(disadur dari buku panduan pameran)
Mengapa arsitek memerlukan jam terbang yang panjang seperti pilot pesawat? Atau nafas yang panjang seperti pelari marathon? Itulah yang membedakan arsitek dengan seniman murni. Seorang pelukis adalah seorang yang merdeka,bergumul melawan dirinya sendiri. Jika orang di luar diri si seniman tidak memahami nilai keindahan dan makna dari sebuah lukisan, itu bukann persoalan besar karena produk lukisan yang menjadi karya seni tadi tidak terkait langsung dengan fungsi ruangan berikut jenis aktivitasnya, meskipun dapat dijadikan bagian dari dekorasi ruangnya.
Tidak ada kaum borjuis yang mengarahkan lukisannya sehingga sang seniman memiliki kebebasan tanpa batas. Ini pula yang membedakannya dengan arsitek dalam merealisasikan gagasan. Di alam bawah sadarnya, seorang arsitek berpikir tentang kewajibannya memproses ide dalam media gambar, maket model tiga dimensi, komputer rendering dan sebagainya sebagai alat komunikasi dengan kliennya atau masyarakat umum.
Seorang yang membeli gagasan abstrak dari arsitek kadang-kadang menuntut banyak hal supaya sesuai dengan kebutuhannya atau imajinasinya, baik mengenai luas ruang, bentuk bangunan, material, sampai susunan ruangannya. Bahkan kadangkala harus disesuaikan dengan aspek feng-shui. Bila diibaratkan dengan pelari marathon, seringpula arsitek harus berlari beberapa putaran lagi guna mencapai titik kesepahaman atau kompromi yang dapat diterima pihak lain (klien). Jika tidak banyak latihan, tentu saja bisa terjatuh di tengah jalan. Jam terbang seorang pilot maupun arsitek memiliki beberapa kesamaan, salah satunya adalah melatih kesabaran dan intuisi dalam melakukan berbagai manuver menembus awan belantara, membaca kompas dan arah angin supaya pesawat bisa tetap melaju kencang. Kemerdekaan arsitek akhirnya tinggal sebesar jari kelingking dibandingkan ide awalnya yang sebesar awan di langit. Belum lagi kompromi teknis dengan ahli struktur yang mengharuskan arsitek berpikir pragmatis dan praktis. Dalam proses perancangan ini imajinasi seorang arsitek harus ditransformasikan ke dalam imajinasi masyarakat, agar kualitas ruang yang dibayangkannya dapat dipahami. Media maket menjadi salah satu jembatan antara imajinasi sang arsitek dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat.
Maka ketika saya belajar dari perbedaan tersebut, sebuah proses kreatif arsitek yang panjang dan berliku-liku ternyata memiliki keindahannya tersendiri. Saya kemudian sadar bahwa ide dan gagasan besar dalam satu bangunan terdiri dari sekumpulan ide-ide kecil yang banyak sekali. Meskipun tantangan desain arsitektur menuntut saya untuk terus berinovasi, ketika proses merancang dimulai, ada beberapa aspek kompromi dan dialog yang harus diakui dan ternyata mampu menghasilkan hal mencengangkan serta tak terduga.
Saya pun harus lebih fleksibel dalam menyikapi peraturan, menyiasati program fungsional, eksplorasi material, kombinasi atau komposisi berbagai material dan semua itu mengarahkan pada sesuatu yang akan dicapai kemudian, baik kualitas ruang fisik maupun implisit. Tahapan tersebut tidak saja bagian dari implementasi konsep dari arsitek tetapi juga termasuk perjalanan prosesnya yang selalu tarik menarik dalam bentuk negosiasi praktis dengan kebutuhan end-user yang memiliki kriteria spesifik pada setiap ruang. Maka spesifikasi pragmatis dari end user tetap harus diterjemahkan secara estetik demi menghasilkan suatu komposisi aransenmen yang indah, unik dan personal.
Dengan memperhatikan proses sebuah karya rancangan sejak awal hingga akhir dapat memberikan inspirasi bagi proyek berikutnya. Inilah yang mendasari mengapa saya ingin menampilkan pameran bertajuk 'In Process'. Proses dalam merancang arsitektur ternyata sangat lama dibandingkan dengan proses kreatif dari disiplin lain. Dalam dunia arsitektur, peran arsitek adalah menciptakan dan mengolah ide dasarnya dulu, baru setelah itu dikomunikasikan pada ahli lainnya, seperti ahli sruktur, ahli mekanikal elektrikal dan sebagainya. Saya sadar bahwa integrasi antar berbagai disiplin sangat diperlukan tidak saja di atas kertas tetapi juga di lapangan. Dalam era globalisasi seperti saat ini, saya juga mulai berperan dalam beragam proyek di luar negeri yang mengharuskan saya untuk melakukan justifikasi agar menyerap perbedaan bahasa dan budayanya. Akhirnya saya semakin sadar bahwa arsitektur adalah seni desain yang universal, bahasa gambar menjadi perekat dialog antar perbedaan tersebut.
Tidak ada kaum borjuis yang mengarahkan lukisannya sehingga sang seniman memiliki kebebasan tanpa batas. Ini pula yang membedakannya dengan arsitek dalam merealisasikan gagasan. Di alam bawah sadarnya, seorang arsitek berpikir tentang kewajibannya memproses ide dalam media gambar, maket model tiga dimensi, komputer rendering dan sebagainya sebagai alat komunikasi dengan kliennya atau masyarakat umum.
Seorang yang membeli gagasan abstrak dari arsitek kadang-kadang menuntut banyak hal supaya sesuai dengan kebutuhannya atau imajinasinya, baik mengenai luas ruang, bentuk bangunan, material, sampai susunan ruangannya. Bahkan kadangkala harus disesuaikan dengan aspek feng-shui. Bila diibaratkan dengan pelari marathon, seringpula arsitek harus berlari beberapa putaran lagi guna mencapai titik kesepahaman atau kompromi yang dapat diterima pihak lain (klien). Jika tidak banyak latihan, tentu saja bisa terjatuh di tengah jalan. Jam terbang seorang pilot maupun arsitek memiliki beberapa kesamaan, salah satunya adalah melatih kesabaran dan intuisi dalam melakukan berbagai manuver menembus awan belantara, membaca kompas dan arah angin supaya pesawat bisa tetap melaju kencang. Kemerdekaan arsitek akhirnya tinggal sebesar jari kelingking dibandingkan ide awalnya yang sebesar awan di langit. Belum lagi kompromi teknis dengan ahli struktur yang mengharuskan arsitek berpikir pragmatis dan praktis. Dalam proses perancangan ini imajinasi seorang arsitek harus ditransformasikan ke dalam imajinasi masyarakat, agar kualitas ruang yang dibayangkannya dapat dipahami. Media maket menjadi salah satu jembatan antara imajinasi sang arsitek dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat.
Maka ketika saya belajar dari perbedaan tersebut, sebuah proses kreatif arsitek yang panjang dan berliku-liku ternyata memiliki keindahannya tersendiri. Saya kemudian sadar bahwa ide dan gagasan besar dalam satu bangunan terdiri dari sekumpulan ide-ide kecil yang banyak sekali. Meskipun tantangan desain arsitektur menuntut saya untuk terus berinovasi, ketika proses merancang dimulai, ada beberapa aspek kompromi dan dialog yang harus diakui dan ternyata mampu menghasilkan hal mencengangkan serta tak terduga.
Saya pun harus lebih fleksibel dalam menyikapi peraturan, menyiasati program fungsional, eksplorasi material, kombinasi atau komposisi berbagai material dan semua itu mengarahkan pada sesuatu yang akan dicapai kemudian, baik kualitas ruang fisik maupun implisit. Tahapan tersebut tidak saja bagian dari implementasi konsep dari arsitek tetapi juga termasuk perjalanan prosesnya yang selalu tarik menarik dalam bentuk negosiasi praktis dengan kebutuhan end-user yang memiliki kriteria spesifik pada setiap ruang. Maka spesifikasi pragmatis dari end user tetap harus diterjemahkan secara estetik demi menghasilkan suatu komposisi aransenmen yang indah, unik dan personal.
Dengan memperhatikan proses sebuah karya rancangan sejak awal hingga akhir dapat memberikan inspirasi bagi proyek berikutnya. Inilah yang mendasari mengapa saya ingin menampilkan pameran bertajuk 'In Process'. Proses dalam merancang arsitektur ternyata sangat lama dibandingkan dengan proses kreatif dari disiplin lain. Dalam dunia arsitektur, peran arsitek adalah menciptakan dan mengolah ide dasarnya dulu, baru setelah itu dikomunikasikan pada ahli lainnya, seperti ahli sruktur, ahli mekanikal elektrikal dan sebagainya. Saya sadar bahwa integrasi antar berbagai disiplin sangat diperlukan tidak saja di atas kertas tetapi juga di lapangan. Dalam era globalisasi seperti saat ini, saya juga mulai berperan dalam beragam proyek di luar negeri yang mengharuskan saya untuk melakukan justifikasi agar menyerap perbedaan bahasa dan budayanya. Akhirnya saya semakin sadar bahwa arsitektur adalah seni desain yang universal, bahasa gambar menjadi perekat dialog antar perbedaan tersebut.
Saya selalu ingin menggunakan material-material lokal yang lemah yang rentan terhadap cuaca, yang sudah pernah digunakan oleh manusia sejak dahulu seperti tanah liat, bambu, batu ,kerikil, bata ,dan seterusnya yang dikombinasikan dengan material industri seperti baja maupun kaca. Eksplorasi ini tentu saja memerlukan intensitas maupun kepekaan tehadap material.
Ruang Ambigu
Di sisi yang lain saya ingin mempertahankan hubungan antara lingkungan dan bangunan(arsitektur), terutama karena saya tumbuh di negara tropis, saya ingin merelatifkan hubungan dengan alam dengan cara melubangi, atau membuat dinding menjadi sedikit porous sehingga dengan begitu sebenarnya menghasilkan ruang dalam yang sangat menarik. Sejatinya di negara kita yang matahari bersinar setiap waktu menginspirasikan bahwa sebenarnya batas ruang luar dan dalam dapat direlatifkan atau tidak perlu dibatasi dengan sesuati yang terlalu rigid, atau bisa menyatu dengan alam. Efek dari berbagai material menghadirkan bayangan maupun pantulan baik dari dalam kaca maupun air. Kualitas ruang inilah yang saya sebut ambigous space, ruang yang ambigu. Ruang ini hidup karena bayangan yang hadir sehingga memiliki dimensi ke empat yaitu waktu, cahaya,dan bayangan.
Pada beberapa proyek, saya sudah berusaha memanfaatkan teknologi laser cut, mesin yang dapat memotong baja dengan halus sehingga dapat menghasilkan ambigous space yang indah. Ruang inilah yang saya hargai sebagai jembatan antara bangunan (arsitektur) dan alam.
Kualitas suasana ruangan ini selalu berubah bergantung dari parameter pencahayaan luar ruang maupun pencahayaan dari dalam. Saya mengunjungi Hiroshige Ando Museum di Tochigi satu jam dari luar kota Tokyo, beberapa kali dalam musim dan waktu yang berbeda-beda, saya mendapati bahwa kualitas yang ditawarkan selalu berubah dan selalu baru. Hal ini karena kualitas pencahayaan pada tiap musim berbeda-beda.
Ruang ambigu didefinisikan oleh sesuatu yang intangible yaitu bayangan, pencahayaannya, pantulan dan pergerakannya. Pergerakan dari bayangan material dari pagi ke siang hari berbeda dengan pergerakan bayangan dari siang hari ke sore.
Bagi saya dinding masif meletakkan sebuah batas yang terlalu keras, seperti memisahkan suatu tempat dengan tempat lainnya. Batas yang rigid bagi saya kurang memberikan kesempatan untuk berdialog antara alam dengan arsitektur yang saya ciptakan, dimana ada dialog yang intens antara ruang dalam dan ruang luar, ada transfer informasi antara keduanya. Seperti kertas shoiji pada bangunan tradisional jepang yang memberi kesegaran penerangan ke dalam ruang atau sebaliknya interior sebuah bangunan bisa membagikan bayangan ke luar bangunan di saat sore hari atau malam hari. Sebuah pertukaran informasi yang membutuhkan sinar sebagai medianya. Saya ingin menggunakan pertukaran informasi seperti saat ini yang membentuk arsitektur sehingga pelingkup ruang perlu dipertanyakan kembali porousitasnya, atau materialnya sehingga relasi yang misterius antara manusia dan alam akan tetap ada.
Pelingkup dari sebuah ruang adalah alat penetrasi informasi dari lingkungan di luar. Jika kita mendapatkan pelubangan pada pelingkup tersebut, maka pelingkup tersebut telah menjadi media sebagai penetrasi informasi baik itu berupa pencahayaan maupun segala partikel di udara. Media inilah sebagai kulit kedua yang sebenarnya dapat diolah kembali, dilukai, diberi pola perlubangan yang bermacam-macam hingga menjadi saringan bagi hadirnya pencahayaan ke dalam bangunan.
Dalam menghadirkan ruang ambigu ini, saya juga tidak segan untuk mempertanyakan kembali atap yang selalu tertutup rapat sehingga kita perlu pencahayaan buatan. Pada proyek R-house dan H-house atapnya sebagian telah diganti dengan rumput untuk mereduksi panas dan sekaligus menghijaukan kota tapi beberapa bagian cenderung dibuka dan diberi artikulasi kaca dan metal sehingga mampu menghasilkan pencahayaan alami ke dalam rumah sekaligus menghadirkan suasana ruang yang misterius ini.
Saya juga sangat menghargai prosesi. Bagi saya proses perjalanan manusia memahami kualitas ruang yang berbeda-beda hampir selalu ada dalam arsitektur yang saya ciptakan. Dengan artikulasi pada pencahayaannya. Ini menghasilkan drama, seperti musik. Ini dapat dirasakan seperti pada proyek ISSI vila di Bali, R-house, dan Kencana House di Jakarta. Orang yang datang ke tempat tersebut selalu diajak untuk menyelami dan menghayati ruang yang selalu berubah suasananya.
Oleh sebab itulah dalam konsep pameran ini, saya ingin menampilkan berbagai dokumentasi baik dalam bentuk sketsa, film, maket sampai catatan-catatan harian seperti artefak. Konsep ini sangat sesuai dengan karakter lokasi dimana pameran ini diselenggarakan yaitu di Museum Mandiri, Jakarta Kota. Disamping itu, hal paling penting bagi saya adalah memberi kesempatan bagi diri saya untuk ber-moratorium, menyelami kembali proses berarsitektur itu sendiri sehingga saya tetap dapat memahami kebutuhan kekinian sekaligus melakukan eco critic. Karena sebuah bangunan memiliki cerita-nya masing-masing. maka pameran ini pun menampilkan 13 proyek yang berbeda yang memiliki keunggulannya masing-masing. Sebagian besar yang ditampilkan di sini adalah proyek yang belum dan hampir selesai, dengan rentang waktu antara enam bulan sampai tujuh tahun. Jika proyek ini sudah selesai, saya yakin bahwa dokumentasi proses perancangan dan implementasinya menjadi sesuatu yang sangat berharga. Dengan demikian, saya memiliki harapan bahwa pameran ini dapat memberi motivasi serta inspirasi tidak saja untuk generasi muda tetapi juga bagi masyarakat dunia.
Budi Pradono 20.10.2010
Pada beberapa proyek, saya sudah berusaha memanfaatkan teknologi laser cut, mesin yang dapat memotong baja dengan halus sehingga dapat menghasilkan ambigous space yang indah. Ruang inilah yang saya hargai sebagai jembatan antara bangunan (arsitektur) dan alam.
Kualitas suasana ruangan ini selalu berubah bergantung dari parameter pencahayaan luar ruang maupun pencahayaan dari dalam. Saya mengunjungi Hiroshige Ando Museum di Tochigi satu jam dari luar kota Tokyo, beberapa kali dalam musim dan waktu yang berbeda-beda, saya mendapati bahwa kualitas yang ditawarkan selalu berubah dan selalu baru. Hal ini karena kualitas pencahayaan pada tiap musim berbeda-beda.
Ruang ambigu didefinisikan oleh sesuatu yang intangible yaitu bayangan, pencahayaannya, pantulan dan pergerakannya. Pergerakan dari bayangan material dari pagi ke siang hari berbeda dengan pergerakan bayangan dari siang hari ke sore.
Bagi saya dinding masif meletakkan sebuah batas yang terlalu keras, seperti memisahkan suatu tempat dengan tempat lainnya. Batas yang rigid bagi saya kurang memberikan kesempatan untuk berdialog antara alam dengan arsitektur yang saya ciptakan, dimana ada dialog yang intens antara ruang dalam dan ruang luar, ada transfer informasi antara keduanya. Seperti kertas shoiji pada bangunan tradisional jepang yang memberi kesegaran penerangan ke dalam ruang atau sebaliknya interior sebuah bangunan bisa membagikan bayangan ke luar bangunan di saat sore hari atau malam hari. Sebuah pertukaran informasi yang membutuhkan sinar sebagai medianya. Saya ingin menggunakan pertukaran informasi seperti saat ini yang membentuk arsitektur sehingga pelingkup ruang perlu dipertanyakan kembali porousitasnya, atau materialnya sehingga relasi yang misterius antara manusia dan alam akan tetap ada.
Pelingkup dari sebuah ruang adalah alat penetrasi informasi dari lingkungan di luar. Jika kita mendapatkan pelubangan pada pelingkup tersebut, maka pelingkup tersebut telah menjadi media sebagai penetrasi informasi baik itu berupa pencahayaan maupun segala partikel di udara. Media inilah sebagai kulit kedua yang sebenarnya dapat diolah kembali, dilukai, diberi pola perlubangan yang bermacam-macam hingga menjadi saringan bagi hadirnya pencahayaan ke dalam bangunan.
Dalam menghadirkan ruang ambigu ini, saya juga tidak segan untuk mempertanyakan kembali atap yang selalu tertutup rapat sehingga kita perlu pencahayaan buatan. Pada proyek R-house dan H-house atapnya sebagian telah diganti dengan rumput untuk mereduksi panas dan sekaligus menghijaukan kota tapi beberapa bagian cenderung dibuka dan diberi artikulasi kaca dan metal sehingga mampu menghasilkan pencahayaan alami ke dalam rumah sekaligus menghadirkan suasana ruang yang misterius ini.
Saya juga sangat menghargai prosesi. Bagi saya proses perjalanan manusia memahami kualitas ruang yang berbeda-beda hampir selalu ada dalam arsitektur yang saya ciptakan. Dengan artikulasi pada pencahayaannya. Ini menghasilkan drama, seperti musik. Ini dapat dirasakan seperti pada proyek ISSI vila di Bali, R-house, dan Kencana House di Jakarta. Orang yang datang ke tempat tersebut selalu diajak untuk menyelami dan menghayati ruang yang selalu berubah suasananya.
Oleh sebab itulah dalam konsep pameran ini, saya ingin menampilkan berbagai dokumentasi baik dalam bentuk sketsa, film, maket sampai catatan-catatan harian seperti artefak. Konsep ini sangat sesuai dengan karakter lokasi dimana pameran ini diselenggarakan yaitu di Museum Mandiri, Jakarta Kota. Disamping itu, hal paling penting bagi saya adalah memberi kesempatan bagi diri saya untuk ber-moratorium, menyelami kembali proses berarsitektur itu sendiri sehingga saya tetap dapat memahami kebutuhan kekinian sekaligus melakukan eco critic. Karena sebuah bangunan memiliki cerita-nya masing-masing. maka pameran ini pun menampilkan 13 proyek yang berbeda yang memiliki keunggulannya masing-masing. Sebagian besar yang ditampilkan di sini adalah proyek yang belum dan hampir selesai, dengan rentang waktu antara enam bulan sampai tujuh tahun. Jika proyek ini sudah selesai, saya yakin bahwa dokumentasi proses perancangan dan implementasinya menjadi sesuatu yang sangat berharga. Dengan demikian, saya memiliki harapan bahwa pameran ini dapat memberi motivasi serta inspirasi tidak saja untuk generasi muda tetapi juga bagi masyarakat dunia.
Budi Pradono 20.10.2010
workshopnya yg sempet saya ikutin waktu itu memberi masukan saya proses yang lebih sistematis dan sedikit gila dalam mendesain.
BalasHapussalam kenal..:))