Kamis, 11 November 2010

Gereja Santa

"Menemukan kedekatan dengan Yang Transenden selalu menjadi upaya abadi manusia. Gereja, dalam hal ini adalah pertemuan vertikal-horisontal sebuah pribadi menuju Yang Transenden dan dengan pribadi-pribadi lain. Ketika menjadi suatu kebutuhan secara bersama, dibutuhkan simbol untuk mendekati-Nya. Akan tetapi, ketika simbol dan tata cara telah melebihi hakikatnya, atau sosok menjadi lebih penting dari muatannya, jarak antara pribadi dengan Yang Transenden tadi muncul. Lalu pertanyaannya adalah untuk apa harus ada wujud jika hal itu justru menjauhkan kita? Upaya meninggikan Yang Sudah Tinggi seharusnya dilakukan dengan lebih hati-hati, supaya tidak menjadi tameng peninggian ego kita sendiri.

"Berangkat dari hal tersebut, rancangan ini berusaha menawarkan hal yang lebih essensial untuk mewujud. Buka semata gereja yang memenuhi kebutuhan kekinian saja, melainkan memberikan peluang pada ruang dan arsitekturnya untuk membangkitkan sesuatu "rasa lain". Bukankah Dia datang dengan segala wujud... kicau burung, embun dan mentari pagi, bau tanah basah, semilir angin...

"Mampukah ruang-ruang yang ditawarkan menangkap kembali rasa itu tanpa mengada-ada? Mampukah sebuah gereja dalam kepadatan kota dan kebisingan lalu lintas di sekitarnya mencapai hal ini? Mampukah dengan kebutuhan daya tampung dan kebutuhan rasional lainnya menawarkan keheningan dari banyak hati....?

Desember 2000
Adi Purnomo



Itulah sepenggal pengantar sayembara renovasi Gereja Santa Perawan Maria Ratu, Blok Q- Jakarta Selatan, yg membuat saya tertarik mengunjunginya setelah menginjakkan kaki di jakarta.
Perjalanan kira-kira setengah jam dengan sepeda dari pondok pinang (kampung di pinggiran pondok indah).
Gereja Santa buat saya memang menyuguhkan 2 pengalaman dalam 1 peziarahan, pengalaman rohani, tentu saja, dan penggalaman arsitektur.

 
Betapa kompleks gereja di tengah kota mewujud menjadi semacam oase (memang kebayoran baru sebagian masih sangat teduh).
Dalam buku Relativitas, Adi Purnomo yg seorang muslim memang berhati-hati bermain dalam lingkup keimanan kristiani. Tidak ada simbolisme yg berbelit-belit, yg ada hanya kejujuran fungsi yg mampu membawa setiap manusia ke dalam suasana pertemuannya dengan Sang Pencipta.

Kesan yg pertama kali saya tangkap adalah ketenangan (bahkan sound sistemnya pun terdengar sangat soft). Ternyata memang betul, Adi Purnomo merencanakan demikian. Bahwa ia ingin merancang tempat yg membuat orang dapat beribadah sekhusyuk mungkin.
Perletakan bangunan gereja baru di antara gereja lama dan pastoran memang cukup meredam bising di pertemuan jalan di depannya, yaitu jalan Suryo , Jalan Wolter Monginsidi, dan Jalan Wijaya.

Apalagi dengan penggunaan AC yg mensyaratkan ruangan harus tertutup, semakin membuat ruang gereja  terhindar dari kebisingan. Agak disayangkan memang, Ruangan gereja ini masih tergantung dengan AC.

Pencahayaan di dalam gereja pun memaksimalkan cahaya
dari atap berbentuk seperti atap-atap pabrik dengan skylight kaca sandblast, melalui bukaan dengan konfigurasi yang tepat ini ruang gereja benar-benar cukup cahaya pada siang hari. (beberapa karyanya memang berdasarkan pemikiran penggunaan skylight untuk bangunan di lahan2 sempit).



2 komentar: