””Bahkan ada pandangan doanya lebih sampai kalau menggunakan buah impor ketimbang buah lokal,”
- I Ketut Sumadi -
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tentang nasib buah lokal.
Ini tema harian Kompas hari Minggu, 16 Oktober 2011.
Saya baca ini dan Senin pagi saya tulis status fesbuk soal ini.
Saya tulis begini:
"Ini lucu banget deh. Ada pandangan (di Bali) bahwa doa akan lebih sampai kalo sesajinya menggunakan buah impor ketimbang buah lokal. Juga kenyataan negeri paling subur di dunia dengan keanekaragaman buah tropis paling kaya ternyata di pasaran dalam negeri isinya buah impor. Bahkan buah pengembangan orang2 hebat dalam negeri pun dinamai sesuatu yang berbau asing agar dianggap buah impor."
Dan seperti yang saya duga bahwa ini menarik perhatian dan menjadi bahan diskusi panjang di kolom komentar. Hanya sayang bahwa teman-teman itu belum sempat membaca artikel lengkapnya dan kesulitan membuka Kompas Cetak versi digital dari komputer markas untuk membagi tulisan tersebut.
Berikut ini dua tulisan diantaranya dari harian Kompas hari Minggu, 16 Oktober 2011.
(harap maklum saya baru bisa meneruskan artikel-artikel dan mengingatnya dengan bikin gambar (Buah Lokal Gak keren, Ayo Bikin Keren). Belum bisa melakukan lebih jauh di lapangan soal cinta tanah air. Tas punggung National Geographic yang sering saya pakai saja ternyata buatan China sebagaimana diberitahu teman saya)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BUAH LOKAL YANG TERJUNGKAL
Lihatlah sekeranjang buah atau tataplah deretan buah di balik etalase toko. Menggiurkan, menggoda mata, dan menggugah selera. Ah, sayang di negeri kaya ini, buah cantik dan menggiurkan itu kebanyakan buah impor.
Di supermarket premium Ibu Kota hingga ke pasar kota kecamatan di banyak daerah, buah-buahan impor mudah didapat. Saat mengantar buah untuk kerabat pun, buah impor lebih kerap dipilih. Kombinasi apel, pir, anggur, dan jeruk, misalnya -sebagian besar buah impor-ditenteng Dewi (34), pegawai negeri sipil di Kota Solo, Jawa Tengah, untuk buah tangan bagi relasi kantor.
”Kalau untuk relasi, tampilan buahnya penting. Nah, yang tampilannya enak dilihat, kan, buah impor. Kalau untuk dimakan sendiri di rumah, lebih penting rasa dan kandungan gizinya, itu biasanya saya pilih yang lokal,” ujar Dewi.
Buah impor tidak saja memasuki ranah konsumsi, tetapi juga menusuk ke dalam hal yang lebih substansial, seperti ritual. Di Bali, kini sebagian warga lebih suka menggunakan buah impor sebagai bahan sajen dalam upacara. Dikatakan oleh dosen Institut Hindu Dharma, I Ketut Sumadi, jika mempersembahkan buah impor, warga merasa sesajinya lebih ”berkelas” karena buah impor biasanya lebih mahal ketimbang buah lokal. Secara sosial, jika persembahan lebih mahal, yang mempersembahkan pun merasa ”kelas” sosialnya lebih tinggi.
”Bahkan ada pandangan doanya lebih sampai kalau menggunakan buah impor ketimbang buah lokal,” kata doktor kajian budaya dari Universitas Udayana, Denpasar, itu. Padahal, inti persembahan kepada Tuhan adalah dengan tulus mempersembahkan apa yang kita miliki, berarti juga apa yang tumbuh di sekitar kita.
Namun, perubahan lingkungan seolah tak sejalan lagi dengan ajaran itu. ”Banyak tanah sudah berubah jadi rumah, tidak mungkin menanam buah atau bunga lagi. Jadi, mereka semua membeli sekarang. Saat itulah hukum pasar berlaku. Di pasar, buah impor dominan, itulah yang dipersembahkan,” ujar Sumadi.
Di luar lingkup rumah tangga, buah-buahan juga menjadi bahan baku industri makanan dan minuman. Di Indonesia, industri ini berkembang baik. Namun, dalam skala besar industri, buah-buahan -atau konsentrat buah- yang jadi bahan baku pun diimpor.
”Untuk minuman ringan sari buah yang diproduksi perusahaan besar, hampir semua bahan bakunya impor karena kontinuitas pasokan harus terjamin. Standardisasi juga ketat, tidak bisa rasa asam dan manisnya beda tergantung musim,” ujar Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Franky Sibarani.
Buah-buahan impor yang menjadi bahan baku industri ini umumnya dihasilkan perkebunan besar, bukan kebun rakyat. Pada perkebunan besar, sentuhan teknologi diaplikasikan dari penanaman hingga pascapanen sehingga kontinuitas pasokan serta standardisasi rasa dan bentuk buah bisa didapat.
Tersisih
Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau yang dikelilingi lautan, mempunyai curah hujan tinggi dan cahaya matahari sepanjang tahun, ditambah tanah vulkanik yang subur. Karena itu, keanekaragaman hayati di negeri ini amat kaya, juga untuk buah-buahan tropis.
”Dalam perdagangan internasional, buah-buahan tropis kini tengah ’naik daun’ alias menjadi tren,” kata Ketua Komite Tetap Pengembangan Pasar Pertanian Kadin Indonesia, Karen Tambayong. Membuktikan hal itu, pada 2010, permintaan pasar dunia untuk buah-buahan tropis ditaksir meningkat 87 persen.
Karena itu, menjadi ironi apabila buah-buahan Indonesia - jangankan dikenal luas di pasar dunia - menjadi tuan rumah di negeri sendiri pun belum. Padahal, buah-buahan lokal ini bisa ”menang” dalam urusan rasa. Nilai gizinya juga lebih baik karena tidak melalui penyimpanan lama atau pengawetan yang menurunkan kualitas.
Buah-buahan impor umumnya bisa disimpan enam bulan hingga setahun. Bentuk luarnya dapat dipertahankan dengan lapisan lilin atau teknik penyinaran, tetapi vitaminnya merosot.
”Buah impor berkualitas tinggi juga ada di Indonesia, tetapi bukan yang dijual murah sampai ke pasar-pasar kecamatan karena harga buah impor berkualitas bagus yang tidak disimpan lama itu mahal,” ujar Reza Tirtawinata, Kepala Divisi Laboratorium dan Riset PT Mekar Unggul Sari yang mengelola Taman Wisata Mekarsari, Bogor.
Selain lebih segar, beberapa buah tropis juga terbukti lebih unggul kandungan vitaminnya dibandingkan buah subtropis. Kandungan vitamin C dan vitamin A pada buah mangga lokal, misalnya, lebih tinggi 10 kali lipat dibandingkan apel impor.
Akan tetapi, buah-buahan lokal kerap kalah ”cantik” dari buah impor. ”Bagaimana bisa cantik kalau pisang dibawa dari kebun dengan ditumpuk-tumpuk dalam truk, ditekan-tekan pula supaya padat,” ujar Reza.
Durian Petruk
Selain soal penampilan, ketersediaan pasokan buah-buahan lokal untuk pasar dalam negeri pun belum mencukupi. Di Rumah Durian Harum, Jakarta Barat, misalnya, setiap hari terjual 500-600 durian. Sebagian besar jenis montong yang diimpor dari Thailand karena jenis durian ini pasokannya paling banyak sepanjang tahun dan sudah populer.
”Durian lokal sebenarnya juga ada, tetapi stoknya enggak bisa banyak dan jenisnya berbeda-beda tergantung musim. Durian petruk, misalnya, sebenarnya berkualitas paling bagus, paling mahal, dan laku, tetapi paling lama hanya ada sebulan dalam setahun. Itu pun setiap harinya enggak bisa tersedia banyak,” kata Alan, kepala toko khusus durian ini.
Di toko swalayan premium seperti Kem Chicks Pacific Place, Jakarta, yang konsumennya lebih banyak orang asing, buah tropis lokal sebenarnya diminati. ”Kami memang menyediakan tempat khusus untuk buah lokal karena peminatnya tak kalah dengan buah impor. Ke depan, kami bahkan akan memperbanyak porsi buah lokal,” kata Manajer Toko Kem Chicks Pacific Place, Fofo.
Buah lokal berkualitas bagus, rasa ataupun penampilannya, meski tak banyak, bisa juga ditemukan di pasar. Namun, kadang buah lokal ini justru harus ”didongkrak” dengan nama ”berbau” buah impor. Durian asal Bogor yang rasanya lebih lezat dari montong Thailand, misalnya, dinamai ”montong lokal”.
Pepaya california dan pepaya hawaii yang mulai banyak dijumpai di pasar modern sekitar Jakarta juga merupakan varietas pepaya yang dikembangkan Institut Pertanian Bogor dengan ”nama asli” IPB 3 atau carisya dan IPB 9 atau callina. (CAN/IYA/WKM)
(Nur Hidayati)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
MANGGIS, SI RATU BUAH TROPIS
Siapa bilang buah-buahan asli Indonesia kalah menggiurkan dari buah impor? Buktinya, manggis ”made in” Indonesia laris di pasar dunia. Begitu eksotiknya manggis hingga si bulat ungu ini dijuluki ”The Queen of Tropical Fruit”.
Di balik kulitnya yang keunguan atau agak coklat tersimpan daging putih bersih. Perpaduan rasa manis dan asam dalam tekstur daging yang lembut, berair, terasa begitu menyegarkan. Uniknya, jumlah daging buahnya bisa dihitung dari kelopak yang ada di pangkal buah.
Tak puas karena biji manggis yang besar? Jangan salah, keanekaragaman plasma nutfah negeri ini memunculkan pula jenis manggis tak berbiji yang disebut malakensis. Ukurannya lebih kecil dibandingkan manggis pada umumnya. Buah yang pohon induknya terdapat di Riau, Jambi, dan Malaka ini juga biasa disebut baby mangosteen.
Selain malakensis, ada pula mundu (manggis kuning) dan beruas atau manggis berwarna oranye. Juga ada mundar yang sebesar telur ayam dengan kulit berwarna merah cerah, kontras dengan daging putih bersih di dalamnya. Buah yang tekstur dagingnya agak bertepung ini ditemukan di Kalimantan Selatan.
Sayang, mendapatkan varian manggis seperti itu di pasar masih cukup sulit karena belum diproduksi secara luas. Buah dari tanaman liar yang rata-rata berasal dari hutan di berbagai daerah ini baru diperbanyak untuk kepentingan koleksi di Taman Wisata Mekarsari, Bogor, Jawa Barat.
Reza Tirtawinata, Kepala Divisi Laboratorium dan Riset PT Mekar Unggul Sari yang mengelola taman ini, menjelaskan, Indonesia memang produsen terbesar manggis, tetapi pengekspor terbesar manggis adalah Thailand.
”Manggis rawan di pascapanen karena kalau jatuh saat dipetik, langsung ada urat getah kuning yang pecah dan merusak bagian dalamnya. Jadi 70 persen produksi manggis kita tidak bisa diekspor,” kata Reza yang meraih gelar doktornya dalam ilmu permanggisan.
Durian Matahari
Mekarsari sebagai kebun koleksi tanaman buah tropik dapat menampilkan potret keanekaragaman hayati negeri ini. Di kebun ini, misalnya, terdapat 45 jenis durian dari berbagai daerah di Indonesia.
Salah satunya adalah durian matahari yang kerap disebut sebagai varian durian ”nomor satu” karena dagingnya yang tebal, legit, berwarna kuning, dengan biji yang kecil. Ada pula durian tanpa sekat yang dagingnya mengumpul di tengah. Lain lagi, durian gundul atau tanpa duri. Kedua jenis durian ini ditemukan di Lombok, ”disediakan” alam tanpa rekayasa genetika.
”Durian-durian unik ini rasanya juga lezat lho,” kata Reza. Jenis buah yang dikembangkan dan dikoleksi Mekarsari ini sudah didaftarkan ke Kementerian Pertanian dan mendapat izin pelepasan varietas atau bisa diproduksi bibitnya.
Buah asli lain dari Indonesia yang juga tak kalah banyak jenisnya adalah rambutan. Mekarsari mencatat dan memiliki setidaknya 21 jenis rambutan, seperti rambutan binjai, lebak bulus, rapiah, hingga rambutan aceh.
”Plasma nutfah di Indonesia luar biasa. Kita tidak perlu repot-repot melakukan rekayasa. Tinggal mencari ke dalam hutan, bibitkan, tanam ramai-ramai,” kata Reza.
Ia mengingatkan, ”pencurian” varietas tanaman yang ada di suatu kawasan—atau negara—sangat sulit dicegah. Satu-satunya yang paling mungkin dilakukan untuk ”menyelamatkan” adalah mengembangkan sebanyak mungkin, tidak membiarkannya punah di negeri sendiri.
Tuan di Negeri Buah
Hal itu pula yang telah dilakukan Nanang Koswara (38), petani manggis asal Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Manggis dari kebunnya seluas 6,8 hektar itu sudah diekspor sampai ke China dan Uni Emirat Arab. Tak lama lagi, pasar manggis dari kebun Nanang dan petani lain di desanya akan mencapai Australia.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan, pada 2010 lalu, produksi buah lokal Indonesia mencapai 19,1 juta ton, hanya 276.000 ton di antaranya yang diekspor. Ekspor utama buah Indonesia adalah manggis, nanas, mangga, dan rambutan.
Sementara itu, impor buah ke Indonesia pada 2010 tercatat 667.000 ton atau hanya 4 persen dari produksi nasional. Namun, melihat banyak dan luasnya peredaran buah impor, sejumlah kalangan meragukan data itu. ”Saya termasuk yang meragukan kebenaran data itu,” ujar Ketua Dewan Hortikultura Nasional Benny A Kusbini.
Masih panjang jalan untuk membuat buah-buahan Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Toh, jalan itu mesti ditempuh.
Sekjen Dewan Hortikultura Nasional Karen Tambayong mengingatkan, terkait pola makan masyarakat Indonesia misalnya, konsumsi buah dan sayur masih jauh di bawah patokan yang disarankan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Konsumsi buah di Indonesia hanya 32,67 kilogram per kapita per tahun, separuh dari ketentuan FAO sebesar 65,75 kg per kapita per tahun. Karena itu, diperlukan diversifikasi makanan yang lebih kaya buah dan sayur.
Di sisi lain, kita juga belum terbiasa dengan gagasan untuk tampil indah sekaligus produktif. Kata Karen, ”Lihat di Singapura, pohon sukun untuk pembatas jalan, ubi dan singkong juga bisa untuk tanaman dekorasi.”
(Yulia Sapthiani/Nur Hidayati)
===========================================================================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar