The egalitarian forum for knowing-understanding and caring to everything connected with creativity, design, architecture and also urban (dan hal2 inspiratip lainnya di luar desain, arsitektur, & urban) http://www.facebook.com/group.php?gid=106321689401104&v=info
Minggu, 27 Februari 2011
ULASAN TENTANG LAUNCHING BUKU 50 HOUSES AND VILLAS DI SOLO
LOMBA DAPUR KREATIF
Lomba Dapur Kreatif untuk anak SMA/ SMK/ dan sederajat
Lomba ini diadakan oleh Program Studi Arsitektur UNIKA Soegijapranata Semarang.
Produk:
1. sketsa perspektif dapur dalam 2 lembar A3
2. penejelasan karya max 1 lembar A3
3.maket dapur skala 1:20 (dari bahan bekas/ bahan bebas)
pendaftaran max tanggal 17 Maret 2011, pengumpulan karya 24-26 Maret 2011
biaya pendaftaran Rp. 20.000,oo
CP: SIWI (087832300108)
RANGGA (081802437091)
Melawan Gravitasi Jakarta
Ah.... Sepi...
I
I
I
Kawan-kawan,.. Mau kemanakah kalian semua?
Kami hendak ke Jakarta
Apa yang mau kalian lakukan di sana?
Kami mau mengubah nasib diri
Kami mau meniti karir
Kami ingin sukses
Kami ingin terkenal
Kami ingin menjadi yang terbaik di negeri ini.
Kawan-kawan..
Tak bisakah kita lakukan tanpa harus ke sana?
Bukankah Jakarta sudah penuh manusia pencari
Dari pemuda-pemudi lugu desa-desa
hingga kaum pandai kampus-kampus ternama
seperti kalian kawan-kawanKu?
Bukankah Indonesia itu luas
untuk kita perjuangkan hidup dan cita-cita kita?
Ah kau ini masih tetap lugu...
Apa yang bisa kau harapkan dari tempat kita ini?
Kami bukan manusia super seperti dirimu.
Kami tak punya pilihan.
Kami tak kuasa melawan arus alam.
Kawan-kawan, bukankah aku sama seperti kalian..
Kaum manusia biasa tak punya kuasa
Juga bukan siapa-siapa
Bukankah kita sama?
Tapi pernahkah kawan-kawan bermimpi
kita bersama-sama tak harus ke sana untuk mengubah nasib?
Kita bisa bersama-sama mengisi negeri ini.
Tak pernahkah kawan-kawan bermimpi itu?
Bahkan mimpi pun menjadi kemewahan buat kami.
Hanya Jakartalah mimpi kami tergambar.
Baiklah kawan-kawan...
Semoga kalian tak berlama-lama di sana.
Kasihan orang-orang terbuang yang sudah lebih dulu di sana
bersaing lagi dengan kalian manusia-manusia unggulan.
.............
Moga-moga ada keajaiban agar aku pun tak ke sana
karena tanpa kalian kawan-kawan.
Aku bukan siapa-siapa yang bisa melawan arus alam.
Tunggulah 10-20 tahun lagi aku akan mencari kalian kawan-kawanku.
Semoga kita bisa isi negeri kita yang luas ini.
Semoga.....
-Errik Irwan-
Kamis, 24 Februari 2011
Selasa, 22 Februari 2011
TAK ADA PEMBERONTAKAN, (MAKA) TAK ADA KEBANGKITAN, TAK ADA PERUBAHAN
Kebangkitan bisa diidentikkan dengan pemberontakan. Dan pemberontakan pasti menandakan adanya keinginan akan perubahan. Ini sesuatu yang wajar dalam kehidupan dan peradaban manusia.
Salah satu kemampuan dasar yang membuat manusia selalu menginginkan perubahan adalah bahwa ia selalu berpikir dan tak pernah merasa puas (puas tak ada batasnya). Manusia purba saja sudah menunjukkan gejala itu. Ia tak puas dengan caranya mendapatkan makanan yang terlalu sederhana dan susah, misalnya menangkap buruan dengan tangan kosong. Ia menginginkan yang lebih efisien, maka ia berpikir (siapa bilang orang purba gak bisa berpikir), mencoba-coba, dan jadilah alat berburu (misalnya tombak). Keinginan untuk sesuatu yang efisien menunjukkan bahwa manusia itu telah memiliki suatu tujuan yang hendak dicapai yaitu kemudahan berburu.
Hal-hal seperti itulah yang lambat laun merubah kehidupan dan peradaban manusia hingga dapat bergerak maju hingga kini. Secara sadar atau tidak, manusia purba itu sudah memberi contoh pemberontakan dia terhadap cara (sistem) berburu yang hanya mengandalkan tangan lalu kemudian digantikan dengan menggunakan alat. Itu wujud pemberontakan yang dasar.
Kosmosentris dan Teosentris
Orang-orang kuno zaman dahulu adalah manusia yang kapasitas berpikir dan wawasannya masih sangat terbatas sekali. Namun manusia adalah makhluk yang selalu ingin tahu (sesuatu dipelajari manusia bukan karena nilai gunanya, tapi pertama-tama karena rasa penasaran ingin tahu). Alam menyediakan berbagai hal yang mengorek rasa ingin tahu. Dengan kapasitas manusia yang terbatas, banyak hal-hal pada alam yang tak terjelaskan dan menjadi sebuah misteri bagi diri manusia. Mereka kagum akan misteri alam tersebut. Kekaguman yang berlebih membuat manusia begitu menghormati dan bahkan menyakralkan serta memitoskan alam. Misalnya begini, manusia dulu sering melihat petir di langit. Mereka bingung dan bertanya-tanya. Kemampuan berpikirnya terbatas sementara rasa penasarannya terus mendesak. Maka ia membuat kesimpulan sederhana bahwa alam sedang marah. Lalu berpikir lagi bagaimana alam tidak marah. Maka disimpulkan kembali bahwa alam harus dihormati, diberi sesembahan. Ini dimitoskan kepada anak cucunya terus menerus (tentu kebanyakkan secara lisan macam dongeng). Kira-kira seperti itulah periode kosmosentris, suatu masa dimana manusia sadar menjadi bagian kecil dari alam yang maha dahsyat (kosmo = semesta; sentris = pusat).
Namanya manusia ia cepat bosan dengan sistem alam yang maha dashyat. Maka ribuan tahun kemudian ia mulai memberontak terhadap cara lama yang menghambakan alam. Mereka berpikir bahwa ada kekuatan lain yang lebih besar yang bersifat tunggal (ilahiah) jauh di luar alam itu sendiri. Mereka mengonsepkannya sebagai Tuhan. Alam bukan yang hebat lagi, mereka menjawab keberadaan alam sebagai hasil penciptaan dari Tuhan. Maka segala mitos dan kesakralan alam mulai ’didekonstruksi’ dan jadilah pemahaman/pemaknaan baru. Orang-orang Israel kuno bisa dikatakan sebagai pelopornya. Konsep ini begitu berkembang pesat yang akhirnya mewarnai dunia (hingga hari ini). Di Eropa sendiri hal ini begitu luar biasa dan sangat mempengaruhi perkembangan peradaban mereka pada abad pertengahan. Inilah yang disebut periode teosentris, bahwa segala hal berpusat pada Tuhan dan manusia hanya bagian kecil yang lemah.
Dinamika Eropa
Eropa zaman dahulu sudah terkenal sebagai sumber kebijaksanaan. Jika Di Timur Tengah melahirkan monoteisme, di India berkembang Hindu dan Budha, sementara di Cina muncul Konfusianisme dan Taoisme, maka di Eropa berkembang filsafat yang dimotori oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles (mereka legenda sepanjang masa dunia filsafat). Kebudayaan Yunani dan juga Romawi begitu berkibar pada masa-masa ini. Pengaruh pemikiran filsafat ini meyebar sampai ke Timur Tengah dan disimpan dalam bentuk literatur arab. Ketika Eropa guncang, saling berperang atau diserang, maka banyak karya-karya berharga itu yang hancur dan lenyap. Pada masa ini pusat peradaban beralih ke Timur Tengah. Eropa sendiri seperti mengalami peradaban yang terputus. Ketika memasuki abad pertengahan, gereja telah bergitu berkuasa dan menjadi kekuatan berdampingan dengan kekuasaan raja. Pada masa ini tanah adalah sesuatu yang berharga dan penguasa tanah adalah orang yang sangat berkuasa (raja dan bangsawan adalah penguasa tanah, inilah feodalisme!). Pada masa inilah istana dan gereja-gereja megah lahir. Sementara itu ilmu pengetahuan dan kebenaran dimonopoli ketat oleh institusi strategis ini. Kata skolastik lahir karena ilmu pengetahuan ada dan berkembang ‘hanya’ di dalam biara. Para biarawan adalah juga ilmuwan. Tugasnya tak hanya berdoa tapi juga menulis serta menerjemahkan literatur-literatur arab yang kaya pemikiran filosofis yang justru akar asalnya adalah Eropa sendiri (dulu biara dilengkapi perpustakaan yang lengkap dan megah). Rakyat sendiri terpinggirkan dari perkembangan ilmu pengetahuan sehingga, bisa dikatakan, menjadi bodoh dan siap disantap penguasa.
Pada titik-titik kejenuhan abad pertengahan inilah mulai muncul pemberontakan tatanan dan cara pandang manusia. Eropa pelan-pelan sedang mendaki masa pencerahannya, renaissance (kelahiran kembali), di mana berbagai kebudayaan Eropa dan karya-karya pemikiran zaman di mana legenda filsafat masih hidup mulai menyebar. Kebanyakan masih kecil-kecilan dan tidak dirasakan rakyat banyak dan oleh sebab itu mudah diredam. Misalnya Copernicus dan Galileo (pemberontakan dalam ilmu pengetahuan). Ada juga pemberontakan ’besar’ yang juga menyurut perubahan bidang lainnya, seperti pemberontakan kalangan Protestan yang akhirnya juga mendorong gereja untuk menjadi lebih modern (Loyola dengan Serikat Yesuit). Dan akhirnya pemberontakan besar terjadi di Perancis mengakhiri masa kekuasaan absolut raja dan gereja. Revolusi Perancis bersemboyan Liberte (kebebasan), Egalite (persamaan), dan Fraternite (persaudaraan) menjadi landasan utama lahirnya demokrasi dan tata pemerintahan modern. Inilah momentum awal kebangkitan Eropa. Di sisi lain akibat berkembangnya ilmu pengetahuan (yang tentu sudah tidak disimpan penguasa lagi) lahirlah teknologi yang menyebabkan berubahnya pola berproduksi barang. Muncul Revolusi Industri di Inggris yang mengubah tata ekonomi dan kehidupan masyarakat Eropa. Ekonomi modern lahir dari sini.
Antroposentris, Modern, dan Postmodern
Kebangkitan Eropa terjadi ketika manusia mulai mengukuhkan rasionalisme (akal budi, logika) dan empirisme (pembuktian secara indrawi, bisa diartikan pengalaman) sebagai landasan utama dalam berkehidupan. Ilmu pengetahuan begitu berkembang pesat. Alam mulai dijelaskan secara ilmiah dan mitos-mitos mulai dipreteli secara cermat. Terjadi banyak penemuan baru yang menandai awal zaman modern. Segala hal dilihat berdasar nilai guna bagi manusia dan kemanusiaan (tren humanisme). Ilmu lahir untuk manusia dan manusia harus berpikir untuk bisa bertahan hidup. Ketergantungan pada nasib (bisa diartikan juga pada Tuhan) berkurang secara perlahan. Inilah yang di sebut masa antroposentris, bahwa segala hal berpusat pada manusia dan manusia harus berusaha untuk dirinya sendiri (sekularisme dan ateisme lahir disini).
Ketika manusia jenuh akan tata nilai modern yang kaku, yang hanya melihat nilai guna semata di mana segala hal harus efisien, maka muncul pemberontakan kembali. Kemapanan modern diberontak oleh anak-anak muda. Mereka melihat bahwa kemapanan modern justru melahirkan peperangan (PD 1, PD 2, Perang Vietnam, dll, yang melibatkan teknologi canggih), kerusakan lingkungan (alam dieksploitasi habis-habisan untuk tujuan kegunaan bagi manusia), bahkan diskriminasi nilai-nilai lokal (budaya, adat istiadat, agama dikikis oleh tatanan internasional). Kebangkitan anak muda ini menyebar luas berkat peran dunia seni dan hiburan (yang dilipatgandakan oleh kemajuan teknologi). The Beatles menjadi salah satu ikon pemberontakan yang melalui musik menyampaikan pemikiran-pemikiran dunia baru (grup musik lain juga demikian). Zaman gondrong-gondrongan dan warna-warni inilah menandai zaman Postmodern. Tak ada penafsiran tunggal atas suatu makna. Siapa saja boleh menjadi dirinya sendiri. Inilah kebangkitan kaum muda yang membuat dunia lebih berwarna dan kita rasakan hingga saat ini.
Indonesia Di mana-mana
Suatu ketika di masa depan manusia Indonesia sudah menguasai dunia. Dia ada memenuhi Eropa, Amerika, Afrika, bahkan di kutub. Dia ada di mana-mana. Lalu di mana bangsa lainnya? Rupanya mereka telah berkoloni ke planet, bahkan ke tatasurya lain. Mereka meninggalkan bumi yang sumpek dengan mengandalkan kemajuan ilmu pengetahuannya. Kenapa manusia Indonesia tidak demikian? Rupanya mereka masih hanyut pada tahayul, jualan mimpi, dan ketidakrasionalan. Generasi mudanya tak mampu memanfaatkan berbagai pilihan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi karena lebih tertarik pada hal-hal hiburan, remeh temeh, pencitraan dangkal, dan duitnya habis dibakar jadi asap (maksudnya untuk konsumsi BBM). Kaum mudanya terlalu terlena oleh kemapanan zaman sehingga lupa memberontak, bangkit, dan berubah. Kaum mudanya lebih banyak berharap pada nasib dan tak percaya kemampuan sendiri (misalnya tak ‘pede’ bahwa ia bisa menulis sehingga harus copy paste). Padahal perkembangan peradaban manusia telah menunjukkan bahwa tidak ada kemapanan abadi (terlalu konyol melihat agama sama persis seperti ketika ia dilahirkan). Segala hal harus dirombak dan diperbarui sesuai konteks zaman. Dan merombak adalah tugas kaum muda karena merekalah yang masih punya energi besar dan pikiran segar. Jika kaum mudanya tidak demikian, tidak ada kebangkitan, tidak ada kemajuan. Kaum muda, ayo bangkit, ayo berontak, buat perubahan!
*Tulisan yang dibuat untuk buletin K-Mu! (Katolik Muda Berbicara) edisi 02, Juni 2008.
Senin, 21 Februari 2011
Revolusi dari Kota Solo...
Kompas, Selasa, 22 Februari 2011
Ribuan warga bertepuk tangan meriah, Minggu (20/2), tatkala kain putih selubung railbus Solo—kereta baru pengumpan Solo-Wonogiri—dilucuti.
Luar biasa dan mengharukan! Sambutan warga tetap meriah di tengah guyuran hujan deras di Jalan Slamet Riyadi di pusat Kota Solo itu.
Railbus buatan PT Inka, Madiun, dengan dana dari Ditjen Perkeretaapian itu akan melayani jalur Solo-Wonogiri. Angkutan ini mengantar penumpang dari Wonogiri ke pusat kota.
Setelah itu, warga Wonogiri dapat transit di Stasiun Purwosari, Kota Solo, berlanjut dengan kereta lain menuju Yogyakarta, atau bahkan Jakarta atau Surabaya.
Solo. Inilah kota yang memilih mempertahankan transportasi massal ketimbang mengaspal rel kereta api seperti kota lainnya.
Dengan bijaksana, Wali Kota Solo Joko Widodo memilih mengucurkan uang rakyat untuk membeli bus tingkat wisata, yang bersama dengan railbus, diresmikan oleh Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono.
Bus tingkat ini mirip bus sightseeing, dengan atap terbuka seperti di Tokyo, Singapura, Madrid, atau kota dunia lainnya. Bus ini digunakan untuk melongok situs menarik di Solo dengan sepandangan mata.
Memang baru ada satu bus tingkat karena DPRD Kota Solo menolak alokasi anggaran lebih besar. Namun, tak mengapa, Solo tetap pionirnya, menjadi kota pertama dengan infrastruktur bus tingkat bagi turis yang mengunjungi kota itu.
Buruknya infrastruktur memang menjadi persoalan negeri ini, yakni bagi turis, terutama juga pebisnis, yang datang di suatu kota. Besar harapan, transportasi yang semakin prima mendatangkan pebisnis dan turis, dengan efek tumbuhnya perekonomian lokal. Dengan demikian, investasi Rp 16 miliar bagi railbus dan Rp 1,7 miliar bagi bus tingkat bisa balik modal sesegera mungkin. Setelah itu dana dapat digulirkan lagi untuk membangun transportasi umum lainnya.
Solo memang telah merajut mimpinya menjadi kota humanis, kota yang lebih baik bagi warganya. Jalur lambat di sisi selatan Jalan Slamet Riyadi, misalnya, telah diubah menjadi jalur pejalan kaki. Demikian pula trotoar dari Mangkunegaran menuju Jalan Slamet Riyadi juga diperlebar.
Tanpa gembar-gembor, Solo menolak mengekor kesalahan Jakarta dalam mengatasi kemacetan. Joko Widodo tidak ingin Solo seperti Jakarta yang menderita kerugian Rp 35 triliun per tahun. Ia tidak ingin warganya menjadi tua di jalan.
Lima belas unit Trans-Batik Solo kini dijalankan Pemerintah Kota Solo dengan konsisten. Sebelumnya, Pemkot Solo telah membangun area traffic control berbiaya Rp 21 miliar dalam lima tahun untuk mengontrol lalu lintas. Di masa depan akan dipasang variable message sign untuk menghindari kemacetan.
Kini, Solo juga mulai memimpikan trem seiring rencana pembangunan rel dari Gladak-Pasar Gede-Stasiun Jebres. Nantinya ada jalur loop Stasiun Purwosari-Slamet Riyadi-Gladak-Pasar Gede-Stasiun Jebres-Stasiun Balapan.
Boleh jadi, beberapa tahun mendatang kita sudah dapat naik trem di Solo, seperti trem Citadis di Barcelona, Madrid, Jerusalem, dan Istanbul. Kota menjadi lebih manusiawi, dengan berkurangnya emisi gas buang dan transportasi yang lancar.
Bagaimana revolusi transportasi dapat dimulai dari Solo?
Tentu saja ini berkat kepemimpinan Jokowi—sapaan akrab Joko Widodo. Sebagai pengusaha, dia mengerti betul betapa kelancaran perdagangan perlu didukung transportasi mumpuni dan betapa ekonomi suatu kota meningkat bila kota itu diminati untuk bermukim dan berusaha. Suatu kondisi yang dimungkinkan bila mobilitas orang-barang tanpa hambatan.
Jokowi juga mau mendengarkan ahli transportasi, seperti Djoko Setijowarno dari Unika Soegijapranata. Bila kota-kota lain ingin sehumanis Solo, tentu saja kini sudah ada laboratorium hidup Kota Solo. Datanglah ke Solo, pelajarilah, dan terapkanlah! (HARYO DAMARDONO)
Berdiskusi di kota Solo
Selain diskusi dan presentasi, juga ada Imelda Akmal yang sedang launching buku terbarunya " 50 Indonesian Houses and villas"... benar-benar baru dan masih dibungkus plastik.
sangat menarik...
ini masih beberapa foto di upload, karena banyak kamera dan tangan yang dipakai sehingga susah mengumpulkan semua data sesegera mungkin..
Para kru yang menerjang perjalanan panjang
Hotel yang nyaman, Rumah Turi Solo.
Saksi bisu tempat terjadinya launching dan diskusi
Interior cafe yang disulap jadi tempat presentasi. Bahkan Deddy Corbuzier tidak dapat melakukannya dengan sulap
Rak buku yang mampu membuat seseorang berkata,"keren"
Fasad depan rumah Turi
Rendah daya dan unik.
Cafe romantis
Cafe romantis
Sistem penyiraman tanaman vertikal, unik kreatif.
Belum pernah kepikiran menyiram tanaman segitunya
Belum pernah kepikiran menyiram tanaman segitunya
Sistem penghawaan rumah Turi
Rempah Rumah Karya dalam bentuk 3D.
Bisa dilihat tanpa memakai kacamata 3D
Bisa dilihat tanpa memakai kacamata 3D
Semua gambar rumah Turi
- Ayu P -
Minggu, 20 Februari 2011
IAI Student Awards 2010 (Part II-End)
1st Place (Juara I)
Judul : Redesain 3-4 Ulu Palembang Sebagai Kawasan Wisata
Penekanan Desain : Pemanfaatan Material Ekologis Pada Bangunan Utama
Permasalahan Dominan : Memudarnya Nilai-Nilai Budaya Palembang
Poster Designed by AJMariendo
Copyright @ 2010
IAI Student Awards 2010 Jawa Tengah
1st Place (Juara I)
Judul : Redesain 3-4 Ulu Palembang Sebagai Kawasan Wisata
Penekanan Desain : Pemanfaatan Material Ekologis Pada Bangunan Utama
Permasalahan Dominan : Memudarnya Nilai-Nilai Budaya Palembang
Poster Designed by AJMariendo
Copyright @ 2010
Jumat, 18 Februari 2011
Mengatasi Sindroma Marina
Oleh A Rudyanto Soesilo
ROB tidak bisa dianggap sebagai suatu kelaziman (Suara Merdeka, 5 Mei 2009), sudah menggenangi 3000 hektare lahan perkotaan (Suara Merdeka, 7 Mei 2009), dan tidak boleh dianggap suatu bagian dari nasib, suatu sikap fatalistis, kepasrahan yang hanya menunjukkan kelemahan suatu bangsa.
Karena itu, semua harus peduli terhadap rob, terutama para aktor yang terlibat di dalamnya, yaitu birokrat penentu kebijakan, para pengembang beserta para perencana dan perancangnya, serta rakyat yang bila perlu diwakili oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat ataupun lembaga penelitian universitas yang mengawasi pembangunan kota.
Kota-kota sepanjang pantura dari Jakarta, Tegal, Semarang merupakan kawasan yang lahir dari pertumbuhan peradaban yang muncul akibat sarana transportasi antarwilayah dan antarpulau waktu itu, yaitu tranportasi sungai dan laut berupa kapal, perahu dan lain-lain.
Terbentuknya jejaring perdagangan yang menjadi inti sebagai pemicu
perkembangan wilayah hunian, terus tumbuh sehingga menjadi kota-kota seperti yang kita lihat dan alami sekarang ini. Dengan makin tinggi muka air laut maka rob mulai merambah berbagai kawasan yang pada awalnya merupakan kawasan pusat-kota itu.
Setelah era kemerdekaan, maka berkembanglah kota keberbagai arah dan di antaranya meninggalkan kawasan pusat Kota Lama yang merupakan kawasan tepi-air itu.
Rob memang fenomena alamiah yang dekade ini meningkat seiring dengan fenomena global warming. Akibatnya sebagian kawasan suatu kota pantai jadi tergenang rob. Masalah bertambah ketika muncul tren pengembangan baru suatu kota yang mengglobal juga, demam Marina.
Sejak 1960-an atas sukses pengembangan kawasan tepi-air (waterfront) Inner Harbor di Baltimore, maka maraklah pengembangan kawasan pantai di kota-kota besar di berbagai belahan dunia mengikuti tren ’’Impian Marina’’ yang kemudian menjadi ’’Sindroma Marina’’ yang membuat kota-kota yang telah menderita karena fenomena rob menjadi tambah ’’sakit’’ dan lebih terjerembab lagi.
Proyek ini disebut ’’Remaking the Image of the City’’, karena telah menyulap citra kota yang ketinggalan zaman menjadi sangat menggiurkan bagi turis mancanegara.
Kasus serupa muncul di Shanghai, China yang disebut sebagai ’’The Redevelopment of the Shanghai Waterfront’’ yang berhasil menyulap kota Shanghai menjadi salah satu kota tergemerlap di dunia.
Terus berderet kota-kota di dunia, Sydney, San Francisco Bay, Boston dan yang paling menggelitik kita, yaitu tetangga kita Singapura.
Turis-turis Indonesia berdecak mengagumi keindahan Marina Bay Singapura dengan Esplanade, Marina hasil reklamasi yang konon menghabiskan sebuah pulau kita itu.
Jelas ’’Impian Marina’’ ini segera menjadi panutan kota-kota di Indonesia, dan Jakarta telah membuktikan hal itu.
Para pengembang membius masyarakat dan meluncurkan Impian baru sebagai suatu global new life-style, beramai-ramai menggarap bibir pantai Jakarta dengan mereklamasi sebagai solusi murah, mendirikan ’’Waterfront district’’ di situ dengan berbagai fasilitas permukiman mewah, rekreasi, perkantoran yang kesemuanya menjual the waterfront view sebagai tren internasional.
Semua prosedur pengembangan itu dilengkapi dengan segala dokumen yang dibutuhkan seperti amdal dan lain-lain yang sah, valid, dan resmi. Dan entah kenapa, makin lama Jakarta makin tenggelam, jalan utama menuju gerbang nasional, Bandara Soekarno-Hatta, mengalami banjir besar hingga semua penerbangan waktu itu dibatalkan. Gerbang Nasional tak berfungsi, Indonesia bak terisolasi dari dunia luar.
Lalu mau diapakan kawasan bibir pantai, terutama di Kota Semarang, yang sebagian (besar?) warganya justru tidak tahu kalau kotanya adalah kota-pantai, kota tepi-air (waterfront-city).
Kita perlu banyak belajar pada Kota Genoa, Italia, 1999 yang telah menggabungkan antara kota bersejarah dengan suatu pelabuhan modern dengan melakukan revitalisasi. Kita juga bisa belajar dari Amsterdam di Belanda dan Havana di Cuba, (Richard Marshall, Waterfronts in Post-industrial Cities, 1999).
Revitalisasasi kawasan tepi-air dengan konteks kota-bersejarah menjadi andalan yang mewarnai pengembangan kawasan tepi-air pada kota-kota bersejarah itu. Yang dilakukan adalah relasi bermakna dari pengembangan baru dengan kawasan kota-lama bersejarah itu, yang melindunginya dari kerakusan pengembangan liar.
Tanpa melakukan reklamasi yang tidak perlu dan penuh risiko, tetapi mendayagunakan potensi-potensi lama secara optimal dan terarah dengan upaya-upaya revitalisasi dan konservasi, menuju Waterfront Development in Heritage-city. (35)
– Dr A Rudyanto Soesilo, anggota Pusat Studi Urban dan Direktur Program Pascasarjana Unika Soegijapranata
http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=65363
ROB tidak bisa dianggap sebagai suatu kelaziman (Suara Merdeka, 5 Mei 2009), sudah menggenangi 3000 hektare lahan perkotaan (Suara Merdeka, 7 Mei 2009), dan tidak boleh dianggap suatu bagian dari nasib, suatu sikap fatalistis, kepasrahan yang hanya menunjukkan kelemahan suatu bangsa.
Karena itu, semua harus peduli terhadap rob, terutama para aktor yang terlibat di dalamnya, yaitu birokrat penentu kebijakan, para pengembang beserta para perencana dan perancangnya, serta rakyat yang bila perlu diwakili oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat ataupun lembaga penelitian universitas yang mengawasi pembangunan kota.
Kota-kota sepanjang pantura dari Jakarta, Tegal, Semarang merupakan kawasan yang lahir dari pertumbuhan peradaban yang muncul akibat sarana transportasi antarwilayah dan antarpulau waktu itu, yaitu tranportasi sungai dan laut berupa kapal, perahu dan lain-lain.
Terbentuknya jejaring perdagangan yang menjadi inti sebagai pemicu
perkembangan wilayah hunian, terus tumbuh sehingga menjadi kota-kota seperti yang kita lihat dan alami sekarang ini. Dengan makin tinggi muka air laut maka rob mulai merambah berbagai kawasan yang pada awalnya merupakan kawasan pusat-kota itu.
Setelah era kemerdekaan, maka berkembanglah kota keberbagai arah dan di antaranya meninggalkan kawasan pusat Kota Lama yang merupakan kawasan tepi-air itu.
Rob memang fenomena alamiah yang dekade ini meningkat seiring dengan fenomena global warming. Akibatnya sebagian kawasan suatu kota pantai jadi tergenang rob. Masalah bertambah ketika muncul tren pengembangan baru suatu kota yang mengglobal juga, demam Marina.
Sejak 1960-an atas sukses pengembangan kawasan tepi-air (waterfront) Inner Harbor di Baltimore, maka maraklah pengembangan kawasan pantai di kota-kota besar di berbagai belahan dunia mengikuti tren ’’Impian Marina’’ yang kemudian menjadi ’’Sindroma Marina’’ yang membuat kota-kota yang telah menderita karena fenomena rob menjadi tambah ’’sakit’’ dan lebih terjerembab lagi.
Impian
Seiring dengan berkembangnya tren ’’Impian Marina’’, kawasan tepian-air mulai dilirik lagi. Sukses dari Kota Bilbao di Spanyol dengan Museum Guggenheim karya arsitek Dekonstruksi Frank Gehry, membuat kota yang telah ditinggalkan turis, berbalik menjadi daerah tujuan wisata terkemuka yang berhasil meraup pendapatan yang luar biasa.Proyek ini disebut ’’Remaking the Image of the City’’, karena telah menyulap citra kota yang ketinggalan zaman menjadi sangat menggiurkan bagi turis mancanegara.
Kasus serupa muncul di Shanghai, China yang disebut sebagai ’’The Redevelopment of the Shanghai Waterfront’’ yang berhasil menyulap kota Shanghai menjadi salah satu kota tergemerlap di dunia.
Terus berderet kota-kota di dunia, Sydney, San Francisco Bay, Boston dan yang paling menggelitik kita, yaitu tetangga kita Singapura.
Turis-turis Indonesia berdecak mengagumi keindahan Marina Bay Singapura dengan Esplanade, Marina hasil reklamasi yang konon menghabiskan sebuah pulau kita itu.
Jelas ’’Impian Marina’’ ini segera menjadi panutan kota-kota di Indonesia, dan Jakarta telah membuktikan hal itu.
Para pengembang membius masyarakat dan meluncurkan Impian baru sebagai suatu global new life-style, beramai-ramai menggarap bibir pantai Jakarta dengan mereklamasi sebagai solusi murah, mendirikan ’’Waterfront district’’ di situ dengan berbagai fasilitas permukiman mewah, rekreasi, perkantoran yang kesemuanya menjual the waterfront view sebagai tren internasional.
Semua prosedur pengembangan itu dilengkapi dengan segala dokumen yang dibutuhkan seperti amdal dan lain-lain yang sah, valid, dan resmi. Dan entah kenapa, makin lama Jakarta makin tenggelam, jalan utama menuju gerbang nasional, Bandara Soekarno-Hatta, mengalami banjir besar hingga semua penerbangan waktu itu dibatalkan. Gerbang Nasional tak berfungsi, Indonesia bak terisolasi dari dunia luar.
Bibir Pantai
Sementara para pengembang mengiklankan bahwa lahan pengembangannya sama-sekali tidak banjir, aman dan ternyata tak ada yang salah dan tak ada yang bisa disalahkan. Pengembangan kawasan bibir-pantai sebagai kawasan batas-air itu seakan melengkapi kebrengsekan saluran air yang ada dan sekaligus sebagai segumpal ’’sumpel’’ besar yang menyumbat sungai-sungai yang bermuara di situ.Lalu mau diapakan kawasan bibir pantai, terutama di Kota Semarang, yang sebagian (besar?) warganya justru tidak tahu kalau kotanya adalah kota-pantai, kota tepi-air (waterfront-city).
Kita perlu banyak belajar pada Kota Genoa, Italia, 1999 yang telah menggabungkan antara kota bersejarah dengan suatu pelabuhan modern dengan melakukan revitalisasi. Kita juga bisa belajar dari Amsterdam di Belanda dan Havana di Cuba, (Richard Marshall, Waterfronts in Post-industrial Cities, 1999).
Revitalisasasi kawasan tepi-air dengan konteks kota-bersejarah menjadi andalan yang mewarnai pengembangan kawasan tepi-air pada kota-kota bersejarah itu. Yang dilakukan adalah relasi bermakna dari pengembangan baru dengan kawasan kota-lama bersejarah itu, yang melindunginya dari kerakusan pengembangan liar.
Tanpa melakukan reklamasi yang tidak perlu dan penuh risiko, tetapi mendayagunakan potensi-potensi lama secara optimal dan terarah dengan upaya-upaya revitalisasi dan konservasi, menuju Waterfront Development in Heritage-city. (35)
– Dr A Rudyanto Soesilo, anggota Pusat Studi Urban dan Direktur Program Pascasarjana Unika Soegijapranata
http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=65363
Langganan:
Postingan (Atom)