Pada hari Sabtu (26/2/11), hari itu sungguh suram, langit mendung, hujan rintik-rintik dan terkadang deras. Kami para delegasi CS8 berniat untuk melakukan pemantauan ke TPA JATIBARANG. Kami berkumpul di Basecamp #1 tepat pukul 11.00 wib. Setelah briefing,perjalanan kami mulai pukul 12.00 wib, di saat cuaca mendung kelabu. Walaupun cuaca mendung tetapi hati kami tetap ceria. Di tengah-tengah perjalaan, kami luangkan waktu sejenak untuk mengisi bekal perjalanan dengan beberapa kantung SIOMAY di dekat Gereja Katedral demi kelangsungan hidup kami. Setelah kantung kami menggelembung, perjalan kami lanjutkan menuju ke TPA Jatibarang.
Perjalaan kami berlangsung kurang lebih 1 jam dan kira-kira menempuh jarak lebih kurang 20km. Selama perjalanan, kami banyak melewati halang rintang yang cukup mengasikkan, antara lain tanjakan terjal perbukitan, kemacetan, jalanan berlubang berisi genangan air hujan, serta aroma teraphy khas TPA yang terbawa truk-truk sampah. Kami pun terbuai dalam perjalanan melewati Jl. Sriwijaya, Jl Pahlawan, Jl. Tri Lomba Juang, Jl. Pandanaran, Jl. Siliwangi, Jl.jendral Sudirman, Jl. Abdul Rahman Saleh, Jl.Borobudur, hingga tanpa sadar kami terdampar di TPA JATIBARANG.
Sesampainya di TPA tersebut, kami mulai mengamati aktivitas penimbangan Truk sampah yang akan membuang sampahnya ke TPA tersebut. Dari hasil pengamatan, proses penimbangan yang dilakukan dikala musim hujan ini tak berjalan sesuai aturan yang berlaku. Truk melewati jembatan timbang sekedar lalu begitu saja, mengingat begitu banyaknya antrian truk akibat proses penimbunan sampah yang terhalangi lumpur di musim hujan. Repotnya, 3 dari 4 alat berat yang berfungsi menimbun dan memindahkan sampah sedang terserang demam alias sedang tidak dapat beroperasi sehingga TPA Jatibarang pun terpaksa menyewa 1 alat berat tambahan.
Usai memarkirkan motor, kami berniat berkeliling area TPA dengan kondisi jalanan yang bercucuran lumpur. Setelah sampai di TPA kami heran, “kenapa sejauh mata kami memandang yang tampak hanyalah kerumunan beronggok-onggok daging putih yang tidak lain adalah sapi, disana hampir tidak terlihat sampah yang menggunung. Mengapa demikian? Demi menghapus tanya kami yang tak berujung ini, kami akhirnya mengais informasi yang lebih lengkap dari seorang pengelola TPA tersebut.
Seorang bapak yang beberapa tahun lagi pensiun sebagai kepala TPA Jatibarang bersedia memberikan informasi yang cukup akurat dan penting bagi keberlangsungan pengelolaan TPA tersebut. Ternyata lahan TPA tersebut sudah digunakan sebagai area penimbunan sampah sejak 1994 dengan luas ± 45,6 hektar, itupun hanya untuk daerah kotamadya kota Semarang. Sedangkan untuk wilayah di luar kotamdya dikenakan biaya Rp.2000,- per kubik, sedangkan tiap 1 truk membawa ±36 kubik
Alur distribusi sampah di TPA tersebut kira-kira seperti ini:
Pertama, sampah yang datang pada pagi hari sampai sore hari akan di timbang untuk mengetahui banyaknya sampah yang akan dibuang.
Kedua, setelah sampah di timbang maka sampah di buang dan di timbunkan dengan sampah-sampah yang ada di TPA tersebut.
Ketiga, setelah menjelang sore pukul 17.00 wib, sampah yang terkumpul pada hari itu ditimbuni oleh tanah yang diambil dari perbukitan sekitar TPA Jatibarang. Fungsi dari penimbunan itu sendiri, untuk mengurangi bau yang keluar dari sampah, dan begitu untuk seterusnya. Menurut keterangan dari pengurus TPA Jatibarang, fungsi TPA tersebut dalam memuat sampah akan optimum pada ± 5 th mendatang.
Kondisi keterbatasan lahan pewadahan sampah tersebut sudah diketahui oleh pihak swasta yang berinisiatif mengolah sampah tersebut menjadi pupuk. Pihak swasta tersebut adalah PT.Narpati yang kini sedang membangun industri pengolahan sampah menjadi pupuk organic. Di atas area bukit TPA Jatibarang. Dengan keberadaan pihak swasta tersebut, maka volume sampah akan berkurang kira-kira 40%.
Tetapi perlu diingat bahwa jumlah truk yang datang ke TPA tersebut ± 400 buah dengan daya tampung ±14600 kubik tiap harinya…wwwwooooooowwwwwww….!!!!!!!!!!!!...sungguh mencengangkan……
Coba kita bayangkan bagaimana keadaannya 50th kemudian & bagaimana keadaannya saat anak cucu kita terlahir nanti. Apakah penyelesaian permasalahan sampah kota berakhir pada perluasan wilayah untuk TPA? Apakah layak sebuah TPA mendapat perluasan lahan, sementara lahan pemukiman kota pun semakin terbatas jumlahnya? Bagaimana solusi penataan perkembangan kota dan permukiman kita mendatang? Sangatlah tidak bijak jika kita hanya memikirkan diri kita sendiri dan tidak memikirkan perkembangan anak cucu kita.
Maka kami (CS8) berpendapat bahwa kita masyarakat kota Semarang seharusnya sudah bisa mengerti bagaimana cara mengolah sampah yang baik dan bagaimana cara mendaur ulang bahan/samapah yang masih bisa digunakan kembali guna mengurangi timbunan sampah di TPA JATIBARANG.
Setelah kami berdiskusi dengan pengelola TPA, kami melanjutkan jalan-jalan kami menuju ke tempat pembangunan pabrik milik PT.NARPATI. Ketika berkeliling menuju ke lokasi pengolahan sampah, kami melihat sebuah mesin besar dan ternyata mesin tersebut di fungsikan untuk mencacah sampah agar menjadi partikel yang lebi h kecil dan bisa di fermentasikan menjadi pupuk.
Perjalan pulang kami sungguh menantang, karena jalan yang kami lewati becek dan licin. Sampai-sampai salah seorang dari kami harus berkorban dengan kehilangan sandal di tempat tersebut….wkwkwkwkwkwkwkwkwkwk……
Akhirnya, kami melanjutkan perjalan pulang hingga selamat sampai ke Basecamp#1 CS8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar