Senin, 19 Desember 2011

Bermain (Arsitektur) ke Sanggar Anak Tangguh



Arsitek selalu dihujani sekian deadline dan tuntutan gambar. Sibuk tak kenal waktu. Tapi 30 Oktober 2011 Minggu pagi itu berbeda. Tak ada dedline, tak ada tuntutan gambar. Baru saja semua selesai pada malam beberapa jam sebelumnya.

Pagi itu pukul 09.30 Rizeki Raharja, Cok Gung Pamanayogi, dan Hadi Pramana sudah berkumpul di markas Bensley Design Studios Bali di Sanur. Sementara saya, tuan rumah, baru bangun dan baru menyusul 30 menit kemudian setelah ngebut bersepeda  di tengah cuaca yang suram-mendung. Cok Gung sudah siap dengan materi dan peralatannya. Hadi Pramana siap dengan sapaan-sapaan kanak-kanaknya. Rizeki selalu siap dengan senyuman dan sekian cerita entah kemana-mana. Dan saya masih harus menyadarkan diri bahwa kami akan mengunjungi Sanggar Anak Tangguh dan bermain arsitektur bersama anak-anak sanggar itu. Mas Adi, begitu kami memanggil Komang Adiartha, sudah lama dan berulang kali mengundang kami untuk bermain bersama anak-anak sekolah alternatif asuhannya. Bermain tentang apa itu arsitektur.

Perjalanan pagi itu diiringi hujan lebat. Jarak pandang mata kurang dari 10 meter. Kami harusnya sudah sampai. Bukan malah baru awal berangkat. Jam 11.00 kami tiba di Desa Guwang di Gianyar, Bali dan kebetulan hujan reda. Jarak pandang meningkat sekian ratus kilometer dan menyapu 360 derajat keberadaan hamparan sawah hijau yang siap menguning. Dari pinggir jalan sepi dan sawah  sunyi Desa Guwang kami bisa melihat keramaian warna-warni sebuah dinding tembok. Kami tahu di situlah ada Sanggar Anak Tangguh. Aroma kreativitas menuntun langkah-penciuman kami.

Sepeda-sepeda mini yang kebasahan menyambut kami. Anak-anak Sanggar masih dihibur oleh para pengasuh sambil satu persatu anak-anak itu menuntaskan tulisan pengalaman liburannya. Mungkin para pengasuh itu sudah menyiapkan rencana 'B' setelah menyadari bahwa memang kaum arsitek seperti kami ini suka bertelat-telatan. Tak perlu lama kami menunggu dan merenung soal keterlambatan dan betapa menyenangkannya tempat ini. Arena sudah disiapkan untuk diisi acara arsitektur. Hadi Pramana, sang pakar pendidikan, membuka perhelatan. Anak-anak menanggapi. Itu taktik pemanasan yang bagus sebelum anak-anak ini diajak berpusing-pusing soal arsitektur yang bagi kami sendiri saja sudah cukup memusingkan.

Setelah cukup pemanasannya langsung saja Cok Gung menyambut anak-anak dengan rangkaian materi dan peralatan boyongannya: lembaran ketikan tulisan, layar proyektor, laptop, kabel-kabel, dan sekumpulan slide menyenangkan tentang arsitektur. Anak-anak berebut menyambut lembaran tulisan seolah itu hadiah sinterklas. Anak-anak itu cepat pula tenggelam dalam bacaan. Ketekunan baca mereka sampai menciptakan bunyi-bunyi mendengung seperti kawanan lebah. Kebingungan tentang tulisan itu langsung diantisipasi dengan rangkaian slide yang seolah penangkal racun-kebingunan lembaran tulisan. Sesekali dibantu pula dengan cerita dan senyuman Rizeki Raharja. Entah berhasil entah tidak, sampai sekarang saya sendiri tetap bingung apa hubungan isi tulisan soal kehidupan burung Blue Light Emperor dengan rangkaian slide gambar karya-karya arsitektur. Bahkan meski dibantu dengan kehadiran maket arsitektur sebagai bantuan peraga.

Ini ada yang menarik. Selagi berlangsung cerita soal arsitektur yang berbelit-belit yang mengiringi jalannya slide, anak-anak sanggar itu berkomentar-komentar. Serentak komentar sederhana mereka: Bagus, atau Jelek. Pada saat slide menampilkan Studio Cahaya karya arsitek Adi Purnomo yang bertabur penghargaan itu serentak anak-anak berteriak lantang: JELEK! Terus berlanjut mereka berkomentar seperti itu tiap gambar-gambar Studio Cahaya muncul. Mungkin tidak demikian jika para mahasiswa dan arsitek yang melihat bangunan abu-abu polos berdinding miring-miring beratap transparan itu. Mungkin dipuji-puji, bahkan ditiru-tiru. Tapi anak-anak kecil adalah makhluk yang jujur. Tak seperti mahasiswa dan para arsitek yang suka tipu-tipu. Jadi mungkin saja bangunan itu sesungguhnya jelek. Mungkin saja.

Karena mengata-ngatai karya Adi Purnomo jelek, anak-anak itu akhirnya diganjar dengan disuruh menggambar tentang apa yang menurut mereka bagus pada selembar kertas A4 kosong yang dibagikan. Secara spesifik anak-anak itu diminta menggambar bale. Bebas, tak ada batasan bale yang bagaimana dan seperti apa. Boleh pula diwarnai. Yang penting bagus menurut mereka. Tak butuh lama untuk melihat anak-anak itu segera tenggelam dengan kesibukan baru. Corat-coret. Ada yang dengan penuh kesunyian, ada yang sambil diiringi kegaduhan dan gejolak-gejolak. Lantai sanggar seperti telah terzoning. Yang pojok kanan depan gaduh-bergejolak. Yang pojok kiri ke belakang sunyi penuh kedamaian.

Banyak anak-anak yang menggoreskan bangunan seperti yang ada disekitar mereka. Atap pelana, ada jendela, ada pintu. Beberapa melengkapi dengan pohon. Beberapa lagi lebih lengkap: melengkapi dengan gunung dan sawah. Lebih lengkapnya: dua gunung, hamparan sawah, jalan membelah, dan matahari mengintip. Beberapa lainnya cukup detail dengan melengkapi bangunannya dengan ukiran Bali. Mungkin agar bisa dapat Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Ada yang lebih senang polos. Ada pula yang senang diwarnai agar ramai. Beberapa menggores-gores spontan. Beberapa lainnya yang berperalatan lebih lengkap menggaris-garis teratur dengan penggaris. Semua hanyut dengan caranya masing-masing.

Ada kejadian unik saat itu. Seorang anak perempuan sekitar awal SD menangis. Kami lupa namanya dan ceroboh tak mencatatnya. Anak perempuan itu menangis karena merasa buntu tak bisa menggambar. Lembarnya kosong. Tak tahu apa yang harus digambar. Dan takut karena tak bisa segera mulai menggambar. Saya coba dekati. Kebetulan selalu ada buku sketsa di kantong rompi. Saya tunjukkan sketsa-sketsa arsitektur yang semrawut itu. Saya ajak anak itu dan teman disekitarnya menyimak. Saya mintai komentar mereka dan sudah tentu mereka bilang jelek. Tapi saya kukuh bilang  sketsa saya bagus. Itu karena saya yang bikin dan tentu saya akan memuji karya saya sendiri. Terserah yang lain bilang jelek. Itu paling-paling karena iri. Begitulah coba saya dan rekan-rekan yakinkan ke anak perempuan itu untuk berani menggoreskan garis, apapun komentar teman-temannya nanti. Dan akhirnya dia berani menggores-gores. Dia sudah percaya diri dan tak pusing lagi tentang pendapat-pendapat harus begini-harus begitu.

Sekitar 20 menit kemudian gambar-gambar dikumpulkan. Sekilat kemudian langsung ditunjuklah gambar yang dinilai terbaik. Penilaian yang tak perlu dipusingkan akan bikin sakit hati karena toh berlangsung kilat-sekelebat tak pakai pikir-pikir. Gambar-gambar itu bagaimanapun adalah yang terbaik bagi si anak-anak yang membuatnya. Kalau kami memilih yang terbaik itu karena yang paling ramai dan rumit isi coretannya. Tak ada hadiah khusus untuk individu selain kenang-kenangan berupa poster komik dari kami untuk sanggar yang diterima secara simbolik oleh anak bergambar terbaik. Tapi untung memang semua tetaplah 'happy' tak pusing soal-soal itu dan segera hanyut dalam keramaian berikutnya: Berfoto ria.

Siang 12.30. Bermain-mainnya selesai. Penjemput-penjemput sudah mengantri. Anak-anak pulang satu persatu. Tinggalah kami bersama para pengasuh sanggar. Bersama-sama kami menikmati suguhan makan siang nasi bungku dan minuman teh berkemasan botol. Kemudian para pengasuh tenggelam dalam diskusi agenda pendidikan selanjutnya. Dan kami pun, minus Hadi Pramana yang lebih dulu undur diri, tenggelam dalam kesibukan khas kami sendiri: mengamati dan mencorat-coret ide arsitektur. Cukup lama kami menikmati kekosongan sanggar melebihi para pengasuh yang sudah lebih dulu undur diri. Akhirnya kami sendiri bosan dan beranjak pergi mencari secangkir kopi dan mungkin melanjutkan sedikit diskusi.

Disambut sepeda-sepeda mini yang kebasahan.
Sanggar terbuka bertetangga hamparan sawah.
Tenggelam dalam bacaan, berdengung seperti lebah.
Cok Gung bercerita melalui maket.
Wajah anak-anak yang kebingunan sebagaimana si arsitek
yang kebingungan menjelaskan apa itu arsitektur.
Anak-anak ini bilang Studio Cahaya karya Adi Purnomo Jelek.
Mereka menggambar apa yang namanya bale yang bagus.
Anak ini yang menang tapi Rizeki yang tersenyum  senang.
Sesi berfoto ria yang riuh.
Saatnya beranjak  mencari kopi.

Anak-anak bersepeda merajai jalanan Desa Guwang yang sepi.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebagai arsitek tentulah kami bergairah untuk mengapresiasi beberapa bagian bangunan Sanggar Anak Tangguh. Entah ini pakai arsitek atau tidak. Tapi ini jelaslah indah terlihat pada detail-detailnya. Apalagi jika menelusuri kisah alasan keberadaannya pada sebuah lingkungan. Mungkin beberapa cuplik foto kamera saku berikut bisa mewakili keindahan bangunan tersebut.


 
 
 
 

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saya, Rizeki Raharja, Cok Gung Pramanayogi, Ida Bagus Hadi Pramana, merasa bahwa acara bermain-main arsitektur 30 Oktober 2011 di sanggar ini tidak selesai sampai di sini. Kami jelas akan berkunjung lagi melanjutkan hal-hal yang belum selesai. Sekiranya teman-teman mungkin ingin turut pula dan silakan bergabung. Sekiranya ada yang ingin lebih tahu terlebih dahulu tentang Sanggar Anak Tangguh, "Strong Children Strong Nation", bisa membuka situ ini http://anaktangguh.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar