Senin, 17 Oktober 2011

Soal Bio Gas





Ada sebuah bangsa yang menggunakan kotoran manusia untuk memupuki kebunnya. 
Kotoran manusia ini bahkan diperjualbelikan di pasar. 
Ini tradisi dan benar-benar dianggap barang berharga.
Memang terasa menjijikkan dan terbelakang bangsa model beginian (apalagi ditambah kebiasaan jarang mandi) bagi kita.
Itulah Korea tahun 50-an. Ya Utara, ya Selatan.

Itulah hal menarik sekali yang saya baca dari buku Catatan Perang Korea karya Mochtar Lubis. Memang tepatlah dia satu-satunya jurnalis republik ini yang diundang ke sana tahun itu.

Dan mari benar-benar kembali obrolkan hal-hal sekarang.
Ini tentang Obrolan Rabu Malam (OBRAL) 28 September 2011.
Ini tentang "Green! Lifestyle atau Way of Life?"


Pembicaranya Deepak D. Ghindwani (Pak Dipo), praktisi pola hidup "hijau" dari Bali. Dalam OBRAL secara khusus membidik sampah rumah tangga sebagai biogas untuk memasak. Ada alasan kuat yaitu bahwa manusia sendiri begitu aktif 'memproduksi' sampah. Untuk Bali, dalam perhitungan kasarnya, menghasilkan 5094 m kubik sampah perhari. Denpasar sendiri menyuplai 1029 m kubik. Komposisinya 67% sampah organik, 20% sampah anorganik, dan sisa jenis lainnya. Kira-kira tiap orang menghasilkan sampah padat 2,75 kg/hari dan limbah cair 3 liter/hari. Selain alasan sampah adalah soal mengembalikan kedaulatan diri kita sendiri atas energi, minimal mengurangi ketergantungan. 

Pak Dipo belajar biogas secara otodidak dengan langsung menerapkan di rumahnya setelah sebelumnya melihat lansgung di India dan telah pula berlanjut dengan diwujudkan 6 buah untuk 6 keluarga di Desa Sibetan. Memang biogas ini belum mengambil alih seluruh peran energi konvensioal (berbasis minyak bumi) dalam aktivitas rumah tangga. Pasokan biogas ini sendiri adalah sampah organik dan merupakan sampah rumah tangga sehari-hari seperti kulit buah, sayur, dan sisa makanan lainnya terutama yang mengandung banyak karbohidrat tinggi. Dan ini jelas berbeda bahkan lebih mudah-sederhana dibanding teknologi berpasokan kotoran sapisebagaimana sudah umum diketahui. 

Bisa dijabarkan dalam hitungan bahwa 30 kg kotoran sapi setara dengan 10 kg dedaunan dan itu setara pula dengan 1 kg karbohidrat untuk menghasilkan 250 gram gas. Juga kenyataan bahwa kotoran sapi lebih cepat mengakibatkan karat pada kompor maupun mesin selain juga lebih berbau. Untuk biogas ini cukup sekali menggunakan kotoran sapi yang dicampur air yaitu saat pemakaian perdana untuk perintisan bakteri metanogen. Perangkat cukup sederhana terdiri dari tong penampung sampah atau lebih tepat disebut unit pencerna (digesteryang anaerob dan gas (gas holder) yang terhubung dengan selang ke kompor tekanan rendah atau pemanfaat gas lainya (sayang memang masih mahal untuk pemanfaatan pembangkit listrik maupun bahan bakar kendaraan). 

Dalam praktek pasokan 1,5 kg sampah organik pada instalasi berkapasitas 650 liter digester dan 550 liter gas holder sebagaimana yang terpasang di rumah Pak Dipo untuk sehari mampu memberikan 80 menit gas. Di Desa Sibetan dengan 3 kg sampah organik dengan instalasi 1600 liter digester dan 1200 liter gas holder mampu menghasilkan 3 jam gas dalam sehari. Ini tentu lebih dari cukup untuk sekadar memasak sehari-hari. Tapi juga tidak mudah memasok sampah organik sebanyak itu dari rumah tangga sendiri.

Berbeda dengan kompor elpiji yang merupakan kompor tekanan tinggi dikarenakan komposisi gas metananya mencapai 90%, pada biogas organik menggunakan kompor tekanan rendah  karena gas metana yang dihasilkan maksimal hanya 50-60%. Ini juga menjamin bahwa   tidak akan ada ledakan ala tabung elpiji yang akan terjadi pada  penggunaan biogas organik ini. Sementara itu kompor tekanan rendah sendiri bisa dimodifikasi secara mandiri dari kompor tekanan tinggi yang umum dijual meskipun untuk ini kita harus mengakui kompor-kompor produk India yang lebih murah nan berkualitas.

Menyimak potensi-potensi di atas, jika hal ini diterapkan di Bali dengan mempertimbangkan suplai 5094 m kubik sampah organik maka potensi gas yang disediakan dalam sehari adalah 1024 jam atau setara 307 kg gas. Dan jumlah ini cukup untuk mengembalikan kedaulatan diri kita sendiri atas energi seperti membebaskan diri dari gonjang-ganjing harga minyak dan elpiji.

Ada banyak hal-hal teknis di atas yang memang perlu ditanyakan lebih jauh lagi kejelasannya pada narasumber, Pak Dipo. Bahkan mungkin lebih baik langsung mengamati di rumahnya proses-proses yang tak juga melulu teknis tapi lebih-lebih pada perilaku dan kebiasaan sehari-hari. Misal pagi makan buah, sisa-sisa langsung dicacah, dan langsung masukkan digister. Jika memang gemar teknis bisa pula bertanya penerapan waste water system di rumahnya dalam mengolah limbah cair rumah tangga yang sebetulnya juga diajarkan dalam kelas arsitektur namun selalu terlupakan.

Namun lagi-lagi jika lebih tertarik dalam koridor non-teknis dan ingin lebih akrab sah-sah saja bertanya soal pengalaman Pak Dipo yang 20 tahun bergerak di bidang IT dengan minat sangat besar dalam bidang teknologi tepat guna, khususnya dalam bidang pertanian. Tentu menarik pula bertanya soal seluk beluk lahirnya Satvika Bhoga, toko organik dan produk sehat, yang turut dipeloporinya bersama istri.

Dan mari pada akhirnya kita berpikir-pikir mengapa Korea akrab dengan kotoran manusia, mengapa India masif menerapkan biogas dan bijak dalam soal-soal kemandirian, dan mengapa teknologi mudah ini tidak menjamur di negeri ini. Apa karena memang negeri kita begitu subur dan cukup memungut dari alam saja untuk hidup? Atau ini soal cara melihat sesuatu? Apa yang berharga, apa yang tidak? Entahlah.

Ah,.. memang lebih mudah memasak dengan kayu bakar. Tinggal pungut. Tidak perlu pikir-pikir.






(biar tidak tersesat dengan tulisan di atas ada baiknya berkunjung langsung ke sini:
--> http://akarumput.com/ID/category/inspiration/)

2 komentar:

  1. menarik,
    bisa info ttg teknis pembuatan biogas berbahan dasar sampah rumah tangga ini?? thanks.
    nungkat

    BalasHapus
  2. Teknis lebih detail menyusul dengan lansgung mengamati atau praktik di lapangan yang akan dilakukan dengan waktu yang belum ditentukan. Infor teknis di atas masih berdasar presentasi narasumber & googling bebas.

    BalasHapus