Merapi, sebuah kata yang akan langsung mengingatkan kita pada sebuah gunung yang megah berdiri dengan kokohnya di sebagian Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebuah kosmologi yang secara menyeluruh menyentuh sebagian orang yang percaya akan Merapi adalah sumber penghidupan. Merapi adalah gunung penjaga yang memberikan kesejahteraan bagi setiap yang tinggal disekitarnya. Kadangkala dirasa Merapi membahayakan bagi sebagian kita yang tidak menganggap adanya suatu penghidupan dari Merapi saat beliau memuntahkan awan panas atau yang lebih dikenal dengan “wedhus gembel”. Namun, bagi masyarakat yang percaya akan kosmologi kekuatan Merapi ini tidak lebih hanya sebuah siklus untuk tetap menjaga kelestariannya. Bahkan bagi sebagian orang ini akan lebih termotivasi untuk tetap bisa menjaga kelestarian alam Merapi.
Lokalitas Merapi dalam berarsitektur seperti halnya keloyalan mereka
sebagian orang yang cinta akan tanah Merapi ini. Tertera banyak hal yang
sulit akan bisa kita pelajari hanya dengan waktu sehari dua hari.
Perjalanan ini dimulai dari sebuah tekad untuk memberikan suatu
penghargaan lebih pada masyarakat Merapi sebagai manusia penjaga
kebudayaan nenek moyang yang masih bertekad bulat untuk memeliharanya
saat ini dan seterusnya. Bersama tim yang terdiri atas saya sendiri
M. Resha Khambali (Arsitektur), Surya Hadhi Mustofa (Arsitektur), Kusuma
Tri Hatmaja (Arsitektur), RR. Siwi Hutami (Arsitektur) dan Teguh Suganda
(Ilmu Komputer) dan tentu saja Dr.Ir. Krispantono, MA sebagai
Pembimbing, kami memulai perjalanan ini di Desa Bojong sesuai dengan
pembagian tempatnya. Saya bersama Surya dan Teguh ditempatkan di rumah
Bapak Marju, sebuah keluarga yang benar – benar hangat menyambut kami
untuk tetap bisa kerasan walaupun baru beberapa menit menginjakkan
kaki.
Sekilas
rumah Bapak Marju seperti kebanyakan rumah di Merapi yang masuk dalam
kategori rumah kampong Jawa khas yang turun temurun ada di lereng
Merapi ini. Menurut keterangan beliau rumah ini sebenarnya adalah
warisan dari kakeknya yang berarti telah mempunyai umur hampir 100 tahun
tepatnya pada tahun 1920. Namun, jangan salah kira dahulu rumah ini
bukan serta merta utuh dari 90 tahun yang lalu, tetap saja banyak
perubahan yang terjadi pada beberapa bagian rumah ini yang disebabkan
oleh kebutuhan yang berbeda dan tentu saja karena letusan gunung Merapi
yang telah meluluh lantahkan beberapa bagian rumah ini.
Mungkin dapat dijelaskan sebagai berikut:
Mungkin dapat dijelaskan sebagai berikut:
Keterangan :
A : Emper
B : Amben
C : Soko Guru
D : Lumbung
E : Pawon
F : Padusan
G1,G2 : Kamar Tidur
B : Amben
C : Soko Guru
D : Lumbung
E : Pawon
F : Padusan
G1,G2 : Kamar Tidur
Inilah beberapa perubahan yang terjadi sejak dibangun pada tahun
sekitar 1920. Beberapa bagian telah disekat dengan menggunakan
gedhek (anyaman bambu) dan triplek. Dahulu semua orang di rumah ini tidur
di satu tempat secara bersama yaitu di amben. Amben dalam kosakata
berarti tempat untuk duduk bersama. Namun, sekarang pada beberapa bagian
telah disekat untuk dijadikan dua buah kamar tidur. Begitu juga pada
bagian lumbung yang dahulu hanya dijadikan tempat penyimpanan hasil
panen, sekarang ini turut disekat untuk kebutuhan tidur keluarga Bapak
Marju.
Pawon di rumah Bapak Marju ini masih menggunakan kayu sebagai bahan bakar utamanya. Kayu ini banyak diambil dari sekitaran yang dikeringkan dan disimpan untuk bahan bakar. Secara keseluruhan rumah ini tetap menyisakan kearifan lokalnya yang masih dapat dirasakan hingga saat ini. Begitu kokoh walaupun diterjang awan panas Merapi dan didera gempa bumi yang biasa mengguncang bagian lereng Merapi ini. Soko Guru ini hanya meliuk – liuk seakan mengikuti gerakan dari gempa bumi. Ini dikarenakan sambungan purus, biasa masyarakat Merapi menyebutnya, merupakan sambungan tumpang sari antar kayu yang sebenarnya tidak kaku bahkan bisa dibilang lentur. Sumber kekuatan dari empat buah soko guru ini hanyalah berupa tumpang sari yang oleh masyarakat merapi disebut sebagai kolong, sinder, dll yang akan dibahas dibawah.
Seolah
belum cukup untuk membahas lebih dalam perjalanan dilanjutkan dengan
menemui Bapak Muji yang oleh masyarakat Desa Bojong dikenal sebagai
ahli dalam pembuatan rumah lokal maupun modern. Dari Bapak Muji inilah
didapat banyak sekali pengetahuan baru tentang benar – benar adanya
kearifan lokal di desa ini. Dimulai dari awal masa pembangunan yang
sedianya harus memperhatikan hari baik bagi pemilik rumah, jangan
memulai membangun pada saat bertepatan dengan hari meninggalnya sanak
saudara karena hari itu diartikan sebagai “Dinten Nas” atau dalam bahasa
Indonesia disebut hari kehilangan. Ada juga istilah lain saat
mendirikan soko guru ini adalah “topo bisu” atau puasa berbicara.
Untuk membangun rumah kampung tradisional ini hal pertama yang dilakukan
adalah membuat soko guru yang berarti menurut beliau adalah gurunya
rumah yaitu sumber kekuatan dari rumah itu sendiri yang harus dihargai
keberadaannya. Soko Guru ini mengambil peranan penting dalam setiap
rumah kampong di Merapi terdiri atas empat buah batang kayu utama yang
diikat oleh tumpang sari di atasnya. Bentuknya lebih sederhana bila
dibandingkan dengan soko guru dan tumpangsari pada bangunan rumah adat Jawa di Jogja, Solo maupun Jepara. Di lereng Merapi ini semuanya seolah
polos tanpa ornament sedikitpun dan kayu tumpang sari pun hanya ada
dua batang yang terdiri atas:
Kata-kata pada gambar di atas adalah beberapa istilah yang sering digunakan oleh
masyarakat di lereng Merapi. Istilah ini rasanya perlu kita lestarikan
agar tidak tergerus oleh pergerakan zaman yang mulai berkembang dipenuhi dengan rumah
modern dari bahan bangunan modern pula. Semakin lama paradigma
masyarakat Merapi dalam pembangunan rumah bergeser menjadi sebuah
bangunan modern dengan bahan batu yang sebenarnya juga mudah ditemukan di
daerah Merapi.
Tetapi
yang perlu digaris bawahi, apapun itu yang modern belum tentu baik.
Karena sebenarnya nenek moyang di Merapi ini menciptakan rumah
sedemikian rupa juga pasti memiliki latar belakang yang kuat, terutama
respon terhadap alam. Bisa dilihat bangunan – bangunan modern dari bahan
batu ini dengan mudahnya “rontok” saat terjadinya gempa bumi yang
melanda Jogja beberapa tahun silam.
Kesimpulan yang dapat diambil, kearifan lokal arsitektur rumah kampong
di Lereng Merapi ini adalah hasil dari sebuah kebudayaan yang telah
mengakar pada setiap diri masyarakatnya. Rumah ini bukan sekedar rumah
untuk tempat berteduh melainkan sebuah respon alam yang sangat hebat
yang perlu untuk kita lestarikan.
Ditulis Oleh :
M. Resha Khambali (Fakultas Arsitektur dan Desain Unika Soegijapranata Semarang)
Tgl Observasi 18 – 19 Juni 2011
Mohon pembenaran bila ada tulisan yang salah, sebagai bahan pembelajaran bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar