Jumat, 29 April 2011

Car Free Deh

Ketika isu 'green' berkolaborasi dengan kemajuan teknologi informasi, sedikit ditambah bumbu 'ababil' (abege 'anak baru gede' labil) cap 'OKB' (Orang Kaya Baru), hasilnya adalah rasa perpaduan hidup yang indah...... 


Sebuah tren 'fashion' masyarakat serba kini.

Ide didapat selama workshop arsitektur 'Dimanakah Batas Bali?' 2 April 2011. Entah sampai dimanakah kelanjutannya.

Senin, 25 April 2011

Jalan Pahlawan Semarang Resmi Jadi Area Car Free Day

Semarang, CyberNews. Jalan Pahlawan di Kota Semarang sebagai area car free day resmi dibuka Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, Minggu (20/2) pagi. Pembukaan Jalan Pahlawan yang termasuk Kawasan Simpang Lima sebagai lokasi car free dayini adalah yang kedua setelah di Jalan Pemuda.

Selain itu, Jalan Pahlawan juga dinyatakan sebagai kawasan bebas polusi. Hal ini sekaligus dalam rangka perayaan Hari Ulang Tahun ke-61 Suara Merdeka yang jatuh pada 11 Februari lalu.  Berbagai kegiatan digelar, seperti bersepeda dan jalan santai yang dimulai dari Jalan Pemuda menuju Jalan Pahlawan. Start peserta yakni dari Kantor Wali Kota Semarang dengan dilepas Bibit Waluyo, didampingi Wali Kota Semarang Soemarmo HS berserta isteri dan CEO Suara Merdeka Group Kukrit Suryo Wicaksono. Ribuan peserta turut memeriahkan acara tersebut. Tidak ketinggalan berbagai komunitas sepeda, di antaranya Suara Merdeka Bicycle Club (SMBC). Gubernur pun tak mau ketinggalan untuk ikut mengayuh sepeda bersama istri. Demikian pula dengan Soemarmo HS dan Kukrit Suryo Wicaksono. Adapun rute yang dilalui peserta adalah Jalan Pemuda-Jalan Pandanaran-Simpang Lima-Jalan Pahlawan (Taman KB atau Menteri Supeno). Sampai di Taman KB, seraya menunggu door prize, peserta menyaksikan kolaborasi seni pertunjukkan sejagad yang ditandai dengan pemecahan rekor Muri. Pertunjukan ini adalah kolaborasi antara perkusi (Afrika, Amerika Latin), capoeira (Brazil), dan Reog Ponorogo Jawa Timur, serta Barongsai (China). Penghargaan MURI juga diberikan kepada Wali Kota Semarang selaku pencetus ide acara tersebut, Dekase (Dewan Kesenian Semarang) selaku penata artistik, CEO Suara Merdeka selaku pemrakarsa acara dan TVB selaku televisi offisial.  Dalam sambutannya, Soemarmo HS mengatakan, Jalan Pahlawan dan Kawasan Simpang Lima mulai hari Minggu ini pukul 06.00-09.00 akan ditutup untuk car free day. Setelah sebelumnya selama sekitar tiga bulan areacar free day hanya di Jalan Pemuda. "Hal ini untuk upaya meningkatkan perekonomian rakyat meskipun peran pemerintah kota Semarang masih sedikit," ujarnya. Peresmian acara secara simbolis ditandai Gubernur Jawa Tengah dengan pelepasan burung merpati. Hal serupa dilakukan Soemarmo HS dan Kukrit Suryo Wicaksono.  Diharapkan, Kawasan Simpang Lima dan Jalan Pahlawan sebagai tempat rekreasi dan olahraga. "Jika kita semua bersama-sama mendukung kegiatan ini, maka Kota Semarang akan setara dengan kota-kota lainnya," tambahnya.
( Yulianto , Bambang Isti / CN16 / JBSM )

rumah sosial

Dalam beberapa kesempatan mengerjakan rancangan rumah klien, saya sempat menawarkan pilihan ini (karena memang hidup adalah pilihan). Tanpa paksaan. Hanya berbagi mimpi. Pilihan untuk berbagi ruang (karena memang hidup adalah juga tentang berbagi).
Rumah yang semula hanya kumpulan ruang-ruang pribadi, menyumbangkan bagiannya sedikit saja untuk ruang sosial. Ruang interaksi sosial dengan dan bagi lingkungan sekitar. Dengan memberi (sebagian kecil ruang), justru pemilik rumah akan mendapat (nilai-nilai positif).
Interaksi sosial yang beragam dan tanpa batas sudah hampir musnah di perumahan-perumahan di kota besar. Perumahan-perumahan telah memisahkan diri dari masyarakat sekitarnya dengan membangun pagar keliling yang masif dan tinggi. Keterpisahan sosial makin lebar dan merupakan sumber penyakit sosial yang makin kronis.
Ruang sosial merupakan salah satu gagasan untuk "membeli" kembali interaksi sosial beragam tanpa batas yang sehat. Seperti obat bagi penyakit sosial. Tapi juga sekaligus multi vitamin untuk mencegah penyakit sosial.
Beberapa karya ruang sosial akan, sedang, atau telah dicobakan pada beberapa rumah (sosial) yang disetujui pemiliknya. Rumah rempoa yang terletak di perumahan kecil yang hanya terdiri dari dua atau tiga puluh rumah, memberikan garasinya untuk dialihfungsikan menjadi warung (kopi). Di warung ini, pemilik rumah dengan dan antar tetangga dapat berinteraksi. Ngobrol ngalor ngidul (istilah sunda untuk ngobrol utara selatan alias ke sana ke mari tanpa beban tujuan). Dengan sedikit buku-buku, maka anak-anak dapat membaca buku, mewarnai, berbagi cerita sambil menikmati es serai manis. Warung rumah rempoa pun dapat dimanfaatkan oleh tetangganya untuk mengundang tamu atau teman2nya sambil arisan atau merayakan ulang tahun kecil-kecilan. Silakan berimajinasi untuk memfungsikan garasi menjadi ruang sosial terbuka yang menyenangkan.
Rumah panggung radio dalam, tepatnya di jalan kecil antena iv yang merupakan permukiman lama, pemiliknya sedang diajak untuk memfungsikan teras dalam terbuka (di bawah kamar tidur anak) yang menyatu dengan kebun sebagai ruang sosial. Di sini lebih cocok untuk tempat kumpul ibu2 arisan atau posyandu. Dapat juga nantinya dikembangkan untuk pelatihan bagi warga dalam mengelola sampah lingkungan atau membuat produk-produk daur ulang dan lain-lain yang bermanfaat bagi permukiman tempat rumah ini berada. Bila diperlukan, dapur rumahnya pun dapat melayani aktivitas sosial yang sedang berlangsung, karena letaknya berdekatan.
Rumah lainnya di bekasi yang sedang kami desain, letaknya bersebelahan dengan halaman mesjid. Selama belum dibangun, memang tanah rumah ini sering berfungsi untuk memotong kurban ketika lebaran. Usulan yang telah disetujui pemiliknya adalah membuat halaman luas yang bersebelahan dengan halaman mesjid, yang dapat tetap berfungsi untuk acara2 pemotongan kurban. Selain itu juga merupakan perluasan halaman bermain bagi anak-anak sekitarnya. Rumah bekasi akan menyediakan perpustakaan kecil dekat halaman ini, yang dapat dikelola oleh remaja mesjid sambil menyediakan tempat bakar sate, jagung, atau sekali-kali dapat juga membuat kambing guling. Pastinya, nantinya anak-anak tetangga akan lebih rajin ke mesjid. Paling tidak bermain ke sebelah mesjid.
Ruang-ruang sosial seperti ini, saya yakin dapat menambah keamanan bagi rumah maupun pemiliknya.
Akankah rumah sosial dapat mencegah atau mengobati penyakit sosial di kota2 besar ? Barangkali dapat walaupun sedikit. Tapi konon dari sedikit lama2 dapat menjadi bukit. semoga saja.
di dalam kelambu,

rumah panggung radio dalam
17 januari 2011
yu sing

*seijin pihak terkait

PARADAYS 3 first project : FESTIVAL SENI BECAK

Time   : Sunday, May 1 · 6:00am - 11:00am
Palace :on car freeday , jalan pemuda , balaikota Semarang
“Join us, bring your cam , take a shoot , scratch for sketch, and paint your body!”
mengajak teman teman, bergabung dan berpartisipasi dalam acara kami. Menyambut dies natalies jurusan DKV Unika Soegijapranata. Sekaligus meramaikan Ulang tahun kota Semarang ke 464.ayo unjuk diri berfotografi dan bervisual ria berpartisipasi dalam acara ‘’PARADAYS 3 first project : FESTIVAL SENI BECAK !’’
menyemarakkan kebekuan budaya kota Semarang yang katanya telah mati suri. Kalau bukan kita yang memulai bergerak . Lalu siapa lagi yang mau menghidupi kota kita ?saatnya yang muda yang berkarya!! karya kalian tuh yang telah dibuat dari mulai komik, sketsa, kartun atau apapun karya visual lainnya. Bakalan dikumpulin dan akan kami koordinir untuk dipamerkan dalam PARADAYS EXHIBITION (18-20 MEI 2011).
rundown acara PARADAYS 3 first project: FESTIVAL SENI BECAK
1)    mengecat 10 becak
2)    body painting gratis
3)    sketsa karya
4)    fotografi seni becak
5)    live performance accoustic

*pengecatan becak (peserta untuk umum)
 jika ada kelompok/komunitas yang ingin berpartisipasi silahkan mengirimkan cv anggota
·       nama tim/komunitas, nama anggota(max 4 orang), CP yang bisa dihubungi. peserta terbatas untuk 10 tim. biaya pendaftaran gratis.
·       panitia menyediakan cat 3 warna primer, dan 3 kuas.
·       Tema gambar : batik semarang, kuliner semarang, wisata semarang, ikon semarang (warak ngedog)
·       silahkan melakukan pendaftaran ke ANTOK(08562802800)/ GIBRAN(085326856545) (via sms) paling lambat pendaftaran 27 april 2011 
·       atau email pendaftaran ke paradaysfestival@yahoo.com (setelah email tolong segera sms ke CP yang tersedia)
·       jadwal technical meeting pengecatan becak menyusul(via sms)

Keterangan:
untuk sketsa yang ingin berpartisipasi dalam PARADAYS EXHIBITION silahkan mengumpulkan karya pada hari H. paling lambat pukul 12. di stand pengumpulan karya yang disediakan panitia.

untuk fotografi softcopy silahkan diemailkan ke email kami paradaysfestival@yahoo.com paling lambat tgl 10 mei 2011 5.00 pm sertakan judul foto dan nama fotografer.yang ingin berpartisipasi performance accoustic,silahkan hubungi CP ANTOK/GIBRAN. paling lambat 28 april 2011 nantikan juga PARADAYS 3 last project : PARADAYS EXHIBITION SEMINAR PARADAYS PARADAYS NIGHT

info lebih lanjut .enter this http://paradaysdkvunika.com
 
follow our twitter http ://twitter.com/#!/paradays_unika

Rabu, 20 April 2011

PARASIT DI “PARADISE”

(Pada tanggal 16 April 2011 berlangsung diskusi "Urbanisasi Bali di Masa Depan" di Danes Art Veranda, Denpasar, sebagai rangkaian kegiatan dari pameran "Urbanities - Solo Photography Exhibition" oleh Rio Helmi. Berikut secuil ulasan isi diskusi tersebut yang ditulis oleh Rio Helmi. Selamat menikmati!)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 
Urbanities - Solo Photography Exhibition by Rio Helmi, 15-29 April 2011, Danes Art Veranda, Denpasar.


Senja di persimpangan bundaran jalan arterial kawasan Kuta itu sedemikian ruwet sehingga mudah memahami kenapa julukan “Simpang-Siur” sudah lengket dari tahun ke tahun. Disini hampir setiap saat rame, dan sinar lampu stop-an merah berarti ‘jalan’ bagi anak-anak yg berbaju lusuh. Mereka menyusuri mobil-mobil mewah dengan tangan terulur, menunggu uluran kembali dari penumpang-penumpang yang berdiam diri dibelakang kaca jendela. Anak yang lahir di desa tandus di balik gunung nun jauh ke timur, bumi yang tidak punya kasih, dipaksa bercekeran di aspal. Mereka  memahami kota dari perspektif yang tak ternyana oleh para perencana tata kota.

Bandar yang turun tengah malam untuk mengumpul duit mereka pun tidak terlalu repot berkasih sayang. Jujur kata, dari sekian ribu pengemudi dan penumpang pun yang berhenti di lampu stop-an itu, sedikit  yang benar-benar memperhatikan anak-anak itu, apalagi memikirkan nasib mereka, dan mungkin lebih sedikit lagi yang bertanya “Bagaimana ini bisa terjadi?”. Toh anak-anak itu adalah rang terendah pada tangga urban baru di Bali yang semakin sesak diinjak-injak, perkotaan yang semakin mendesak manusianya untuk membela kepentingannya masing-masing.

Memang selama tiga dasawarsa terakhir Bali menjadi rebutan, antara orang Bali, antara pendatang dari pulau lainnya di Nusantara, antara para expat yang menikmati “Paradise”. Ironisnya lama-lama bukan “paradise” yang menonjol tapi “parasite”. Saya yakin bahwa pernyataan ini akan tidak enak didengar, terutama oleh penduduk yang mencintai pulau ini. Namun kalau kita telaah kata ‘parasit’ ia adalah bentuk kehidupan yang tidak mengenal “co-dependency” tapi hanya “dependency”. Bentuk kehidupan ini akan hinggap dimana ia bisa menghisap  zat-zat yang dibutuhkannya, tapi tidak membalas budi alam bentuk signifikan. Dalam bentuk ekstrimnya, ‘tuan rumah’nya sang parasit bahkan bisa terhisap kering habis, mati tercekik.
Pola pemikiran parasit tidak melihat langkah lebih jauh dari sekedar kebutuhan hari ini. Ketidakmampuan memandang ke depan serta tidak memahami kepentingan bersama berakibat fatal, dan sesungguhnya adalah pola biadab. Anak-anak yang dikorbankan demi keuntungan orang tua adalah gejala infeksi parasit yang paling parah. Ada juga perilaku kita yang tidak senyata itu tapi tetap juga tindakan yang saling merugikan – contoh sederhana menyerobot antre, tidak bisa mengalah sejenak di perempatan lalulintas, dan sebagainya yang akhirnya membuat kesemrawutan. Daerah urban seolah menjadi tambang emas liar.

Saya ragu mengatakan bahwa ini adalah sifat hakiki manusia Indonesia moderen, saya lebih cenderung berpikir ini terjadi karena kita telah mengabaikan langkah penting dalam perkembangan urban dan masih bisa dikoreksi. Dalam desakan luar biasa yang terjadi kini di Bali (menurut sensus 2010, ada wilayah di Denpasar yang kepadatan penduduknya melebihi sembilan ribu lima ratus jiwa per kilometer persegi) banyak yang tidak sengaja bahkan tidak sadar menjadi parasit. Pola-pola kemasyarakatan lama terbengkelai, pola baru tidak terbentuk. Inilah keluhan yang terdengar saat diskusi tentang urbanisasi Bali baru-baru ini yang diselenggarakan sehari setelah pembukaan pameran foto "Urbanities" (http://www.thejakartaglobe.com/home/e-java-aims-to-go-paperless-in-2012/436429) .

Dalam diskusi tersebut dua tokoh ‘opinion-maker’ Bali, yaitu wartawan kawakan Bali Wayan Juniartha (“Jun”) dan penulis kolom Obrolan Bale Banjar di harian Bali Post, Made Sudira (“Aridus”), menunjuk hilangnya tokoh-tokoh panutan lama, baik Hindu Bali, Muslim maupun yang lainnya, sebagai faktor yang turut memperparah ketegangan antar kelompok masyarakat yang kini terjadi.


Menurut Jun, dengan adanya perubahan tatanan sosial (kelas menengah baru dsb) serta masuknya elemen jurus agama  didikan luar (bagi Hindu dari India, bagi Muslim dari Pakistan dst) generasi muda telah melupakan kode-kode interaksi antar golongan, antar etnis, antar agama. Terlupakan sudah bagaimana kerajaan-kerajaan Bali mempunyai hubungan khusus dengan kaum pendatang. Di Karangasem, misalnya, kampung-kampung Muslim justru membentengi puri. Mereka bahkan ikut mengamankan dan menjaga kebersihan lingkungan pura tempat sembahyang orang Bali. Sebaliknya ongkos naik haji mereka ditanggung oleh raja. Di Denpasar kaum Bugis pun dulu punya perjanjian khusus dengan Puri Pemecutan.

Sudira menekankan kurangnya komunikasi dan pengertian tentang kepentingan antar masing-masing kelompok. Dulu pada zaman ORLA dia turut membentuk organisasi informal terdiri dari pemuda-pemuda dari berbagai golongan etnis maupun agama untuk membentengi ekses-ekses kekerasan yang terjadi pada pertengahan tahun 60an.

Sudira menunjuk bahwa kini situasi sudah beda, identitas orang Bali yang masih sangat  berakar pada pelaksanaan adat yang sangat memakan waktu hingga parameter kegiatan mereka sulit dicocokan dengan kondisi moderen. Kepentingan bersama semakin sulit ditemukan – namun ironisnya kebanyakan pihak pendatang baru berada di Bali justru karena bagi mereka kebudayaan setempat melahirkan suasana ekonomis yang menjadi ‘gula’ untuk ‘semut’.

Senada dengan itu seorang Ibu asli Bali yang lama merantau ke Jakarta, mengaku shock saat kembali bermukim disini, “semua sudah demikian garang, perilaku bahkan menjadi lebih keras ketimbang Jakarta, dan Bali seolah tinggal komoditas untuk dijual”. Bahkan Pino Confessa, seorang seniman teater kelahiran Itali  yang sudah puluhan tahun bermukim di Bali dan sekarang menjabat sebagai konsul Itali disini, berpendapat bahwa ini semua akibat mitos-mitos komersil dan TV yang telah menggantikan mitos-mitos lama “Masyarakat sekarang bengong dengan sinetron..”.

Di pihak lain, seorang pelukis pendatang dari Jawa yang tinggal di Kuta, Pandji, merasa bahwa sah-sah saja kalau pendatang yang sudah punya ‘watak urban’ dapat meraih kesempatan-kesempatan yang dilalailkan oleh penduduk setempat. Ia malah bertanya, kenapa para pendatang kelas ekonomi rendah yang bekerja keras mendukung ekonomi harus selalu dihasut, contohnya penggerebekan tengah malam yang dilakukan oleh pecalang  dan sebagainya. Dengan membagi pengalaman-pengalaman langsung, masing-masing kelompok sempat saling membuka mata akan kegentingan situasi masing-masing.

Tentunya saat diskusi ada pertanyaan mengenai pembangunan fisik – seorang mahasiswi planologi berkomentar tentang daerah yang menjadi langganan banjir setelah pembangunan, ada juga yang menunjuk kurangnya lahan sebagai pemicu – observasi yang valid, namun tetap terjadi suatu konsensus bahwa interaksi sosial berbagai unsur masyarakat tak bisa diabaikan sebagai faktor penentu dalam perencanaan kota,  dan interaksi inilah yang paling menentukan masa depan daerah urban Bali. Keadaan Bali tidak bisa disamakan dengan perkembangan daerah atau negara lain dimana kesepakatan lebih mudah tercapai. Di Bali revolusi agragris, industrial, ekonomis dan teknologi terjadi serempak – tidak heran kalau terjadi pergesekan yg merugikan. Konsensus dari diskusi itu juga mempertegas bahwa tidak bisa mengharapkan pemecahan dari pemerintah, dari aturan baru, dari lembaga-lembaga.

Yang dapat saya simpulkan dari acara tukar-pikiran ini adalah bahwa masyarakat madani sekarang harus lahir dari diri kita sendiri, melihat bahwa tokoh-tokoh panutan yang kuat kini absen. Kini kita yang harus bisa mengolah jiwa dan raga menjadi jaringan komunikatif yang saling mendukung, yang saling membantu mencari jalan menghindari pola parasit – membentuk pola masyarakat madani bersama yang lintas etnis, agama, dan kelompok lainnya  tanpa mengancam identitas masing-masing.

Kini pola demikian tidak semata harapan abstrak. Kita memiliki berbagai kondisi yang mendukung, solusi yang positif semakin mudah di akses dan dibagi dengan bahasa yang lebih universal, apalagi dengan media internet. Sebagai contoh, baru-baru ini di India masyarakat madani berhasil memaksa reformasi pemerintah terhadap korupsi dalam tempo 4 hari (http://www.thehindubusinessline.com/features/article1628396.ece). Bagi penduduk Bali, menjadi masyarakat madani adalah sesuatu yang dapat tercapai. Tinggal kemauan dan kecerdasan yang lahir dari ‘sharing’.

Bali, 19 April 2011

Selasa, 19 April 2011

Dusun Welang: Dusun Pengrajin Bambu

Dusun Welang, dusun pengrajin bambu di kabupaten Kendal memiliki kekhasan tersendiri. Rumah-rumah yang masih tradisional dibalut dengan dinding papan dan bambu. Hutan bambu mengelilingi dusun ini sehingga mereka dapat memanfaatkannya untuk memperbaiki rumah, membuat jembatan dan juga untuk sumber pencaharian penduduknya. Dusun yang saya kira seperti planet lain dari sebuah tata surya,  rumah masyarakatnya yang khas dan arsitekturnya sangat inpiratif. Kreatifitas penduduk dusun ini sangat tinggi, bahkan mereka membuat jembatan dari bambu untuk prasarana transportasi. Biaya pembuatan jembatan ini dari penduduk sekitar, menggunakan tenaga mereka dalam membangun dan bahan bangunannya didapat dari hutan bambu di dusun tersebut. Sebuah tindakan yang arif dari penduduk dusun Welang. Dan hasilnya, jembatan ini dapat menjadi sumber pencaharian mereka. Tiap hari banyak masyarakat menggunakan jembatan tersebut, penghasilannya tidak kalah dengan dua angkot dalam sehari. Tiap kali menyeberang, untuk kendaraan, pulang-pergi cukup seribu rupiah. Dengan seribu rupiah ini penduduk desa sekitar dapat mempersingkat waktu tempuh dan membantu mereka dalam berakivitas.
Pak Rochim, ketua RW dusun Welang, bercerita bahwa mereka pernah diminta bantuan untuk membuat dinding dari anyaman bambu bagi korban bencana gempa di Jogjakarta. Mereka mendapat pesanan sekitar dua ribu lembar. Agak aneh waktu saya ke sana dan mengabadikan dusun ini mereka bertanya-tanya soal bantuan utuk jembatan dan juga " apakah saya ini seorang donatur untuk membuat rumah dari bambu ".


Memasuki dusun Welang, didapati sebuah pos ronda di pinggir sungai dan jalan menuju dusun Welang. Pos ronda ini biasanya digunakan warga untuk bercengkrama. Istilah kerennya menjadi community centre. Ada televisi di pos tersebut dan setiap sore para pemuda menggunakan tempat tersebut untuk ngobrol, main kartu, main gitar, nongkrong dan menonton televisi bersama. Tempat seperti ini banyak didapati sepanjang sungai tersebut, terkadang pos ronda ini berdekatan dengan warung kecil.



Koridor jalan menuju dusun Welang, di kanan kiri terdapat pohon-pohon dan pemandangan sawah. Pemandangan yang menyenangkan untuk dilihat, sejuk dan tenang.














Material bangunan yang dipakai pada rumah-rumah di dusun Welang adalah papan kayu dan juga anyaman bambu. Material tersebut mudah di dapat oleh penduduk sekitar.










Rumah yang tergradasi dengan kemodernan, material rumah yang biasanya papan kayu di tambah dengan tembok batu bata.

 Bilah-bilah bambu yang dikeringkan dengan cara dijemur.
Beberapa anyaman yang diproduksi oleh penduduk dusun Welang. Di dusun ini tidak terdapat bambu wulung yang berwarna hitam kecokelatan. Bambu di dusun ini kebanyakan bambu apus.










Bambu yang dipotong-potong lalu dijemur di tengah terik matahari. 


Masyarakat menggunakan jembatan bambu untuk menyeberangi sungai. Jembatan ini menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi penduduk dusun Welang dan sekitar.

Jembatan bambu ini akan mengalami pergantian bambu setiap 2 tahun sekali. Bambu diambil pada saat musim kemarau dan pada hari-hari tertentu misalnya Rabu Legi dan juga pada saat bulan purnama muncul. Hal ini dimaksud agar bambu bisa bertahan lama dan tidak mudah termakan bubuk.

 Tiap kali melintas harus membayar Rp 1000 rupiah pulang-pergi. Jembatan ini menjadi penghubung yang baik dan menciptakan perekonomian untuk desa-desa di sekitarnya. Jarak ke pasar tradisional terdekat bisa ditempuh tanpa harus memutar terlebih dahulu.
Untuk pejalan kaki tidak dipungut biaya. Di mana-mana pejalan kaki memang harusnya diberi tempat yang baik bukan seperti di kota saat ini dimana trotoar untuk pejalan kaki habis untuk PKL dan juga lahan parkir.
Gubuk untuk penjaga lintasan jembatan. Pada saat musim hujan gubuk ini juga berfungsi lain yaitu menjadi tempat berteduh sekaligus bercengkrama dengan pengendara yang kehujanan.