membuatnya seperti ini yang harus bertindak untuk mencegah kehancuran dunia.



*(Copyright from: Moe Joe Free)* 

Jumat, 26 November 2010

Mengenang Operasi Studio 7

Studio 7 adalah kegiatan 'semi jurnalistik' 
mahasiswa arsitektur Unika Soegijapranata Semarang.
Awaknya berjumlah 5-6 orang.
Produknya adalah poster mading 
 dirilis tiap sebulan sekali.

Studio 7 adalah bentukan dari Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ).
Dibentuk tahun 2006.
Dana operasional diangggarkan dalam program HMJ.
Materi poster diserahkan sepenuhnya pada awak 
yang 4 diantaranya non pengurus HMJ 
(malah oposisi HMJ, termasuk penulis sendiri). 






Poster Perdana.

Ketika pertama kali tayang.


Tim Studio 7 senantiasa jalan-jalan dan menyusupi kegiatan.
Itulah hal termudah dan menyenangkan untuk belajar arsitektur.
Bisa mengenal bermacam orang, 
menggali berbagai informasi, 
merasakan karya-karya arsitektur.

Salah satu jalan-jalan itu adalah 
mengikuti ekskursi IAI Jateng ke Jogjakarta 2006. 

Saat berkunjung ke  Rumah Seni Cemeti Jogjakarta
Berbicang dengan arsitek Eko Prawoto di Rumah Djaduk Ferianto Jogjakarta.

Diskusi di Padepokan Seni Bagong dengan narasumber Eko Prawoto.

Mahasiswa Arsitektur Unika Soegijapranata
narsis di Padepokan Seni Bagong

Bersama Djaduk Ferianto di rumahnya

Ada pula jalan-jalan  
mengikuti ekskursi IAI Jateng ke Kudus 2006. 


Awak Studio 7 di Masjid Kudus

Meninjau proyek gereja yang sedang dibangun.

Komplek GOR Bulutangkis Djarum

Di sini calon atlet bulutangkis terbaik ditempa.
Selalu ada diskusi



Banyak jalan-jalan
Ikuti berbagai seminar
Susupi bermacam acara
Nikmati makan-makan dan oleh-oleh gratisnya.

Setelah itu kerja keras menyusun tulisan.



Sudah pasti begadang lembur

Kemampuan 'layouting' diasah

Dicetak dan siap dipasang





Kepuasan pertama: ketika terpasang.
Poster ini memuat kunjungan ke Jogja, selain hal-hal lain

Yang ini memuat jalan-jalan di Kudus
(lengkap dengan kisah makan-makannya)
Masih ada poster-poster lain
dan sayang nyaris tak berbekas.



Tentu kepuasan yang paling dikenang adalah apresiasi teman-teman.
Itulah penghargaan terbaik atas kerja keras Studio 7.
Itulah yang mendorong Studio 7 untuk selalu berkarya
di tengah kesibukan gila-gilaan tugas-tugas kuliah

(belum tentu mendongkrak IP, waktu tersita sudah pasti)








Karena apresiasi teman-teman itulah
kendati rezim HMJ berganti 
dan program ini tampaknya berhenti
dengan sisa dua awak 
swadaya tenaga dan dana
Studio 7 berlanjut dengan awak terakhir, 'Last'
Studio 7 Last (S7Last)

Menyusup kampus tengah malam

Siap memasang poster

Satu per satu

Hingga tuntas


Poster-Poster S7Last

April 2008: Bicara Bandara

April 2008: Melanjutkan Bicara Bandara

Agustus 2008: Menjelaskan Karya terpilih Sayembara
Renovasi Studio Tugas Akhir Arsitektur

Februari 2009: Bicara Transportasi Kereta Api

April 2009: Masih Bicara Transportasi Kereta Api

---------


Kini masanya kami pergi
Yang muda saatnya mengganti
Sayang jika papan ini sepi

(teman-teman, sayang papan ini sepi)



----------
----------
.............
........
....



----------

(sekarang operasi Studio 7 digabung dengan kegiatan kelompok studi mahasiswa CafeStudio dan namanya menjadi cafestudiodelapan (cs8) . Lingkup aksi dan operasi diperluas dengan jumlah awak operator dan partisipan diperbesar. Namun belum jelas sampai kapan 'papan' itu sepi. Masih menunggu aksi teman-teman muda)


(Penulis merupakan satu dari dua awak Studio 7 yang terakhir (Last))

Senin, 22 November 2010

Galleries of The Month



 





Posted By AJMariendo

Menyimak Transformasi Manusiawi Kota Surabaya

Berikut merupakan rangkaian tulisan di harian Kompas yang khusus membahas Kota Surabaya kini. Semoga rangkaian (marathon) tulisan-tulisan tersebut bisa bermanfaat & menginspirasi teman-teman untuk bergerak di kota masing-masing.
-----------------------------------------------------------------------------



Kemenangan Rakyat Surabaya!
Minggu, 21 November 2010 | 03:12 WIB

Jembatan Merah Surabaya digunakan tukang becak untuk menunggu penumpang, Kamis (4/11). Jembatan yang menjadi salah satu judul lagu ciptaan almarhum Gesang ini menghubungkan Jalan Rajawali dan Jalan Kembang Jepun.

Oleh: Putu Fajar Arcana dan Kris Razianto Mada

Surabaya di bulan November. Brigjen Mallaby, komandan pasukan sekutu, terbunuh di Jembatan Merah, 65 tahun silam. Ada aroma heroisme dan darah. Sekarang kota ini berhasil mentransformasi diri dari kota garang, kumuh, dan ugal-ugalan menjadi kota yang ramah dan manusiawi. Ada kemenangan atas perebutan simbol-simbol yang menggerakkan sebuah kota.
Tewasnya Mallaby pada awal November 1945 adalah peristiwa simbolik yang memompa moral arek-arek Suroboyo mempertahankan kota dari penguasaan Belanda kembali. Ketika Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono, kini Wakil Wali Kota, memulai proses transformasi tahun 2002, ia sadar betul akan perebutan simbol itu. Simbol-simbol yang menjadi hak publik harus dikembalikan sesuai fungsinya.

Itulah yang mendasari mengapa kemudian Bambang ”merebut” kembali lahan-lahan 14 stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) yang berdiri di atas ruang terbuka hijau (RTH). ”Saya hanya mengembalikan fungsi-fungsi infrastruktur kota saja,” kata Bambang, Selasa (2/11) di Surabaya, Jawa Timur.

Perebutan RTH yang telah bertahun-tahun dikuasai swasta tidak mudah. Atas pengembalian RTH itu, Bambang harus menghadapi 13 gugatan ke pengadilan dan baru dinyatakan berhasil tahun 2009. ”Ya harus ada yang memulai,” kata Bambang.

Keberhasilan perebutan RTH, menurut Bambang, adalah simbol kemenangan warga kota atas kesewenang-wenangan. Inilah cara masyarakat modern, tambahnya, mempertahankan haknya sebagai warga kota. Kini ke-14 SPBU itu telah menjelma menjadi taman-taman dengan berbagai tema yang spesifik.

Perebutan memang belum selesai. Kebun Bibit, sekarang dikenal sebagai Taman Flora di kawasan Bratang, Kota Surabaya, masih menyisakan sengketa. Lahan seluas 3,1 hektar itu sampai kini dalam proses pengadilan karena sebelumnya pernah dialihtangankan kepada swasta. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, di bawah Wali Kota Tri Rismaharini, ingin mempertahankan lahan ini sebagai paru-paru kota. Dan terutama sebagai medium interaksi antarwarga kota dalam posisi yang sejajar, tanpa melihat kelas sosial dan ekonomi.


Peleburan kelas

Di bawah Tri Rismaharini, yang sebelumnya menjadi Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya, lahan eks SPBU dalam waktu singkat berubah jadi Taman Pelangi, Taman Prestasi, Taman Lansia, dan berbagai taman lain dengan bermodalkan dana Rp 6 miliar. ”Saya bagi setiap taman dapat anggaran Rp 50 juta. Ini dana yang kecil untuk membangun sebuah taman,” kata Tri Rismaharini.

Pilihan pertama memang jatuh pada taman. Menurut Risma, panggilan Tri Rismaharini, taman menjadi oase warga kota setelah sumpek menyusuri kehidupan kota yang keras. ”Di taman, warga yang hitam dan putih bisa berinteraksi tanpa harus melihat perbedaan kelas,” katanya.
Bahkan di mata pengamat tata kota dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Johan Silas, taman menjadi kanal bagi warga kampung untuk menyegarkan kembali tubuh mereka.
”Taman itu seperti menyalurkan segala kekesalan, segala kemarahan dengan murah,” kata Silas.

Silas berani mengatakan, dari tamanlah ”peradaban” baru Kota Surabaya dimulai. ”Tidak ada kota yang bebas dari unjuk rasa dan bentrokan dalam pilkada seperti Surabaya. Tidak ada bentrokan pula saat pembebasan fasilitas umum dari para pedagang kaki lima,” ujarnya.
Semasa menjadi wali kota, Bambang Dwi Hartono memulai proses transformasi Kota Surabaya dengan mengembalikan fungsi infrastruktur kota. Ia mengidentifikasi persoalan Surabaya tak lepas jauh dari air bersih, pedagang kaki lima (PKL), pasar tradisional, permukiman kumuh, kemacetan, dan banjir. ”Saya mulai dengan menyusuri seluruh sungai yang selama ini menjadi sumber banjir,” tuturnya.

Penyusuran itu menemukan fakta bahwa tidak satu pun dari seluruh sungai yang bermuara atau melintasi Kota Surabaya yang tembus sampai ke laut. ”Pekerjaan pertama saya, kami tembuskan muara-muara sungai ke laut. Ini syarat agar aliran air sungai lancar,” kata Bambang.
Pekerjaan itu diikuti dengan pengedukan saluran-saluran drainase kota. Di atas saluran-saluran itu, Bambang kemudian memperluas jalur pedestrian. Areal ini yang kemudian menjadi salah satu kebanggaan warga kota.

Silas bahkan mengapresiasi soal jalur pedestrian dengan mengatakan, tidak ada satu kota pun di Indonesia, kecuali Surabaya, yang membangun trotoar dengan memerhatikan para pejalan kaki dan kaum difabel. ”Trotoar di Surabaya bisa dilewati kursi roda sampai ke pelosok kota,” katanya.

Hal yang luar biasa juga, saban petang seluruh jalur pedestrian di penjuru kota dibersihkan oleh sepasukan petugas pembersih dengan cara disapu dan dipel. Upaya ini membuat jalur pedestrian tampak bersih, bahkan berkilau, sehingga sangat nyaman jika dipakai berjalan kaki.


Pedagang kaki lima

Sejak awal, Bambang dan Risma melihat persoalan paling pelik ditangani di Surabaya adalah PKL. Sejak krisis ekonomi tahun 1997, para PKL menyebar hampir di setiap trotoar kota, tempat- tempat kosong, dan bahkan menggunakan badan jalan. Persoalan itu masih ditambah pula dengan karakter PKL di Surabaya yang terkenal sulit diatur dan galak. Serbuan para pedagang ini membuat kota terkesan liar dan tak terurus, dan telantar.

Bambang mulai menertibkan seluruhnya dengan memahami hulu persoalannya. ”Semua warga kota ingin makan enak dan tidur nyenyak. Maka, kami masuk langsung ke kampung-kampung, memberdayakan warga dengan membentuk mantri-mantri ekonomi,” katanya.

Bambang secara rutin pula bertemu dengan ketua RT, ketua RW, serta perangkat desa dan tokoh-tokoh masyarakat untuk membicarakan persoalan kota, terutama PKL. Sebagian besar PKL yang menempati fasilitas kota direlokasi ke sentra-sentra penampungan yang telah disiapkan pemkot. ”Pemkot beli tanah dan membangun fasilitasnya untuk kemudian ditempati PKL,” ujar Risma.

Konsep transformasi menyeluruh yang dilakukan Bambang dan Risma, yang didukung pakar-pakar tata kota dari ITS, ingin menciptakan kota yang ramah dan manusiawi. Dalam terminologi Risma, Surabaya ingin menjadi kota modern dengan disiplin warganya yang terjaga dalam segala hal, terutama dalam berkendara dan menjaga kebersihan.

Kuncinya sederhana: ciptakan rasa memiliki di hati setiap warga kota!






Taman Semua Golongan
Minggu, 21 November 2010 | 04:34 WIB
Oleh: Putu Fajar Arcana dan Kris Razianto Mada
Sekelompok anak muda bermain ”skate board” dan sepeda BMX di sudut taman. Beberapa lainnya mengakses internet dari laptop lewat jaringan nirkabel. Semua terjadi di Taman Bungkul Surabaya dan bukan di luar negeri.

Pemandangan itu lazim disaksikan setiap hari di Taman Bungkul sejak Maret 2007. Taman itu taman modern pertama di Surabaya dengan aneka fasilitas. Ada plaza dengan tempat duduk mirip amphitheater Yunani dan dipakai untuk aneka pertunjukan, ada areal bermain anak, ada areal skate board dan BMX, dan tentu banyak tempat duduk. Setiap sore, warga aneka usia dan penampilan melakukan berbagai kegiatan di taman itu.

Pemandangan itu berbeda dibandingkan setidaknya empat tahun lalu. Kala itu Taman Bungkul hanya berisi dua lapangan voli yang gersang dengan bau pesing di berbagai sudut taman. Setelah pukul 18.00, sedikit orang berani duduk di sana karena gelap dan tak terjamin keamanannya. Pedagang kaki lima bertebaran di berbagai sudut jalan dan sampah terserak di mana-mana.

Sekarang, taman itu tetap hidup sampai dini hari. Bahkan, terkadang ada orangtua membawa anak balita bermain di area permainan anak sampai larut malam. Rendi (18), pengunjung taman yang terlihat pada Rabu (3/11) dini hari bersama beberapa temannya, mengatakan, ”Waktu saya SMP taman ini gelap dan enggak asyik buat nongkrong,” ujar warga Bratang, Surabaya, ini.

Selain Taman Bungkul, ada 12 taman besar dan modern lain di sejumlah sudut Surabaya. Belum lagi menghitung taman-taman di jalur hijau. Setiap taman punya tema berbeda. Dengan belasan taman, warga Surabaya punya beragam model taman untuk dilihat. Taman-taman itu juga berdekatan dengan permukiman penduduk. Jadi, mereka bisa berjalan kaki atau naik sepeda ke taman untuk bersantai.

Hampir semua taman modern itu muncul setelah tahun 2005. Sebagian hasil renovasi taman lama, sebagian hasil pembangunan dari bekas lahan stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Taman lama yang direnovasi antara lain Taman Bungkul, Taman Prestasi, Taman Flora, Taman Bahari, dan Taman Ronggolawe. Sementara taman hasil perombakan bekas lahan SPBU, antara lain, adalah Taman Pelangi, Taman Persahabatan, dan Taman Lansia. Ada pula taman yang benar-benar baru, seperti taman skate dan BMX di dekat Monumen Kapal Selam Surabaya.


Gugatan

Wali Kota Surabaya periode 2002-2010, Bambang DH, menuturkan, tidak mudah mengubah SPBU menjadi jalur hijau atau taman. Ada 14 SPBU yang menempati 1,6 hektar jalur hijau di beberapa sudut Surabaya. ”Desember 2002, saya minta penutupan SPBU-SPBU itu,” ujarnya.
Satu SPBU yang dimiliki Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) Surabaya mudah ditutup. Namun, pemilik 13 SPBU lain tidak menuruti itu dan malah menggugat ke pengadilan. ”Proses di pengadilan baru tuntas semua tahun 2009. Untuk gugatan yang selesai duluan, lahannya segera dijadikan taman,” ujarnya.

Gugatan bukan satu-satunya hambatan mengubah lahan SPBU menjadi taman atau jalur hijau. Mantan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Surabaya Tri Rismaharini menuturkan hanya punya Rp 6 miliar pada 2005 untuk merevitalisasi belasan taman. ”Waktu itu anggaran dinas pertamanan di Jakarta sudah ratusan miliar,” ujar perempuan yang kini menjabat sebagai Wali Kota Surabaya periode 2010-2015.

Untuk menutup bekas tempat pemendaman tangki SPBU saja butuh 100 truk tanah. Belum lagi memikirkan dana untuk bangunan baru taman. ”Untuk menimbun saya pakai lumpur bekas pengolahan limbah di kawasan Keputih. Untungnya cukup dan tanahnya subur. Cocok untuk revitalisasi lahan bekas SPBU yang dicemari minyak bertahun-tahun,” ujar Risma.

Untuk tanaman antara lain diambil dari Taman Flora Bratang atau dikenal juga Kebun Bibit Bratang. Untuk dana, selain dari APBD Surabaya, juga ada sponsor. ”Kami dapat dari Pertamina, Telkom, dan Bank Jatim. Kalau tidak, mana bisa merevitalisasi yang butuh lebih dari Rp 1 miliar untuk satu taman,” ujarnya.

Taman-taman itu tidak hanya dirancang untuk indah saja. Seluruh taman dibangun dengan filosofi kota berpenduduk heterogen, seperti Surabaya, perlu ruang publik. Di ruang itu semua orang dari aneka golongan bisa berkumpul tanpa prasangka, bebas beraktivitas. ”Saya ingin orang hitam atau putih, tua atau muda bisa berkumpul dan bersosialisasi di taman-taman,” ujarnya. Semua golongan sama dalam sebuah taman.

Karena itu, Surabaya merelakan 20,63 persen luas wilayahnya untuk ruang terbuka hijau. Sebagian dijadikan hutan kota, ada pula berupa jalur hijau, dan sebagian berbentuk taman. Kota jadi tampak manusiawi.


Ruang terbuka

Pakar tata kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Johan Silas mengatakan, taman itu salah satu wujud pemanusiaan warga kota. Di taman itu orang bisa bebas beraktivitas dengan rasa aman dan nyaman. ”Taman membantu orang yang tidak punya open space untuk bersantai,” tuturnya.

Tempat bersantai untuk kota besar seperti di Surabaya memang diperlukan. Tempat-tempat seperti itu antara lain akan menyeimbangkan jiwa penduduk kota. ”Taman meredam sifat berang orang Surabaya karena ada tempat untuk santai. Orang Surabaya punya tempat untuk berinteraksi dengan santai tanpa cemas,” ujarnya. Hanya di Surabaya, kata Johan Silas, relokasi PKL dan pemilukada yang nyaris tanpa demonstrasi massa.

Selain taman, pemanusiaan terlihat dari trotoar yang lebar dan rata. Trotoar-trotoar baru di Surabaya memungkinkan pengguna kursi roda menjelajah semua sudut kota. ”Di sini ketinggian jalan mengikuti trotoar. Kalau bertemu jalan, bukan trotoar yang diturunkan (agar rata dengan permukaan jalan). Jalan dinaikkan (agar sama tinggi dengan permukaan trotoar),” tuturnya.

Surabaya juga sukses merelokasi pedagang kaki lima. Sampai saat ini ada 19 sentra PKL. Untuk aneka ikan hias yang awalnya tersebar di Jalan Irian Barat, Jalan Patua, dan Jalan Gunung Sari dimasukkan ke sentra ikan hias Jalan Gunung Sari. Sentra itu aktif setiap hari sampai dini hari. Di lokasi sebelumnya, transaksi hanya ramai pada hari tertentu. ”Pemindahan PKL ke sentra baru nyaris tanpa gesekan, lho,” ujar Johan Silas.

Sementara itu, PKL makanan antara lain ditempatkan di Taman Bungkul, Lapangan Hoki Dharmawangsa, sentra kuliner Wiyung, dan pujasera Urip Sumoharjo. Para PKL mau masuk ke sentra baru nyaris tanpa konflik.

Taman, trotoar, dan relokasi PKL adalah tiga hal dari masalah laten yang melanda semua kota di Indonesia. Surabaya yang dulu dikenal sebagai kota kumuh, kini menjelma sebagai kota yang nyaman dan asri, serta tentu saja berkesan ramah terhadap para penghuni dan pendatang….

 

Rusa dan Bisbul di Taman Flora
Minggu, 21 November 2010 | 04:37 WIB

Di luar pagar Taman Flora Surabaya, mobil dan sepeda motor berebut jalan. Di dalam taman, Murti Ningsih (67) dan cucunya, Nayla (3), merendam kaki di kolam sembari memandangi puluhan ikan koi. Kerindangan aneka jenis pohon meneduhi nenek dan cucu pengunjung setia taman seluas 33.810 meter persegi di kawasan Bratang, Surabaya, itu.

Saefuddin (35), warga Sidoarjo, juga mengaku sering kali melepas lelah di Taman Flora. Rabu (3/11) siang, ia datang bersama anak dan istrinya. ”Pengin rekreasi murah sekalian melepas lelah,” katanya.

Yuni, karyawan kantor pengelola taman, menuturkan, Taman Flora merupakan pusat konservasi tanaman langka di tengah kota Surabaya. Di taman itu antara lain ditanam 10 batang bisbul (Diospyros blancoi). Lebih dari 100 jenis pohon ditanam di taman itu. ”Bibitnya dipakai untuk taman-taman lain di Surabaya,” tuturnya.

Taman yang juga dikenal sebagai Kebun Bibit Bratang itu punya koleksi delapan rusa tutul (Axis axis) dan delapan rusa bawean (Axis kuhlii) di sisi utara taman. Ada pula aneka jenis burung di dekat kandang rusa-rusa itu. Selain puluhan ekor koi di kolam tempat Murti menceburkan kaki.
Di sudut utara ada fasilitas untuk outbond. Hampir setiap hari fasilitas itu dipakai anak-anak dari berbagai sekolah. ”Semua gratis, asal memberi tahu akan memakai saja. Pemberitahuan untuk memastikan tidak ada kelompok lain memakai fasilitas itu,” ujar Yuni.

Sementara di sudut selatan yang juga diteduhi pohon rindang terdapat beberapa jenis mainan anak-anak. Bergeser ke tengah sedikit ada ruangan latihan komputer dan internet, ruangan baca, dan panggung terbuka. Seperti fasilitas outbond, fasilitas lain di taman itu gratis atau tanpa biaya pemakaian. Parkir di taman itu juga tidak dipungut biaya.

Kesejukan bukan satu-satunya alasan taman itu menarik sebagai tempat bersantai. Di seluruh area taman bisa ada koneksi internet tanpa kabel. Jika punya komputer jinjing dan ingin mengakses internet tanpa bayar, taman itu bisa jadi salah satu pilihan. Berbagai tempat duduk yang diteduhi kerindangan pohon bisa dipilih untuk tempat mengakses internet.

Jangan khawatir dengan kenyamanan dan keamanan. Soal kenyamanan, hampir tidak ada pedagang asongan atau pengamen yang mendekati pengunjung taman. Pedagang ditempatkan di luar pagar taman. Kalau berjualan di dalam taman, mereka hanya boleh menggelar dagangan di pinggir taman.

Taman ini menjelma menjadi paru-paru kota, yang seolah mendaur ulang udara yang tercemar akibat sesaknya kendaraan. Oleh sebab itu, pihak Pemerintah Kota Surabaya ”mati-matian” mempertahankan situs ini dari kepemilikan pihak swasta, yang sebelumnya mendapatkan konsesi pengelolaan dari wali kota sebelumnya. Warga kota juga tidak ingin rusa dan bisbul punah jika taman ini berubah kepemilikan. (RAZ/CAN)



Jembatan Merah Berpagar Gedung Tua
Minggu, 21 November 2010 | 04:40 WIB
Oleh: Kris Razianto Mada dan Nina Susilo

Gedung Internationale Crediet en Verening Rotterdam atau dikenal Internatio masih berdiri di barat Jembatan Merah, Surabaya. Kantor Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij berdiri di timur jembatan atau di Jalan Kembang Jepun. Persis seperti digambarkan Remy Sylado dalam novel ”Kembang Jepun”.


Bedanya, pada Rabu (3/11) siang, Internatio berdiri muram terkepung pedagang kaki lima (PKL), angkot, dan becak. Tak ada aktivitas dalam gedung tempat pemimpin pasukan sekutu Brigadir Jenderal AWS Mallaby tewas pada 31 Oktober 1945 itu. Kematian itu memicu peristiwa 10 November 1945. Gedung itu kini dipagar seng dan sudah bertahun-tahun sama sekali tidak ada kegiatan di dalamnya. Ia bahkan menjelma menjadi gedung tua walau secara arsitektural masih tampak menawan.

Sementara Kantor Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij tetap beroperasi sebagai bank. Tentu dengan nama baru, Bank Mandiri, nama keempat sejak bank itu beroperasi di Indonesia pada 1857. Pada tahun 1958, bank itu berganti nama menjadi PT Escomptobank. Kemudian namanya berubah menjadi Bank Dagang Negara pada April 1960. Selanjutnya bersama Bank Exim, Bapindo, dan Bank Bumi Daya (BBD), BDN dilebur menjadi Bank Mandiri.

Tentu tidak semua gedung di sekitar jembatan merah masih berdiri. Tepat di utara jembatan pernah berdiri kantor Residen Surabaya. Sekarang, sama sekali tidak ada bekas kantor itu. Lahan bekas kantor itu termasuk halaman Jembatan Merah Plaza, salah satu pusat perbelanjaan di Surabaya.

Kawasan ini sesungguhnya menjadi identitas ”baru” kota Surabaya, setelah bergerak dari zaman Majapahit, Mataram, lalu masa pemerintahan kolonial. Sebab dari Jembatan Merah inilah meluncur ucapan Surabaya sebagai kota pahlawan. Muhammad Subur (78), seorang tukang becak yang setiap hari mangkal di Jembatan Merah bisa dengan antusias bercerita soal Surabaya tempo dulu. Bahkan, ia mengatakan ikut bertempur melawan pasukan sekutu pada 10 November 1945.


Pemerintahan

Hingga 1905, kantor Residen Surabaya menjadi pusat pemerintahan Surabaya. Pembangunan terus berkembang di sekitar kawasan yang dulu disebut Willem Plein itu. Apalagi, sebelum pelabuhan Tanjung Perak selesai dibangun pada 1910, kapal layar bersandar di sekitar jembatan merah sekarang.

Di barat Jembatan Merah, seperti Jalan Jembatan Merah (dulu disebut Willenstraat) dan Jalan Rajawali (Heerenstraat), dipenuhi pedagang besar Eropa. Maskapai dan bank-bank kebanyakan berada di wilayah ini. Sebagian besar gedung masih digunakan aneka perusahaan dan keasliannya relatif terjaga.

Sementara kawasan timur jembatan diperuntukkan bagi warga Asia, seperti Tionghoa, Arab, dan Melayu. Penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, Dukut Imam Widodo, mencatat masyarakat China sebagai golongan yang sangat penting di Surabaya. Pada awalnya mereka mendiami suatu wilayah yang disebut Chinese Kamps atau Kampung Cina, di sebelah timur Kali Mas. Jalan-jalan yang didiami warga Tionghoa itu antara lain Chinesevorstraat atau kini Jalan Karet, dan Hendelstraat atau kini dikenal Kembang Jepun.

Kini sebagian gedung di Jalan Karet tidak difungsikan dan tampak berdebu dalam bentuk aslinya. Sementara sebagian lagi berfungsi sebagai gudang atau aneka kantor. Sayang gedung itu sudah berganti rupa menjadi ruko. Pergantian rupa juga terlihat di Jalan Kembang Jepun bagian timur.

Bukti bahwa kawasan ini pernah menjadi kawasan kebanggaan, tidak saja karena menjadi pusat pemerintahan, tetapi juga karena heroisme arek-arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan mengorbankan darah, pencipta lagu Gesang pun melukiskannya dengan lirik, ”Jembatan Merah, sungguh gagah, berpagar gedung indah. Sepanjang hari, yang melintasi, silih berganti....”


Dijaga

Pengamat perkotaan, Johan Silas, yang turut serta merumuskan pedoman pembangunan kota Surabaya sejak tahun 1965 mengatakan, kawasan Jembatan Merah sejak semula ”disisihkan” dalam pengembangan kota. ”Kawasan itu tetap kita perlakukan sebagai kawasan preservasi. Tidak boleh diapa-apakan dulu....” ujar Silas.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pun menuturkan bahwa ia sungguh berhati-hati di dalam pengelolaan kawasan tua, seperti Jembatan Merah. Pihaknya sedang membangun Taman Jayengrono untuk mempercantik kawasan. ”Kita bangun taman agar kawasan itu juga hidup, tidak berkesan kusam,” tutur Tri Rismaharini.

Tri juga berencana membuat subterminal untuk menampung angkutan umum yang sekarang meluber di jalanan, tepat di sisi Gedung Internatio. ”Semua harus pelan-pelan karena menyangkut kepentingan banyak orang,” katanya.

Dalam kondisi demikian, pemerhati cagar budaya Freddy H Istanto menilai data tidak terwujud (intangible) yang dipendam kawasan Jembatan Merah harus tetap dilestarikan. Data itu berupa semangat kesetiaan, keberanian, dan kegagahan yang kemudian menjadi identitas kota.
Jembatan Merah boleh tua dan dipagari gedung-gedung tua, tetapi kawasan ini telah turut andil membangun citra Surabaya dalam pentas internasional: heroisme! (CAN)