Senin, 19 Desember 2011

Hal-Hal Lain Di Sekitar Sanggar Anak Tangguh



Foto-foto berikut menggambarkan suasana  Desa Guwang di Gianyar, Bali. Inilah gambaran paling dekat sekitar Sanggar Anak Tangguh. Tidak sempat memang bermain ke aliran sungai atau menjelajahi hamparan-hamparan sawah. Tapi suasana sepi, bersih, asri, tidak panas di pinggiran jalan meskipun itu siang sekitar jam 3 sudah cukup memuaskan. Sambil minum kopi, sejenak menikmati ketenangan dan lingkungan.

Bermain (Arsitektur) ke Sanggar Anak Tangguh



Arsitek selalu dihujani sekian deadline dan tuntutan gambar. Sibuk tak kenal waktu. Tapi 30 Oktober 2011 Minggu pagi itu berbeda. Tak ada dedline, tak ada tuntutan gambar. Baru saja semua selesai pada malam beberapa jam sebelumnya.

Pagi itu pukul 09.30 Rizeki Raharja, Cok Gung Pamanayogi, dan Hadi Pramana sudah berkumpul di markas Bensley Design Studios Bali di Sanur. Sementara saya, tuan rumah, baru bangun dan baru menyusul 30 menit kemudian setelah ngebut bersepeda  di tengah cuaca yang suram-mendung. Cok Gung sudah siap dengan materi dan peralatannya. Hadi Pramana siap dengan sapaan-sapaan kanak-kanaknya. Rizeki selalu siap dengan senyuman dan sekian cerita entah kemana-mana. Dan saya masih harus menyadarkan diri bahwa kami akan mengunjungi Sanggar Anak Tangguh dan bermain arsitektur bersama anak-anak sanggar itu. Mas Adi, begitu kami memanggil Komang Adiartha, sudah lama dan berulang kali mengundang kami untuk bermain bersama anak-anak sekolah alternatif asuhannya. Bermain tentang apa itu arsitektur.

Senin, 21 November 2011

Belajar Sesuatu di Studio Akanoma - Yu Sing

Berada di pinggiran kota sebesar Bandung, lebih tepat di sebuah kampung pedesaan Padalarang, di tengah-tengah rerimbunan bambu, kebun-kebun, kampung, jalan tanah berbatu, sempit tapi cukup dilalui satu mobil, jelas ini bukan lokasi yang mudah dicapai walaupun dari situ terlihat jelas jalan tol Purbaleunyi memotong kaki bukit di seberang.

Tampak Luar Studio Akanoma - Yu Sing
Membuat studio arsitektur di lokasi tersebut bisa jadi semacam biara pengasingan sekaligus penghilang keterasingan kepada lingkungan mayoritas masyarakat kita. Ya, sebagian besar masyarakat kita tidak lepas dari hal-hal seperti kampung, kebun pertanian, jalan-jalan yang buruk, dan sebagainya. Tampaknya ini yang coba dicari (atau kebetulan didapat) oleh Yu Sing pada studio yang ia pindahkan dari hiruk pikuk kota Bandung.

Sepintas, dari kejauhan, bangunan joglo, kumal, dengan dinding aneh dari kaca bekas mobil yang masih bagus di bagian kanan bangunan. Bayangan kemegahan arsitektur luntur seketika. Tidak ada gaya-gaya clean cut - serba mulus, yang ada, tambal sulam di sana-sini. Tidak ada material serba mahal, awet, dengan kualitas internasional, yang ada cuma bambu-bambu khas rumah kampung, barang bekas, kualitas kampung.

Begitu masuk, melewati dinding ram kawat, hanya ada ruang kosong dengan ceruk di tengah-tengah. Ah.. bayangkan di ceruk itu diisi dengan air panas, bisa betahlah berendam di situ. Di setiap sudut ceruk ada kolom beton dengan empat cabang pada setiap kolom  menopang joglo di atasnya. Menarik. Sedangkan di bagian kanan ada ruang dengan pintu kaca, seperti kantor-kantor pada umumnya, dengan dinding dari krat-krat minuman. Ternyata sebuah perpustakaan akan diletakkan di ruang itu, ide mirip yang dilakukan Achmad Tardiyana pada rumah bukunya. Krat-krat minuman itu berfungsi sebagai rak-rak buku, cukup kuat. Sedangkan di bagian bawah perpustakan coba dimanfaatkan untuk kolam lele.

Di sebelah ruang perpustakaan terdapat pintu masuk ke tangga menuju lantai atas, tangga dari bambu. Nah, ini dia dinding aneh itu, dinding dari kaca-kaca mobil, masih utuh, yang tidak laku dijual lagi. Kaca-kaca mobil tersebut cukup dijepit kemudian diikat dengan kawat menuju batang-batang bambu. 

Kaca-kaca mobil bekas
Di lantai atas inilah terdapat sebuah joglo, Yu Sing mendapatkannya dari  Solo. Pada awal pembangunan studio ini, buru-buru ia merampungkan struktur beton di bawah yang akan menyangga joglo tersebut, karena pembelian joglo sudah termasuk perakitan. Sangat sayang bila tidak dimanfaatkan, mengingat perakitan joglo tidaklah mudah. Akibatnya, struktur beton menjadi kurang sempurna. Beberapa bagian retak lalu diperkuat . Ini jadi pembelajaran. 

Yu Sing juga memperpanjang tritisan atap joglo,  kemudian ia memberi beberapa batang pipa besi, miring membentuk huruf V sebagai penyangganya. Pipa-pipa ini menyambung pada talang di sekeliling atap,membuatnya berfungsi ganda : penyangga juga talang air hujan.

Suasana Studio
Warung Akanoma
Joglo inilah area kerja Yu Sing dan staf-staf nya, ruang tanpa sekat ,sudah termasuk di dalamnya dapur yang lebih mirip warung. Meja-meja kerja diletakkan di tepi ruangan, dekat dengan jendela dari nako kaca dan kombinasi tripleks bekas bekisting. Di seberangnya dapur dengan jendela lipat, saat dibuka suasana menjadi seperti warung kampung, hanya saja kurang satu hal : perlu digantungkan beberapa renteng-an krupuk, shampo, makanan ringan, dsb (:p). Meja dapur dirancang dapat dibuka-tutup untuk menyimpan beberapa peralatan masak dan makan, sedangkan beberapa rempah-rempah dan bumbu dapur disimpan pada krat-krat minuman yang diletakkan menjadi ambang jendela. Pada bagian luar dapur sudah pula diletakkan bangku panjang. Benar-benar warung!

Bagian belakang bangunan terdapat bangunan tempat beberapa staf dan mahasiswa magang tinggal sementara, seperti penginapan, tetapi beberapa masih kosong-tidak ada tempat tidur, dan sebagian dimanfaatkan untuk ruang pertemuan dengan klien. Sementara kamar mandi ada di belakang "penginapan" ini dirancang dengan detail-detail unik.


Lansekap juga tidak lepas dari perencanaan, saat ini pada bagian belakang lahan masih tampak susunan batu berundak, semakin tinggi ke belakang mengikuti kontur lahan , melengkung,  diikat kawat (bronjong)  dan di antara susunan tersebut dibuat beberapa lubang biopori.

3 jempol untuk studio Akanoma !!!
 


Selasar "Penginapan" Akanoma

Botol Kaca untuk gantungan pakaian
Dinding Bambu "Penginapan" Akanoma

Susunan Bambu harus benar-benar rapat
Penataan Lansekap Sederhana Namun Unik

Susunan Batu berundak dengan biopori di antaranya


Kristoporus Primeloka


BUAH LOKAL YANG TERJUNGKAL, MANGGIS SI RATU BUAH TROPIS


”Bahkan ada pandangan doanya lebih sampai kalau menggunakan buah impor ketimbang buah lokal,”

- I Ketut Sumadi -

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Tentang nasib buah lokal.

Ini tema harian Kompas hari Minggu, 16 Oktober 2011.
Saya baca ini dan Senin pagi saya tulis status fesbuk soal ini.
Saya tulis begini:

"Ini lucu banget deh. Ada pandangan (di Bali) bahwa doa akan lebih sampai kalo sesajinya menggunakan buah impor ketimbang buah lokal. Juga kenyataan negeri paling subur di dunia dengan keanekaragaman buah tropis paling kaya ternyata di pasaran dalam negeri isinya buah impor. Bahkan buah pengembangan orang2 hebat dalam negeri pun dinamai sesuatu yang berbau asing agar dianggap buah impor."


Dan seperti yang saya duga bahwa ini menarik perhatian 
dan menjadi bahan diskusi panjang di kolom komentar. Hanya sayang bahwa teman-teman itu belum sempat membaca artikel lengkapnya dan kesulitan membuka Kompas Cetak versi digital dari komputer markas untuk membagi tulisan tersebut.


Berikut ini dua tulisan diantaranya dari 
harian Kompas hari Minggu, 16 Oktober 2011.


(harap maklum saya baru bisa meneruskan artikel-artikel dan mengingatnya dengan bikin gambar (
Buah Lokal Gak keren, Ayo Bikin Keren). Belum bisa melakukan lebih jauh di lapangan soal cinta tanah air. Tas punggung National Geographic yang sering saya pakai saja ternyata buatan China sebagaimana diberitahu teman saya)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

BUAH LOKAL YANG TERJUNGKAL

Lihatlah sekeranjang buah atau tataplah deretan buah di balik etalase toko. Menggiurkan, menggoda mata, dan menggugah selera. Ah, sayang di negeri kaya ini, buah cantik dan menggiurkan itu kebanyakan buah impor.


Kamis, 10 November 2011

Gua Maria Sendangsono



Sebuah perjalanan yang cukup menyenangkan ketika saya bersama beberapa teman Campus Ministry Unika Soegijapranata (Ika Sisilia, Angela Maturbongs, Bonifasia A. Viviyanti, Yohanes Oxa, dan Natasha Octavia)  menikmati sedikit liburan lebaran dan berkunjung ke kota Jogjakarta. 

Sejenak kami berencana untuk pergi ke sebuah tempat doa, yaitu Gua Maria Sendangsono yang terletak di Desa Banjaroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo DI Yogyakarta.

Sedikit tentang Gua Maria Sendangsono
     
Mencuplik dari wikipedia, Sendangsono awalnya merupakan tempat pemberhentian (istirahat sejenak) para pejalan kaki dari Kecamatan Borobudur Magelang ke Kecamatan Boro (Kulon Progo), atau sebaliknya. Tempat itu banyak dikunjungi karena keberadaan sendang (mata air) yang muncul di antara dua pohon sono.


Kesejukan dan kenyamanan tempat itu ternyata juga dimanfaatkan untuk bertapa oleh sejumlah rohaniawan Buddha dalam rangka menyucikan dan menyepikan diri. Nilai spiritualistik muncul dan menguat seiring dengan adanya kepercayaan yang didasarkan pada suatu legenda bahwa tempat itu juga dihuni Dewi Lantamsari dan putra tunggalnya, Den Baguse Samija. Dari situ bisa dilihat bahwa sebenarnya nilai rohani Sendangsono sudah terbangun sebelum Gereja Katolik berkarya di tempat itu.


Keberadaan Sendangsono tak luput dari peran Romo Van Lith SJrohaniawan Belanda yang lama tinggal di Pulau Jawa. Hal itu juga menandakan bahwa Sendangsono tidak bisa dilepaskan dari lingkaran sejarah Gereja Katolik di Pulau Jawa mengingat Romo Van Lith sendiri merupakan salah satu rohaniwan yang menyebarkan ajaran Katolik di Pulau Jawa (silakan lebih jauh lihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Sendangsono)

Perjalanan kami dimulai dari Sleman menuju Sendangsono dengan menggunakan sepeda motor. Kami berlima berangkat melewati jalan pintas yang dipimpin oleh saudari Ika Sisilia. 

Sampai di lokasi kami langsung berjalan kaki untuk menuju tempat doa Gua Maria Sendangsono.  Saya baru menyadari bahwa tatanan lansekap dan arsitektur dari tempat ziarah ini sangat menarik mata saya. Dan ternyata Gua Maria Sendangsono ini didesain oleh Romo Mangunwijaya yang merupakan salah satu Arsitek idola saya. (hohoho....

Sampai ke lokasi dan langsung menuju tempat doa.
      

 Tempat peristirahatan pengunjung (ruang santai).

Minggu, 06 November 2011

Kearifan Lokal (Arsitektur) Merapi


Merapi, sebuah kata yang akan langsung mengingatkan kita pada sebuah gunung yang megah berdiri dengan kokohnya di sebagian Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebuah kosmologi yang secara menyeluruh menyentuh sebagian orang yang percaya akan Merapi adalah sumber penghidupan. Merapi adalah gunung penjaga yang memberikan kesejahteraan bagi setiap yang tinggal disekitarnya. Kadangkala dirasa Merapi membahayakan bagi sebagian kita yang tidak menganggap adanya suatu penghidupan dari Merapi saat beliau memuntahkan awan panas atau yang lebih dikenal dengan “wedhus gembel”. Namun, bagi masyarakat yang percaya akan kosmologi kekuatan Merapi ini tidak lebih hanya sebuah siklus untuk tetap menjaga kelestariannya. Bahkan bagi sebagian orang ini akan lebih termotivasi untuk tetap bisa menjaga kelestarian alam Merapi.

Sabtu, 05 November 2011

Vote Robin Lim For CNN Hero 2011


Di saat kita ramai-ramai mempeributkan sesuatu yang remeh temeh
dan juga di tengah ramai-ramai berita tentang keterpurukkan negeri ini
ada beberapa sosok yang terus bergerak,
senyap dalam sepi,
berbuat sesuatu untuk sesamanya yang membutuhkan.

Sosok-sosok ini bergerak karena dorongan hati.
Tulus, sungguh-sungguh, mengalir wajar, tak berharap gegap gempita.
Kesungguhannya bisa diukur dari waktu,
dari seberapa lama ia telah abdikan dirinya.
Mungkin pula dari pengorbanan
yang tak semuanya bisa diukur dengan matematika.

Ada banyak sesungguhnya sosok-sosok seperti ini.
Salah satunya saja Ibu Robin Lim,
seorang bidan,
mungkin juga seorang ibu bagi kita semua,
yang telah membantu kelahiran di banyak keluarga
utamanya yang tak mampu
dengan berbekal kearifan-kearifan lokal nusantara kita
dan tentu saja cinta.

Mungkin sekilas saja kita tahu dari Kick Andy
atau dari berbagai publikasi lainnya.
Dan mungkin pula hanya sebentar gambaran akan sosok ini bertengger di kepala kita.

Tapi coba tanya pada mereka yang ditolong
ataupun terlibat mengabdi berdampingan bersamanya
ataupun cobalah bertemu langsung menyaksikan dari dekat
atau bahkan mungkin langsung merasakan sentuhan pertolongannya.
Sosok ini tentu akan makin berarti dari sekedar teks-teks.

Saya beruntung berada di Bali.
Sempat melihat dari dekat sosoknya meskipun itu hanya saat presentasi.
Tapi saya lihat sendiri bagaimana ekspresi orang-orang yang pernah ditolongnya
ataupun orang-orang yang terlibat aktif dengannya.
Itu ekspresi-ekspresi luar biasa yang sulit dipetakan dengan kata-kata.

Seandainya rekan-rekan tak seberuntung saya
mungkin saja tulisan yang dibuat rekan-rekan akarumput.com ini,
'Pesan cinta dari Robin Lim',
masih bisa mewakili ribuan kata yang ingin saya utarakan.

Semoga saja kita masih punya cukup waktu dan kemampuan 
untuk bisa membaca dan meresapinya.
Dan semoga pula masih tersisa hari kita untuk sejenak memberikan dukungan.

Saya doakan rekan-rekan punya dan bisa.

- Errik Irwan -




(silakan klik Ibu dan bayi membutuhkan kamu atau Vote Robin Lim untuk CNN Hero 2011)


Jumat, 21 Oktober 2011

Kearifan Lokal Rumah Arif Budiman

Hmmm..buka-buka album lama jadi inget lupa 'share' foto-foto hasil kunjungan ke rumah salah seorang intelektual terkemuka Indonesia, Prof Dr Arief Budiman di jalan Kemiri Candi, Kota Salatiga, Jawa Tengah. 

Teman-teman CS8 mengunjungi salah satu karya alm. Romo Mangunwijaya. Kami berangkat dari Semarang pagi hari sampai Salatiga (satu setengah jam) langsung makan siang di salah satu restoran di Salatiga dan perjalanan dilanjutkan ke rumah Prof. Dr Arief Budiman. Sayang saat itu beliau tidak ada  di rumah jadi tidak bisa bercerita tentang proses pembuatan rumah asri tersebut. 


Walau begitu senang rasanya bisa melihat langsung setiap detail di setiap sudut rumah. Mulai dari permainan penataan dinding batu bata hingga detail kolom rumah sederhana namun indah inilah ada di benak saya ketika melihat detail bangunan.

Senin, 17 Oktober 2011

Soal Bio Gas





Ada sebuah bangsa yang menggunakan kotoran manusia untuk memupuki kebunnya. 
Kotoran manusia ini bahkan diperjualbelikan di pasar. 
Ini tradisi dan benar-benar dianggap barang berharga.
Memang terasa menjijikkan dan terbelakang bangsa model beginian (apalagi ditambah kebiasaan jarang mandi) bagi kita.
Itulah Korea tahun 50-an. Ya Utara, ya Selatan.

Itulah hal menarik sekali yang saya baca dari buku Catatan Perang Korea karya Mochtar Lubis. Memang tepatlah dia satu-satunya jurnalis republik ini yang diundang ke sana tahun itu.

Dan mari benar-benar kembali obrolkan hal-hal sekarang.
Ini tentang Obrolan Rabu Malam (OBRAL) 28 September 2011.
Ini tentang "Green! Lifestyle atau Way of Life?"

Jumat, 22 Juli 2011

Pameran Bangunan Peka

Bangunan Peka
Arsitektur Tanggap Lingkungan
Museum Nasional Indonesia
JL. Merdeka Barat no.12 Jakarta Pusat
6-20 Juli 2011



Pameran Bangunan Peka berfokus pada strategi desain yang responsive secara lingkungan dan social sebagai sebuah interaksi antara lanskap, manusia dan arsitektur.  Bangunan peka adalah sebuah bentuk arsitektur reaktif yang berurusan dengan pemanfaatan yang efisien atas ruang, material, konstruksi, energy, waktu dan kesenangan.  Reaktif dalam hal ini berarti perilaku yang responsive terhadap perubahan keadaan seperti cuaca, iklim, acara, frekuensi penggunaan, atau profil pengguna.  Seraya memanfaatkan solusi teknologi sederhana tradisional, teknik penyelubungan dimensi-dimensi baru dari perilaku responsive.

Minggu, 17 Juli 2011

Tentang SANGKAR KLUSTER

Mari meluangkan waktu sejenak membaca tema Kompas Minggu, 17 Juli 2011. Jika kemakmuran, pembangunan pasca kehancuran Perang Dunia 2 & keinginan hidup yang tertib-baik-mapan melahirkan generasi Baby Boomers dua dekade kemudian yang berciri 'anti kemapanan' (yang berpengaruh pada musik, fashion, cara pandang, religiositas, & produk budaya lainnya) di Dunia Barat khususnya Amerika Serikat, kira-kira apa yang akan terjadi dengan Indonesia dua dekade mendatang? Apa lebih individualistik? Lebih terbuka pemikirannya? Apa Indonesia lebih kokoh? Pola masyarakatnya? Kegiatan ekonominya? Produk budaya yang seperti apa yang muncul? Dampak ke arsitektur-desain-dsb? Semoga sempat kita mereka-rekanya. Selamat membaca.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Mencari Bahagia di Sangkar Kluster

Perumahan kluster atau tertutup hanya menggunakan satu pintu untuk masuk dan keluar, seperti di Perumahan Bintaro View, Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (15/7)
Oleh: Nur Hidayati


Rasa aman, kenyamanan, dan privasi adalah kemewahan yang ingin dikejar lewat permukiman kluster. Namun, keterpisahan dengan masyarakat sekitar nyatanya kerap mengundang kesepian. 

Jumat, 15 Juli 2011

Menikmati (Gagasan) 'RUMAH TANPA PINTU'


Pertama-tama, selamat atas terselenggaranya Pameran dan juga diskusi yang menyertainya terkait judul ‘Rumah Tanpa Pintu’ di Galeri Dia.Loe.Gue, Kemang, Jakarta.

Kemudian salut luar biasa untuk para kontributor pameran yang telah mau meluangkan waktu, memeras otak, melahirkan gagasan-gagasan, mengerahkan segenap energi dan materi untuk tak hanya menghasilkan gambar tapi juga model maket, bahkan hingga berbagai sarana pendukung yang tidak main-main pemasangannya yang akhirnya membuat pameran ini begitu layak untuk dikunjungi.

Melalui beberapa karya bisa kita cermati proses berpikir dan beraksi dalam upaya menjawab pertanyaan ’iseng’ (bagaimana jika) Rumah Tanpa Pintu (?). Dari beberapa sajian karya bisa kita rasakan keseriusan mengolah ide. Tidak asal main pasang, main sok seni. Tapi benar-benar proses ilmiah. Berbasis ujicoba dan data. Bahkan perlu terjun langsung ke lapangan, mengamati-mengikuti persoalan nyata kaum marjinal, menjadikannya landasan isu bagi si arsitek yang mungkin (dan semoga saja) berharap-harap karya eksperimen ini tidak berhenti sebatas pagelaran pameran tapi benar-benar bisa dimanfaatkan bagi mereka yang marjinal korban pembangunan kota. Harus diapresiasi upaya-upaya pembuktian bahwa arsitektur tidak hanya (melulu) sibuk bersenang-senang dengan dunianya sendiri di studio ‘menara gading’ yang nyaman.

Silakan menyaksikan langsung karya-karya tersebut yang akan dipamerkan sejak tanggal 1 hingga 20 Juli 2011. Harap maklum jika muncul ke-iri-an dari beberapa teman yang tidak bisa hadir langsung yang dalam hatinya akan bertanya-tanya: Mengapa hal-hal begini selalu berlangsung di Jakarta dan sekitarnya? (ya, mengapa selalu Jakarta dan sekitarnya yang penuh dengan kegiatan-kegiatan berarsitektur serba menarik? Ayo teman-teman kota lain, bagaimana ini?)

Untuk itu kehadiran beberapa foto berikut ini mohon untuk dilihat sebagai upaya berbagi ’kemerdekaan’, menjawab keingintahuan bagi mereka yang tak bisa hadir tanpa bermaksud sedikitpun mengurangi niatan bagi mereka yang bisa untuk hadir (ya, akan jauh lebih nikmat jika hadir dan merasakan langsung aura pemikiran karya-karya ini). Semoga pihak penyelenggara berkenan.




(yang pada 6 Juli 2011 beruntung bisa hadir menikmati langsung)

Minggu, 10 Juli 2011

Rempah Rumahkarya-Surakarta l Arsitek Paulus Mintarga




Sebuah catatan kecil

tentang bangunan rempah rumahkarya

Sekumpulan batang baja bekas dalam berbagai dimensi panjang dipakai untuk menyusun rangka utama. Jika diperhatikan, rangkaian terbentuk karena taat pada kondisi kemiringan masing-masing ujung batang tanpa harus memotong. Dengan logika struktur yang diperhitungkan dengan berani munculah profil yang provokatif atas konsekwensi material yang ada. Sebuah demonstrasi proses kreatif pembentukan ruang yang cerdas. Berserah pada material yang ada untuk kemudian mengrti cara memperlakukannya.
Sikap ini terlihat berlanjut  pada penyelesaian bagian bangunan lainnya. Kadang terlihat sebagai kumpulan ketidaksengajaan. Namun ini merupakan proses desain yang mengalir bersamaan dengan kesadaran material yang ada. Ibaratnya adalah komposisi musik yang dimainkan di atas panggung dengan penuh improvisasi, bukan lagu yang direkam dalam studio.
Sikap lain yang terlihat adalah mencoba. Lantai bambu dengan finishing plaster semen adalah keputusan berani yang dilakukan dengan sadar mengingat perbedaan karakter setiap material dan beban bergerak yang akan terjadi. Penyelesaian yang lain dengan menambahkan anyaman bambu membuktikan upaya mencoba yang terus belangsung dalam prosesnya.
Membaca keseluruhan kompleks  bangunan ini, segera tersirat suatu semangat kreativitas. Sebuah hal yang mestinya baik untuk kelanjutan penggunaan bangunan ini. Meski pada awalnya dimaksudkan sebagai gudang penaung material, pada perjalannya berubah menjadi bengkel kerja untuk berbagai kegiatan kreatif.
Sepertinya ada hikmah dari perubahan fungsi tadi. Pada hari-hari terakhir  didapati peluang tempat ini menjadi lebih terbuka untuk berinteraksi dengan warga masyarakat sekitar. Ternyata ada beberapa perkumpulan kesenian dan tempat ini membuka diri untuk kegiatan mereka. Sebuah hal yang tidak akan terjadi dengan sebuah gudang material.
Barangkali memang seperti itulah jalan yang telah dan akan dilalui. Bergerak mengalir. Bernafas Improvisasi yang terbuka dan tidak pernah selesai. Sebuah harapan untuk menjadi tempat yang baik bagi para peminat kerja kreatif di waktu-waktu yang akan datang.

Adi Purnomo, 23 Juni 201


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Visi :


Rempah rumahkarya, tuk ing omah sumrambah , house of oase. Rumah yang dengan semangat gotong royong menjadi sumber inspirasi, inovasi, kreatifitas dan pemberdayaan dalam meningkatkan kualitas produktifitas ( terukur ) untuk meningkatkan kesejahteraan bersama.

Misi :


 Merupakan rumah karya bagi anak bangsa

      Pemberdayaan lokalitas dan potensi bangsa Indonesia sebagai bangsa pengrajin dengan cita rasa keanekaragaman budaya yang tinggi

           Wadah bagi profesional dan komunitas-komunitas kreatif untuk saling berbagi, menguatkan dan bersinergi dalam tindak nyata

      Rumah yang memiliki organ creative outlet untuk memadarkan produk “ Good Indonesian Design “ ke pasar dunia

      Rumah untuk residensi dan edukasi


Sabtu, 09 Juli 2011

Dari Pameran Arsitektur: Hidup dan Karya C.P. Wolff Schoemaker

Terlambat satu jam untuk menghadiri Pembukaan Pameran Arsitektur: 'Hidup dan Karya C.P. Wolff Schoemaker', Selasa, 5 Juli 2011, 19.00 WIB yang bertempat di Erasmus Huis, Jl. H.R.Rasuna Said Kav. S-3 Kuningan - Jakarta, akibat kemacetan Jakarta. Namun pembukaan masih sangat ramai mulai dari pengunjung berumur berjas resmi/berbatik-batik hingga anak-anak muda berkaos kasual-berjins ria. Lengkap dari bule-bule hingga pribumi tulen (kata 'pribumi' memang patut dipertanyakan dalam era global kini). Kendaraan memenuhi sisi jalan, mulai dari roda empat supermewah hingga roda dua sangat sederhana. Cukup panjang. Cukup sulit cari parkir. Makanan, minuman, juga bir tersaji melimpah. Juga berbagai brosur, termasuk majalah Babyboss dan Concept, bebas diambil. Semua gratis. Tidak dibatasi undangan tertentu.
Rentang periode pameran ini cukup panjang yaitu dari 5 Juli hingga 9 September 2011. Namun harap cermat mengenai prosedur keamanan di pintu masuknya. Lebih ketat daripada di bandara.

Untuk yang tidak (akan) bisa menghadiri pameran ini silakan saja melihat beberapa foto di bawah ini yang diambil secara bebas.

Sabtu, 25 Juni 2011

Kampung Bersuara (Saatnya)


Ide komik ini didapat pada 30 September 2010 terinspirasi dari gerakan teman-teman arsitektur dan non-arsitektur yang mendampingi kampung-kampung di beberapa kota, khususnya Solo. Ide komik ini juga muncul sebagai keprihatinan dan sekaligus kritik penulis terhadap teman-teman muda arsitektur dan non-arsitektur yang begitu sibuk dengan dunia pribadinya. Mungkin komik ini juga menjadi kritik terhadap diri penulis sendiri ketika juga terlalu sibuk dengan dunia pribadi sendiri. Namun juga komik ini merupakan dukungan pribadi terhadap gerakan teman-teman agar terus hidup sementara penulis sendiri belum bisa berpartisipasi nyata (karena masih sibuk dengan dunia pribadi sendiri).

- - -

“Bukan melalui retorika gegap gempita, ataupun bermain politik dengan kaum elite, melainkan dengan menanamkan akar-akar pranata yang beradab-berkeadilan di bumi nyata, dengan belajar dan membangun bersama dengan rakyat di kampung-kampung. Sebab, mayoritas bangsa Indonesia tinggal di kampung-kampung. Sebab, kampung, sebagai satuan terkecil permukiman dan masyarakat, merupakan benteng terakhir pertahanan rakyat dari kekuatan-kekuatan yang buas-menindas. Dari sanalah demokrasi, sebagai landasan pranata beradab-berkeadilan yang kita cita-citakan, semestinya dibangun.”

- Darwis Khudori dalam sampul bukunya, “Menuju Kampung Pemerdekaan” -


- - -


 Bagaimana teman-teman arsitektur dan non-arsitektur? Bagaimana generasi muda?


?

- Errik Irwan -

Selasa, 21 Juni 2011

SEMARANG 2100

Mari berkhayal-khayal kota kita.
Setelah sekian generasi ke depan.
Setelah sekian anak muda pulang.
Membawa modal dan intelektual.
Membawa pengetahuan dan ketrampilan.
Bagaimana cara membangun kotanya.
Sehebat-segegap gempita Dubai, Shanghai, Beijing,
Dan kota-kota Hyper-megalopolis negara maju lainnya.
Mari berkhayal-khayal…


Ini Semarang 2100.
Bandara A Yani sudah di Kendal dan lebih besar.
Reklamasi Marina berhasil jadi pusat pertumbuhan ekonomi prestisius!
Universitas-universitas sekarang berciri teknologi tinggi.
Lulusannya bisa menaklukkan tantangan alam.
dan cakap mencakar-cakar langit.
Warga kotanya terlanjur super-kaya.
Investasi dimana-mana.
Singkatnya Semarang 2100 tidak kalah dengan Dubai, Shanghai, Beijing.
Giat membangun, membangun, membangun,…



Membangun, tapi lupa daratan.
Daratannya tak mampu tahan sekian bangunan.
Diperparah pencairan es kutub efek pemanasan.
Ia pun tenggelam ditelan lautan.


Semarang 2100.
Ada Bukit GunungPati, Bukit Gunung Ungaran.
Ada Pantai Bukit Sari, Pantai Bukit Gombel.
Ada Taman Laut Kota Lama, Taman Laut Pemuda, Taman Laut Simpang Lima.
Dan ada wisata jelajah bangunan tua dalam air.
Semarang Kota Air.


Benar-benar hebat!


Sayang, kita cuma berkhayal-khayal kota kita.