Sabtu, 25 Juni 2011

Kampung Bersuara (Saatnya)


Ide komik ini didapat pada 30 September 2010 terinspirasi dari gerakan teman-teman arsitektur dan non-arsitektur yang mendampingi kampung-kampung di beberapa kota, khususnya Solo. Ide komik ini juga muncul sebagai keprihatinan dan sekaligus kritik penulis terhadap teman-teman muda arsitektur dan non-arsitektur yang begitu sibuk dengan dunia pribadinya. Mungkin komik ini juga menjadi kritik terhadap diri penulis sendiri ketika juga terlalu sibuk dengan dunia pribadi sendiri. Namun juga komik ini merupakan dukungan pribadi terhadap gerakan teman-teman agar terus hidup sementara penulis sendiri belum bisa berpartisipasi nyata (karena masih sibuk dengan dunia pribadi sendiri).

- - -

“Bukan melalui retorika gegap gempita, ataupun bermain politik dengan kaum elite, melainkan dengan menanamkan akar-akar pranata yang beradab-berkeadilan di bumi nyata, dengan belajar dan membangun bersama dengan rakyat di kampung-kampung. Sebab, mayoritas bangsa Indonesia tinggal di kampung-kampung. Sebab, kampung, sebagai satuan terkecil permukiman dan masyarakat, merupakan benteng terakhir pertahanan rakyat dari kekuatan-kekuatan yang buas-menindas. Dari sanalah demokrasi, sebagai landasan pranata beradab-berkeadilan yang kita cita-citakan, semestinya dibangun.”

- Darwis Khudori dalam sampul bukunya, “Menuju Kampung Pemerdekaan” -


- - -


 Bagaimana teman-teman arsitektur dan non-arsitektur? Bagaimana generasi muda?


?

- Errik Irwan -

Selasa, 21 Juni 2011

SEMARANG 2100

Mari berkhayal-khayal kota kita.
Setelah sekian generasi ke depan.
Setelah sekian anak muda pulang.
Membawa modal dan intelektual.
Membawa pengetahuan dan ketrampilan.
Bagaimana cara membangun kotanya.
Sehebat-segegap gempita Dubai, Shanghai, Beijing,
Dan kota-kota Hyper-megalopolis negara maju lainnya.
Mari berkhayal-khayal…


Ini Semarang 2100.
Bandara A Yani sudah di Kendal dan lebih besar.
Reklamasi Marina berhasil jadi pusat pertumbuhan ekonomi prestisius!
Universitas-universitas sekarang berciri teknologi tinggi.
Lulusannya bisa menaklukkan tantangan alam.
dan cakap mencakar-cakar langit.
Warga kotanya terlanjur super-kaya.
Investasi dimana-mana.
Singkatnya Semarang 2100 tidak kalah dengan Dubai, Shanghai, Beijing.
Giat membangun, membangun, membangun,…



Membangun, tapi lupa daratan.
Daratannya tak mampu tahan sekian bangunan.
Diperparah pencairan es kutub efek pemanasan.
Ia pun tenggelam ditelan lautan.


Semarang 2100.
Ada Bukit GunungPati, Bukit Gunung Ungaran.
Ada Pantai Bukit Sari, Pantai Bukit Gombel.
Ada Taman Laut Kota Lama, Taman Laut Pemuda, Taman Laut Simpang Lima.
Dan ada wisata jelajah bangunan tua dalam air.
Semarang Kota Air.


Benar-benar hebat!


Sayang, kita cuma berkhayal-khayal kota kita.


Kamis, 02 Juni 2011

Cara Berceramah dari Masa ke Masa

Sebelumnya disarankan, jangan meniru adegan yang akan ditulis ini.

Jadi alkisah aku lagi beribadah dengan tekunnya, begitu pula dengan segenap indera ku yang juga bekerja dengan tekunnya.

Indera penciuman, mencium bau parfum umat lain. Indera peraba, tetap pada tempatnya, agar tidak meraba-raba yang lain. Indera perasa, kebetulan cuti kerjanya, soalnya abis merasakan makan siang yang sangat pedas. Indera pendengaran, yang dengan tenang menerima gelombang suara dari Romo yang sedang berkhotbah. Dan yang terakhir adalah indera penglihatan, yang melihat kesana kemari memandang cewek. Indera penglihatan mungkin bakal kena skors untuk sementara waktu, sedangkan Indera Birowo kayaknya masih tetep nongol di televisi.

Tidak ketinggalan, sang kapten dari semua indera tadi, yaitu si otak, turut ambil bagian untuk berpikir.

Itu tadi hanya selingan pembuka bagaimana semua sistem di tubuhku bekerja. Yang jadi topik pembicaraan sebenarnya adalah tentang khotbah dari Romo.
Sebenarnya biasa aja cara penyampaian verbal nya, tidak jauh beda dengan Romo lain yang berada di wilayah lain dengan wujud yang lain juga.
Khotbah kali ini disampaikan didukung dengan bantuan sebuah alat proyektor. Dengan adanya alat itu, khotbah Romo tidak hanya diterima oleh indera pendengaran saja, tetapi juga dengan indera penglihatan !!
Ini benar-benar sebuah inovasi baru yang fantastis !! ngalahin sinetron cinta fitri yang beratus ratus episode.
Sambil mendengar khotbah Romo, kita juga bisa melihat teksnya yang disampaikan, serasa nonton film barat sambil baca subtitle, bedanya, bahasa yang disampaikan sesuai subtitlenya, nggak ada alih bahasa apapun.


Aku jadi mikir, bagaimana cara berkhotbah dari jaman ke jaman.
dan inilah apa yang kupikirkan...

kira-kira ini abad 17