Minggu, 17 Juli 2011

Tentang SANGKAR KLUSTER

Mari meluangkan waktu sejenak membaca tema Kompas Minggu, 17 Juli 2011. Jika kemakmuran, pembangunan pasca kehancuran Perang Dunia 2 & keinginan hidup yang tertib-baik-mapan melahirkan generasi Baby Boomers dua dekade kemudian yang berciri 'anti kemapanan' (yang berpengaruh pada musik, fashion, cara pandang, religiositas, & produk budaya lainnya) di Dunia Barat khususnya Amerika Serikat, kira-kira apa yang akan terjadi dengan Indonesia dua dekade mendatang? Apa lebih individualistik? Lebih terbuka pemikirannya? Apa Indonesia lebih kokoh? Pola masyarakatnya? Kegiatan ekonominya? Produk budaya yang seperti apa yang muncul? Dampak ke arsitektur-desain-dsb? Semoga sempat kita mereka-rekanya. Selamat membaca.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Mencari Bahagia di Sangkar Kluster

Perumahan kluster atau tertutup hanya menggunakan satu pintu untuk masuk dan keluar, seperti di Perumahan Bintaro View, Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (15/7)
Oleh: Nur Hidayati


Rasa aman, kenyamanan, dan privasi adalah kemewahan yang ingin dikejar lewat permukiman kluster. Namun, keterpisahan dengan masyarakat sekitar nyatanya kerap mengundang kesepian. 

Pagar besar keliling, satu pintu untuk masuk dan keluar, serta pergerakan tamu yang dipantau petugas dengan meninggalkan kartu identitas: itulah salah satu ciri kluster. Untuk lebih menjamin rasa aman, petugas pengamanan berjaga 24 jam. Plus alarm tanda bahaya di setiap rumah yang siap menyalak jika muncul gangguan keamanan. Begitulah rasa aman yang dijanjikan bagi para penghuninya.

Setelah menjajal beberapa tipe permukiman, Lianatus Edward (42) menemukan rasa paling aman dan nyaman tinggal di kluster. Seusai menikah, ia sempat menempati rumah nonkluster. ”Walaupun tak ada kejadian apa-apa, rasanya kok kurang aman dan ramai di pinggir jalan. Apalagi suamiku sering pergi lama karena dia pilot. Jadi, akhirnya kami pindah lagi ke kluster ini,” ujar warga kluster Golden Vienna 1 di kawasan Serpong, Tangerang Selatan. 
Lingkungan aman dan sehat itulah ”kembang gula” yang ditawarkan pengembang untuk memasarkan permukiman bertipe kluster. Dalam 10 tahun terakhir, hunian kluster di Jakarta dan sekitarnya marak berkembang dan kian diminati.

Kluster menyuguhkan deretan rumah berdesain serasi tanpa pagar. Satu halaman seolah menyambung ke halaman rumah di sebelahnya—hanya dibatasi area parkir mobil— memberi kesan lebih luas, indah, dan terbuka. Keterbukaan ini dijaga oleh pagar keliling kluster dengan satu pintu untuk masuk keluar.

Kisaran harga rumah tipe kluster di sekitar Jakarta—berdasarkan data Real Estate Indonesia—terentang dari Rp 400 juta hingga Rp 30 miliar per unit rumah. Namun, tipe rumah dalam satu kluster biasanya tak berbeda jauh sehingga strata ekonomi penghuninya pun tak bersenjang jauh.

Pergaulan sosial

Tengoklah bagaimana ritme kehidupan kota mengubah kebutuhan atas lingkungan rumah ideal bagi warganya. Dian (31), misalnya, lahir dan besar di perkampungan di Solo, Jawa Tengah. Ia pindah ke Jakarta tahun 2004 untuk bekerja di sebuah stasiun televisi nasional. Kini, ibu dua anak ini memilih tinggal dalam kluster di Raffles Hills, Cibubur ”Selain aman, aku pilih kluster karena tidak ada kewajiban bergaul dengan tetangga,” ujar Dian.

Sebagai ibu muda yang bekerja, ia merasa tak lagi punya waktu bersosialisasi dengan tetangga. Sepulang dari kantor, tinggal tersisa waktu untuk mengurus anak, mengelola rumah, dan beristirahat.

Ketika pindah ke kluster ini beberapa bulan lalu, Dian mengunjungi rumah ketua RT untuk urusan administrasi penduduk. Namun, sampai kini ia tak tahu siapa nama ”Pak RT” itu. Ia juga membagi bingkisan syukuran rumah baru ke beberapa rumah tetangga, tetapi itu pun tak membuatnya mengenal para tetangga. ”Kan sebagian besar yang terima pembantu,” ujarnya.
Meski tak mengenal tetangga, Dian mengaku nyaman di lingkungan kluster karena merasa privasinya terjaga. Terlebih lagi, mayoritas warga kluster itu juga pasangan yang sama-sama bekerja. ”Yang lebih bergaul di sini ya anak-anak dan pengasuh mereka, kan selalu ketemu di taman bermain. Anak-anak itu ditemani pengasuh, paling banter neneknyalah,” ujarnya.

Kebutuhan menjaga privasi juga membuat pasangan musisi Addie MS dan penyanyi cantik Memes memilih tinggal di town house Pondok Labu Garden, Jakarta Selatan. Town house berisi 36 rumah ini ditata dengan pola kluster.

”Dulu kami tinggal di perumahan yang terbuka banget, pedagang jualan apa saja lewat depan rumah. Buat saya dan Mas Addie, rasanya berisik banget. Kami perlu lingkungan yang lebih tertutup, jadi pindah ke sini,” ujar ibu dua anak ini.

Karena kesibukan, Memes tak sempat banyak bersosialisasi dengan tetangga. ”Sosialisasi perlu kalau kita punya cukup waktu. Kalau enggak, kerjaan dan rumah bisa terbengkalai, waktu untuk diri sendiri juga enggak ada,” ujar Memes yang menempati rumah berluas lahan sekitar 500 meter persegi ini.

Bagi Maya (34), yang berprofesi sebagai arsitek, tinggal di kluster memberikan ketenangan yang ia butuhkan. ”Saya butuh ketenangan saat mendesain. Itu tak bisa diganggu. Kalau di kampung kan enggak bisa cuek. Kalau ada yang punya hajat, kami enggak bisa menghindar,” kata warga Grand Cibubur, Bogor, itu.

Kesetaraan kelas sosial juga menjadi alasan bagi Christine Meilani (56) memilih hidup di dalam kluster. ”Enggak ada sirik- sirikan karena strata sosial kami enggak beda jauh. Pendidikan juga rata-rata di atas S-1 lah,” ujar Christine yang tinggal di kluster Taman Giriloka, Bumi Serpong Damai, ini.

Berubah arah

Terkait fenomena ini, sosiolog Heru Nugroho dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, mengatakan, konsep permukiman kluster berawal dari negara-negara maju, seperti AS dan Eropa. Pola hidup yang semakin individualis dan industrial mendesak masyarakat untuk membentuk kembali kebersamaan dalam sebuah kerinduan sosial.

Namun, konsep ini justru berubah total di Indonesia (tepatnya di kota besar, seperti Jakarta). ”Keinginan mereka hidup di dalamnya bukan karena kebersamaan, tetapi karena alasan keamanan dan identitas konsumsi. Misi utama kluster yang awalnya untuk hidup bersama akhirnya melenceng pada sekadar persoalan gaya hidup urban,” kata Heru.

Ia mengingatkan, jika pola ini terus berlanjut, potensi timbulnya kecemburuan sosial antarmasyarakat dikhawatirkan bisa semakin besar. ”Saat ini mereka yang hidup di kluster kebanyakan orang sibuk. Karena itu, harus ada kesadaran individual dari penghuni kluster untuk menjalin komunikasi dengan sesama penghuni ataupun masyarakat di luar,” ujarnya.
Hal itulah yang dirasakan Deva Rachman. Sekitar 1,5 tahun lalu, ia memutuskan pindah dari sebuah kluster di Kalimalang, Jakarta Timur, dan memilih tinggal di Kampung Belekok (ini istilah untuk menyebut warga yang tinggal di Jalan Belanak Ekor Kuning), Rawamangun, Jakarta Timur.

”Di kluster saya kesepian, seperti terkurung,” tutur Deva. ”Di kampung, saya mudah mencari tukang sol sepatu, tukang bakso, tukang sayur, dan terutama bergaul,” kata lulusan S-2 Sosiologi Universitas Indonesia ini.

Menurut dia, kampung memiliki aksesibilitas yang jauh lebih baik ketimbang kluster. ”Untuk mengakses transportasi publik, misalnya, jauh lebih baik di kampung,” katanya. Selain itu, kampung juga komunitas yang sesungguhnya dan heterogen. Sementara kluster merupakan komunitas yang diciptakan sehingga berbagai sistem sosial di dalamnya rapuh. 
Deva mengaku sangat menikmati saat-saat lebur bersama masyarakat kampung. Di situ ia bisa mengenal beragam karakter manusia, tetapi kemudian luluh dalam tatanan sosial yang kukuh bernama kampung. (NIT/ABK)

http://cetak.kompas.com/read/2011/07/17/04072958/mencari.bahagia.di.sangkar.kluster

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------




Kala Penghuni Kluster Kangen Pete


Oleh: Siwi Yunita dan Nur Hidayati

Kluster menjadi kawasan terlarang bagi lalu lalang pedagang. Konon, itu demi menjaga keamanan dan ketenangan warga di rumah-rumah yang dikelilingi pagar besar itu. Untuk membeli tempe dan ”pete” pun penghuni harus berikirim SMS dulu kepada penjualnya. Seruan pedagang menjajakan makanan di depan rumah kadang dirindukan Vera Makki yang tinggal di kluster The Green, Bumi Serpong Damai, Tangerang. Ia tak lagi bisa bertepuk tangan memanggil tukang sate di depan rumah. Manajemen BSD memang tidak mengizinkan pedagang keliling masuk kawasan kluster itu.

”Kami, sih, inginnya ada penjual kalau tidak keliling, tapi mangkal aja di sini, disediakan tempat tersendiri. Tapi, kami belum berani karena konsekuensinya, dagangan bisa nggak laku karena kami tidak setiap hari beli,” ujar Vera.

Manajemen Perumahan BSD memang cukup ketat mengatur pergerakan pedagang di area kluster. Pada sebagian kluster, seperti The Green dan Taman Giriloka, pedagang sama sekali tak diizinkan masuk. Pada sebagian kluster lain di perumahan ini, pedagang yang berizin boleh berjualan di kluster.

Namun, hanya sedikit pedagang yang bisa mendapat izin berjualan di kluster BSD. Andi (21), misalnya, menjadi satu-satunya tukang sayur yang diizinkan berdagang di Golden Vienna 1. Setiap pagi, dia berkeliling dengan mobil, menjual sayuran di kluster itu.

Izin yang dikantongi Andi hanya berlaku untuk satu kluster itu saja. Surat izin itu juga harus diperpanjang tiap enam bulan. ”Kakak saya yang ngurus izinnya ke manajemen BSD. Dia pedagang juga, tapi sudah lama jualan. Pakai bayar tiap perpanjangan,” ujarnya.

Warga yang rumahnya mendapat giliran dilewati belakangan oleh Andi tak cemas kehabisan karena mereka bisa lebih dulu memesan lewat telepon atau SMS kepada Andi untuk menyisihkan bahan masakan yang mereka butuhkan. Jika pembeli baru memesan sayur setelah dagangan di mobil ludes, Andi pun akan membelikan sayur yang dibutuhkan itu di luar kluster, lalu mengantarnya ke rumah si pembeli.

Bubur gratis

Di kawasan perumahan lain, jurus yang berbeda diterapkan pedagang, mulai dari mendekati petugas satpam kluster hingga mengenal pemilik rumah. Para pedagang ini juga piawai memberikan layanan pesan antar untuk bakso, sayuran, hingga sekilo apel.

Dasuki (57) boleh jadi satu-satunya tukang bubur kacang hijau yang bisa masuk-keluar kluster Senayan, Bintaro Jaya, Tangerang. Bersandal jepit, ia berkeliling mendorong gerobak bubur melintasi kluster dengan rumah-rumah bertipe terkecil 200 meter persegi dengan harga miliaran rupiah.

Setiap hari, ia berkeliling kluster Senayan hingga Elang di kawasan perumahan itu. Hampir setiap hari pula dagangannya ludes dibeli, terutama pada hari Sabtu dan Minggu. ”Di kompleks ini banyak yang beli, mulai dari juragan pemilik rumah, anak-anaknya, teman anak-anaknya, sampai baby sitter-nya,” ujarnya.

Dasuki berjualan keliling di Bintaro Jaya sejak belum ada kluster perumahan di kawasan itu. Beberapa petugas satpam yang menjaga kompleks pun ia kenal sejak mereka kanak-kanak. Dengan modal pertemanan itu, ia bisa melenggang masuk ke permukiman elite tanpa perlu menitip kartu tanda penduduk (KTP), cukup dengan imbalan semangkuk bubur gratis untuk para petugas satpam yang jaga.

Lain lagi dengan Amin (45), pedagang sayur keliling ini harus meninggalkan KTP kepada petugas satpam penjaga pintu agar diizinkan masuk dan berdagang di beberapa kluster elite Bintaro. Dalam urusan ini, para pelanggannya juga berperan.

”Ibu Rani yang rumahnya pojok suka banget kalau dibawain pete. Jadi, kadang ia sudah pesan lewat SMS, saya tinggal antar saja. Nah, kalau saya sudah masuk, tetangga-tetangganya suka beli juga,” kata Amin.

Ruwet

Berdagang di perumahan tipe kluster mereka akui memang lebih ruwet dibandingkan dengan berjualan di kampung. Selain harus meninggalkan KTP dan mengenal petugas satpam, mereka juga tak bisa lama ngetem atau nongkrong menunggu penghuni datang membeli. Begitu masuk kluster dan tak ada pembeli, mereka harus segera keluar. Beda dengan kampung yang setiap saat bisa mereka datangi dan tinggalkan sesukanya.

Meski ruwet, para pedagang itu enggan meninggalkan kesempatan berdagang di kawasan elite. Mereka berusaha bertahan karena di kawasan itu tak banyak pesaing para penjaja keliling kecuali restoran-restoran besar dan cepat saji yang juga bisa dipesan lewat telepon.

Di kawasan elite, pedagang keliling ini juga menaikkan harga makanan jualannya. Bubur kacang hijau Dasuki, misalnya, dijual Rp 6.000 per mangkuk di kluster, sedangkan harga jualnya di kampung-kampung hanya Rp 5.000. ”Karena kalau di perumahan elite, (petugas) satpam, kan, sering nggak bayar kalau makan,” ujar Dasuki.
Takim, penjual tempe yang biasa muter di kompleks mewah Bintaro, juga bisa melayani jasa pesan antar meskipun yang dipesan hanya senilai Rp 5.000 sampai Rp 10.000. Tinggal SMS, tempe atau tahu ia antar dengan motor bebek berkeranjangnya.

Ia tak perlu tampak rapi untuk masuk ke kompleks elite itu. Saat mengantar tempe di Kebayoran Heights, Tangerang, Takim datang tanpa alas kaki. Para pembeli yang sebagian besar pekerja rumah tangga atau baby sitter—bukan pemilik rumah—pun tak rewel asalkan sayuran yang dijual segar dan bersih.

Ketiadaan para pedagang ini bisa menyusahkan warga. Ama (55), warga Kebayoran Heights, mengatakan, bisa makan waktu, tenaga, dan bensin untuk mencapai pusat perbelanjaan terdekat apabila yang ia butuhkan hanya sejumput garam atau beberapa butir bawang untuk supnya. ”Mau minta tetangga juga enggak enak,” ujarnya.

Apa boleh buat, kluster adalah gaya hidup baru. Ia adalah budaya bermukim yang berbeda dengan tata bermasyarakat di kampung atau kompleks permukiman yang cenderung komunal, di mana orang bisa berbagi sejumput garam, tempe, dan pete....
http://cetak.kompas.com/read/2011/07/17/05044597/kala.penghuni.kluster.kangen.pete 
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Memilih Kampung dari New York

Di luar kecenderungan pilihan untuk hidup di tengah-tengah kluster, ada sejumlah orang yang secara sadar memilih tinggal di kampung. Mereka memiliki beragam alasan, termasuk soal suasana yang mendukung profesi dan sosialisasi.

Guru Besar Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rhenald Kasali sangat menikmati kehangatan warga di sekitar rumahnya di Pondok Jatimurni, Bekasi. Sejak Rhenald tinggal di sana, tahun 1990-an, kehangatan itu tak berubah hingga sekarang.

Bersama istrinya, Elisa, Rhenald termasuk sosok yang disegani di daerah tempat tinggalnya. Apalagi, mereka membuat banyak program untuk memberdayakan warga sekitar, seperti membuat taman bacaan, posyandu, TK, dan pendidikan anak usia dini (PAUD); membuat kebun agar ditanami warga sekitar; serta mengadakan kegiatan mengelola sampah.
Namun, kedekatan dengan para tetangga tak hanya didasari kegiatan yang dibuat Rhenald. Dalam kehidupan sehari-hari, tenggang rasa di antara warga cukup tinggi. Setiap ada warga yang menggelar hajatan, mereka saling membantu. Begitu juga saat ada yang kesusahan. Rhenald bercerita ketika suatu hari ada tetangga yang sakit karena digigit laba-laba. Saat orang ini hampir pingsan, semua tetangga sibuk menolong

”Tiba-tiba sudah ada empat tetangga di garasi rumah kami, mau pinjam mobil. Saya segera serahkan kunci. Tetapi, saya juga tak mau ketinggalan. Saya menyetir mobil mengantar ke rumah sakit. Tanpa sadar, mobil ternyata sudah dipenuhi sembilan orang, ha-ha-ha, karena banyak orang yang ingin menolong. Uang untuk membayar rumah sakit juga urunan,” tutur Rhenald.

Warga di sekitar rumah Rhenald punya celengan duafa dan beras untuk kaum lanjut usia, yang merupakan hasil urunan warga. Mereka juga mengaktifkan posyandu yang dikelola ibu-ibu yang aktif mengecek kalau ada warga miskin yang sakit.

Untuk kegiatan yang melibatkan banyak orang, inisiator tak hanya datang dari keluarga Rhenald yang punya spesialisasi mengadakan program pendidikan. ”Ada seorang guru yang punya banyak ide. Ada juga pengusaha kecil yang suka bikin kegiatan. Kalau keagamaan, ada lagi orangnya. Juga pengobatan massal, pengasapan, kerja bakti, dan lain-lain. Kami bergantian jadi inisiator,” tuturnya.

Hidup di kampung, kata Rhenald, seperti selalu ada saudara di dekatnya. Antara satu keluarga dan yang lain saling menjaga.

Andibachtiar Yusuf alias Ucup (36) dan istrinya, Swastika Nohara, bahkan ketika hendak membeli rumah telah menetapkan syarat: rumah harus ada di perkampungan dan tidak dibangun oleh pengembang. ”Kalau dibangun pengembang, pasti bentuknya seragam satu kompleks. Gue enggak suka,” ujar Ucup.
Ucup juga khawatir, seandainya tinggal di perumahan elite, apalagi yang berbentuk kluster, dia akan merasa terisolasi. ”Kalau itu terjadi, gue rasa gue enggak akan bisa hidup,” katanya.

Dia bercerita, sejak kecil, dia biasa hidup dan bergaul dengan lingkungan orang kampung yang sangat cair, saling menyapa, dan terhubung satu sama lain. ”Istilah kata, tetangga yang meninggal, gue ikut repot. Gue berantem sama orang di satu RT, orang di RT lain semuanya tahu, terus semua tanya, ’Lu berantem kenapa?’” kata Ucup yang tinggal di sebuah perkampungan Betawi di Pondok Labu, Jakarta Selatan.

Ucup juga bisa bergaul bebas dengan semua orang tanpa dihalangi sekat-sekat tembok, bahkan strata sosial. ”Semuanya berjalan asyik-asyik aja, enggak ada halangan apa pun,” katanya.

Karena itulah, setelah berkeluarga dan punya anak, dia dan istri menetapkan tinggal di sebuah perkampungan. ”Gue ingin anak-anak gue mengalami pengalaman yang sama seperti ketika gue kecil. Mereka bisa main dan bergaul bebas dengan teman-teman sekampungnya. Mereka tidak terkungkung di rumah dan lingkungan eksklusif tanpa teman,” ungkap bapak dua anak yang sehari-hari bekerja sebagai sutradara film layar lebar dan dokumenter itu.

Menikmati malam

Ada yang unik dalam cara dan proses komponis Tony Prabowo memilih tempat tinggalnya. Tahun 1997, ia sedang belajar di New York, Amerika Serikat. Seseorang menawari sebidang tanah yang berlokasi di Kampung Pulo, Cilandak Barat, Jakarta Selatan. Tony langsung tertarik dengan kata kampung. Ia pun memutuskan membeli tanah itu dan mendesain bangunannya.

Empat bulan kemudian, ketika pulang ke Indonesia, Tony sama sekali tidak menduga, rumahnya yang berlokasi di Jalan Tridharma Utama II/9A, RT 008 RW 012, itu terjepit dalam sebuah gang sempit.

”Tapi, aku suka kampung, terutama karena sunyinya...,” kata Tony, Selasa (12/7), di Jakarta. Meski awalnya kaget, apalagi karena ia memilih tinggal di kampung saat sedang berada di New York, setelah beberapa lama, Tony mengaku kerasan. Sebagai komponis, ia merasa tempat tinggalnya sekarang menyediakan segala kebutuhannya. ”Di kampung ini sepi sehingga masih bisa dengar suara malam...,” ujar Tony. Ia memang membutuhkan nuansa-nuansa yang mendukung proses kreatifnya dalam menulis komposisi.

Di luar soal itu, Tony mengaku, ia memang tidak begitu membutuhkan sosialisasi dengan warga sekitar kampung. ”Yang penting buatku aman dan tidak saling mengganggu,” katanya. Kendati terletak di tengah kampung di jalan yang sempit, tembok rumah Tony dibuat dengan dinding berlapis. Ia melakukan itu semata-mata agar warga kampung tidak terganggu kalau-kalau kelompoknya sedang berlatih memainkan musik. ”Rumahku juga, kan, berfungsi sebagai studio,” kata Tony.(CAN/IYA/BSW)
http://cetak.kompas.com/read/2011/07/17/05052057/memilih.kampung.dari.new.york. 
==========================================================================
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar