Rabu, 03 November 2010

"INDONESIA INCORPORATED: SEMANGAT SUMPAH PEMUDA 1928 DAN KEMANDIRIAN BANGSA” Peran Kita?

 Menyadap dari Kompas
----------------------------------------------------------------------

BERPENGETAHUAN, ITU SOALNYA!

Kompas, Jumat, 29 Oktober 2010 | 04:42 WIB

Pengantar Redaksi:

Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda, Desk Opini Harian ”Ko m p a s ” b e ke r j a sama dengan Lingkar Muda Indonesia tanggal 22 Oktober 2010 menyelenggarakan diskusi panel bertema ”Indonesia Incorporated: Semangat Sumpah Pemuda 1928 dan Kemandirian B angsa” menampilkan pembicara Karen Agustiawan (Direktur Utara Pertamina), Putri Kuswisnu Wardani (PT Mustika Ratu), Yoos Lutfi (Koperasi Tanggung Renteng), Yudi Latif, dan Rocky Gerung, dipandu Sukardi Rinakit. Hasilnya dapat dibaca dalam tiga tulisan di halaman 6 dan 7 hari ini, yang dirangkum oleh wa r t awan ”Ko m p a s ” Salomo Simanungkalit serta Chris Panggabean dan Zuhairi Misrawi dari LMI.



***

Mari meneropong masa depan Indonesia mulai dari energi! Ketergantungan kita pada minyak bumi amat tinggi: 52 persen energi yang kita pakai saat ini bersumber pada minyak bumi, teratas di antara bahan lain. Sementara itu, menurut US Geological Survey Oil and Gas Journal (1995-2000), kurang dari lima tahun sejak saat ini perut pertiwi sudah tak lagi mengandung minyak bumi.

Bersama Amerika Serikat, Australia, Ekuador, Inggris, Kanada, Mesir, dan Norwegia, Indonesia tinggal menghitung hari. Cadangan minyak buminya akan habis. Kurang dari lima tahun! China dan India—dua dari 11 negara—masih 15 tahun lagi. Brasil, Meksiko, dan Rusia—tiga dari sembilan negara—lumayan lega bisa bernapas: 50 tahun lagi.

Yang pertama hendak dikaitkan dengan fakta ini adalah keterangan bahwa energi merupakan tangan kanan bagi politik. Semua orang tidak bisa hidup tanpa energi. Kita perlu sejumlah kalori agar mampu memikirkan politik, sanggup mengucapkan kebudayaan, dan bisa bertengkar secara intelektual. Di dalam filsafat politik, terpenuhi dulu energinya baru seseorang bisa jadi warga negara. Dengan kata lain, energi dan warga negara adalah satu kompatibilitas.

Fakta itu menghimpun kecemasan kita, bahkan membawa kita tidak pada optimisme sebab di saatnya minyak bumi sebagai salah satu sumber energi akan habis, akan punah di saat ketergantungan kita padanya paling tinggi, menyusul gas alam (29%), batu bara (15%), tenaga air (3%), dan geotermal (1%) seperti yang dicatat Pertamina. Pemakaian sumber energi terbarukan setakat ini masih nol persen.

Jika minyak bumi diproyeksikan akan habis dari perut pertiwi kurang dari lima tahun, pada kenyataannya nanti habis itu bisa lebih lekas. Pasalnya, proyeksi yang dilakukan oleh US Geological Survey Oil and Gas Journal (1995-2000) itu belum melibatkan beberapa variabel politik, misalnya minyak akan dirampok menjelang tahun 2014 untuk kepentingan politik, menyogok ”sarang ular” di Senayan. Variabel ini tidak boleh dihindarkan sebab kita hidup di dalam masyarakat yang hampa akan saling-percaya.

Amerika Serikat, Australia, Inggris, Kanada, dan Norwegia tentu tak akan cemas sebab sejarah mengajarkan bahwa zaman batu berakhir bukan karena batu habis, zaman perunggu berkesudahan bukan lantaran perunggu sirna, tetapi manusia dengan pengetahuannya mencari kemungkinan lain. Bangsa-bangsa yang disebut di atas berhasil sintas sebab pengetahuan dan kebudayaan terbukti selama ini telah berhasil mengurangi kebergantungan mereka kepada alam. Pada bangsa-bangsa yang sadar betapa penting kedudukan ilmu pengetahuan untuk menjadi bangsa yang sintas di atas bumi, minyak bumi habis adalah energi pendorong untuk menemukan kemungkinan akan energi alternatif.

Pohon keindonesiaan
Bila hendak tak cemas, apa dasar bagi Indonesia? Belajar dari bangsa-bangsa maju berkat pengetahuan, bangsa ini pada saat ini perlu merevitalisasi semangat pembentuk Indonesia. Perlu ditegaskan, eksistensi Indonesia tidak bersumber pada Proklamasi 17 Agustus 1945, melainkan pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Keindonesiaan itu bersumber pada Sumpah Pemuda dan pohon keindonesiaan adalah pohon kesadaran pentingnya pengetahuan. Pada akar tunjangnya, keindonesiaan itu adalah pergerakan kaum muda, yang mulai digagas anak-anak STOVIA di awal abad ke-20.

Menulis dalam majalah pengobar kemajuan, Bintang Hindia Volume 14 Tahun 1905, Abdul Rivai mendefinisikan kaum muda sebagai semua orang Hindia—muda atau tua—yang tak lagi berkeinginan mengikuti aturan kuno, namun sebaliknya bersemangat mencapai rasa percaya diri melalui pengetahuan dan ilmu.

Istilah pemuda kemudian dikaitkan dengan pengetahuan. Pemuda Pelajar, Jong Java, Jong Sumatra, dan lain-lain bukan merujuk kepada sembarang pemuda, tetapi pemuda yang berilmu, pemuda terpelajar. Jenis pemuda macam inilah yang berikrar melahirkan apa yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda dan bisa dicek: peserta Sumpah Pemuda adalah kaum muda terpelajar dengan kualitas keilmuan.

Sedini awal dasawarsa pertama abad ke-20, ruang publik modern yang telah muncul secara embrionik pada akhir abad ke-19 mulai terbentuk dan dikonsolidasikan. Dasawarsa pertama abad ke-20 merupakan momentum paling penting dalam sejarah keterlibatan kaum inteligensia Indonesia dalam bidang pers vernakular. Pada dasawarsa ini anggota kaum inteligensia Indonesia yang sebelumnya bekerja untuk industri pers asing mulai sanggup mendirikan pers yang sepenuhnya mereka miliki dan kelola sendiri. Para jurnalis-inteligensia yang paling terkemuka ketika itu adalah mantan pelajar sekolah dokter Jawa, STOVIA. Dua di antaranya adalah Abdul Rivai (lahir pada 1871) dan Tirto Adhi Surjo (1880-1918). Jadi, model-asal ruang publik modern di sini tumbuh dari aktivitas yang dijalankan oleh inteligensia sebagai sebuah strata baru dalam masyarakat. Media, klub, dan organisasi sosial politik pada awal pertumbuhan ruang publik ini digagas, diorganisasikan, dan dijalankan kaum inteligensia.

Bersamaan dengan kemunculan ruang publik inilah generasi Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Natsir dibesarkan. Mereka memasuki pendidikan sistem Eropa berkat kegigihan kaum guru memperjuangkan perluasan akses pendidikan bagi bumiputera. Dengan modal pengetahuannya, kaum muda menjebol kelembaman dengan ”menemukan” politik melalui proses mimikri dari subyek-subyek kolonial hingga merumuskan visi dan ideologi perjuangan.

Apa yang mereka perjuangkan? Kemerdekaan bangsa. Dalam alam pikiran keindonesiaan, kemerdekaan pun mengandung prasyarat pengetahuan. Kata merdeka berasal dari kata dalam bahasa Kawi/ Sanskerta maharddhika yang berarti ’rahib’ atau ’keramat, sangat bijaksana, sangat berilmu’. Dari segi ini jelaslah perjuangan kemerdekaan memantulkan cita-cita emansipatoris untuk membebaskan diri dari berbagai bentuk ketidakadilan dalam distribusi kehormatan dan pemilikan dengan memperkuat modal pengetahuan, memperkuat kebijaksanaan.

Surutnya keilmuan
Demokrasi permusyawaratan meletakkan keutamaan diskusi dengan kekuatan argumentasi berlandaskan daya-daya konsensus (hikmat kebijaksanaan) di atas keputusan berdasarkan pemungutan suara. Dalam demokrasi permusyawaratan yang menjunjung tinggi nalar pengetahuan dan kebijaksanaan, sesengit apa pun konfrontasi gagasan yang berkembang, selalu tersedia mekanisme penyelesaian konflik secara damai, selalu terbuka untuk menghasilkan sintesis yang bermutu. Konflik merupakan sumber energi dari kehidupan intelektual dan konflik intelektual dibatasi oleh dirinya sendiri.

Ketika kekuatan argumentasi berhenti, yang berlangsung adalah dua kemungkinan yang destruktif: (1) toleransi negatif yang mengarah pada politik dagang sapi untuk kepentingan jangka pendek, (2) kekuatan logika akan diganti dengan logika kekuatan yang menutup proyek demokrasi dengan anarkisme jalanan. Di sinilah titik genting perkembangan demokrasi di Indonesia: gelombang pasang kebebasan demokratis beriringan dengan gelombang surutnya modal pengetahuan.

Surutnya modal pengetahuan juga merupakan kehilangan terbesar bangsa Indonesia ketika dunia perekonomian mengarah pada tingkat keberaksaraan dan keluasan erudisi manusia Indonesia saat ini mendapatkan ancaman dari berbagai penjuru. Ancaman pertama datang dari konsep kebermanfaatan lembaga pendidikan yang bermuara pada pemujaan akan budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap kepentingan material dan praktis. Perguruan tinggi sebagai benteng kedalaman ilmu mengalami peluluhan kegairahan intelektual, tergerus dominasi etos manajerialisme dan instrumentalisme.

Ancaman kedua berupa terpaan luas dan liat multimedia, khususnya televisi yang bias kelisanan dan kemaharajalelaan ketika literasi rapuh dan kesastraan terpinggirkan dan itu menguatkan budaya kedangkalan, melemahkan fungsi keberaksaraan.

Gelombang surut modal pengetahuan juga merupakan kehilangan terbesar ciri keindonesiaan justru ketika dunia perekonomian makin mengarah pada ekonomi kreatif yang mengandalkan modal kreatif-inovatif pengetahuan. Dalam The Rise of the Creative Class, teoretikus kajian urban Richard Florida menyatakan bahwa pusat pertaruhan ekonomi saat ini tidaklah seperti pada transisi dari era pertanian ke industri yang mengandalkan input fisik, tanah dan tenaga manusia, melainkan bersandarkan pada intelegensia, pengetahuan, dan kreativitas.

Jika bangsa ini ingin merevitalisasi elan vitalnya seperti yang pernah dihidupkan para pendiri bangsanya, tak ada jalan lain: modal pengetahuan dan pemahaman (logos) perlu ditingkatkan dengan memperbaiki sistem pembelajaran sosial secara kolektif. Terbukti bahwa kemajuan suatu bangsa tak bisa hanya bertumpu pada modal sumber daya alam. Yang terpenting justru modal sumber daya insani. Kemajuan dan kesejahteraan rakyat harus dipandang sebagai hasil dari proses belajar sosial.


TEROBOSAN BUDAYA DAN KEMANDIRIAN ENERGI

Kompas, Jumat, 29 Oktober 2010 | 04:43 WIB

Jika budaya adalah rajutan kepompong yang melahirkan kupu-kupu, banyak dari kita yang tetap jadi ulat, gagal bermetamorfosis menjadi kupu-kupu karena budaya tak mendukung. Manusia dan budaya adalah dua entitas yang dapat saling memengaruhi.

Masyarakat yang hidup dengan warisan budaya ratusan tahun dapat berubah karena ada individu-individu yang membuat terobosan, inovasi, dan menginterpretasi ulang hal-hal yang dianggap tabu dan berisiko. Tanpa mereka, tidak akan ada kemajuan peradaban.

Para pionir itu mengandalkan pengetahuan (akal) yang digerakkan motivasi etis. Salah satu fungsi pengetahuan adalah melakukan prediksi sehingga dapat dicari cara untuk menghindar dari hal yang tidak diinginkan atau mencapai hal yang diharapkan.

Dalam hal antisipasi, bangsa ini sering mengalami kegagalan. Ruang budaya kita lebih berorientasi masa kini yang cenderung bersifat eksploitatif. Padahal, tindakan eksploitatif mengabaikan nilai etis.

Dua budaya
Kita terimpit oleh dua lempeng budaya. Pertama, modernitas dari Barat yang menghasilkan kebiasaan instan, melemahkan kemampuan kreasi, menciptakan kecepatan yang meninggalkan kedalaman, dan merayakan artifisial sehingga konsumtivisme dapat pijakan.

Kedua, budaya Timur yang tidak egaliter meninggalkan kultur upeti, bertransformasi menjadi sikap asal bapak senang dan penghormatan kepada mereka yang berharta dan berkuasa. Kedua ekses negatif itulah yang terus muncul di ruang budaya kita.

Pertengahan tahun 1970-an, Indonesia menikmati nilai ekonomi yang luar biasa dari produksi minyak bumi. Kita menjadi pengekspor minyak dan negara mendapat masukan signifikan dari sektor migas. Para petinggi turut berlumur duit minyak.

Gedung-gedung baru di Jakarta hampir semua dimiliki Pertamina, perusahaan negara yang berkuasa penuh terhadap produksi dan distribusi minyak. Maka bangsa ini pun terbuai kisah negeri yang kaya cadangan minyak bumi. Saat itu tidak diceritakan bahwa sumber energi fosil itu bersifat terbatas dan tidak dapat dibarui.

Lancung sudah, narasi menggerakkan perilaku. Dengan harga minyak yang murah, terjadi konsumsi energi yang tanpa batas yang sayangnya tidak untuk produksi sehingga energi terbuang percuma. Banyak sektor kemudian terjerat pada kebutuhan minyak bumi: transportasi, industri dan rumah tangga, juga bahan- bahan dasar sintetis menggunakan olahan minyak bumi.

Sebagai pengekspor minyak, Indonesia tergabung dalam OPEC. Mimpi buruk bagi setiap negara anggota OPEC adalah peak oil, titik puncak kemampuan produksi minyak suatu negara. Ini berarti, selanjutnya akan menurun grafik produksinya.

Titik balik bagi Indonesia terjadi tahun 2004. Angka konsumsi minyak, yang memenuhi 50 persen kebutuhan energi dalam negeri, lebih besar jumlahnya daripada angka produksi. Indonesia pun keluar dari OPEC dan menjadi importir minyak.

Saat harga minyak melampaui 100 dollar AS tahun 2008, banyak pabrik berhenti berproduksi, pasokan listrik menurun, dan subsidi semakin memberatkan anggaran negara. Oleh karena itu, kenaikan harga minyak berdampak ekonomi paling berat pada lapisan masyarakat terbawah.

Keamanan energi
Oleh sebab itu, membicarakan minyak berarti masuk ke wilayah geopolitik. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa invasi militer atau konflik di wilayah Timur Tengah, Amerika Latin, atau Afrika dilatarbelakangi oleh kepentingan minyak. Minyak dan gas merupakan cadangan strategis, yang vital bagi ketahanan ekonomi dan energi. Semua negara yang memiliki konsep keamanan nasional pasti menempatkan keamanan energi (energy security) sebagai poin utama.

Energi diperlukan untuk menggerakkan negara, mulai dari rumah tangga, industri, transportasi, hingga alat pertahanan. Kepentingan nasional bukanlah perkara tabu di era globalisasi ini. Sejumlah negara, seperti China, Amerika Serikat, bahkan Malaysia, lebih banyak mengonsumsi minyak dari ladang-ladang minyak di luar negeri. Mereka menahan diri untuk tidak mengeksploitasi cadangan dalam negerinya. Save the best for last.

Mungkin urusan petrodollar adalah kegiatan manusia yang paling sarat kepentingan. Ia menggurita ke sektor industri, lembaga keuangan, kepala negara, juga kursi perwakilan rakyat. Pada 2001, DPR pernah mengeluarkan Undang-Undang Migas yang mencantumkan klausul bahwa hasil produksi migas dari bumi Indonesia hanya boleh 25 persen untuk kepentingan dalam negeri. Undang-undang tersebut kemudian direvisi lewat keputusan Mahkamah Konstitusi, tetapi tetap menjadi misteri mengapa ada pasal yang sama sekali tidak berpihak pada kepentingan dalam negeri.

Demi ketahanan ekonomi, perusahaan minyak nasional seharusnya dibentuk berdasarkan prinsip: hak atas sumber-sumber minyak dan mineral, hak-hak ekonomis (hak mengelola, memproduksi, dan mengalokasikan hasil produksi), memperoleh imbal balik yang lebih besar dari produksi minyak dan gas.

Sesuatu yang terbatas pasti akan habis jika dikonsumsi terus- menerus dan ketergantungan akan menciptakan perhambaan.

Cadangan tipis
Saat ini cadangan minyak Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk 10-15 tahun ke depan. Kelangkaan akan minyak dan gas bumi adalah keniscayaan. Mereka yang tidak memiliki sumber energi akan hidup bergantung kepada negara lain. Saat itu terjadi, tidak perlu lagi bicara kedaulatan negara.

Jika demikian proyeksinya, seluruh pengetahuan harus dimaksimalkan untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi di masa mendatang. Tepat kiranya langkah strategis Pertamina yang mengincar ladang-ladang minyak di luar negeri. Termasuk pula percepatan pembangunan pengolahan minyak bumi menjadi minyak siap pakai (oil refinery) di dalam negeri. Optimismenya, pada 2015 Indonesia akan berhenti menjadi importir minyak.

Peluang inovasi dan uji coba sumber energi yang baru juga harus dimulai. Sebab, akan terjadi pergeseran konsumsi energi di masa depan. Penelitian dan pengembangan akan sumber energi yang baru harus mendapat dukungan karena akan menyelamatkan ketahanan nasional di masa depan.

Kebutuhan akan sumber energi adalah keniscayaan lain dari peradaban manusia. Akan tetapi, sukar membayangkan visi kepentingan nasional dari elite politik dan pejabat publik yang terimpit dari dua lempeng budaya di atas, seperti yang semakin sering kita lihat dan dengar. Dalam hal ini, tampaknya perlu generasi baru yang imajinasinya melewati horizon budaya saat ini, seperti semangat Sumpah Pemuda yang melihat jauh ke depan, melampaui batas kesukuan mereka.

Salah seorang pembicara menyatakan: zaman batu hilang bukan karena batunya habis, zaman perunggu lenyap bukan karena perunggunya tiada, demikian pula halnya era minyak bumi. Ia akan berlalu karena daya kreasi generasi sekarang mampu menciptakan sumber energi lain. Sumber energi yang lebih baik dan berkelanjutan bagi bangsa Indonesia.

---------------------------------------------------------------------------------------------




Mari kita cuplik inti yang menggugah:

"Pemakaian sumber energi terbarukan (di negara kita) setakat ini masih nol persen."

"Amerika Serikat, Australia, Inggris, Kanada, dan Norwegia tentu tak akan cemas sebab sejarah mengajarkan bahwa zaman batu berakhir bukan karena batu habis, zaman perunggu berkesudahan bukan lantaran perunggu sirna, tetapi manusia dengan pengetahuannya mencari kemungkinan lain."

"keindonesiaan itu adalah pergerakan kaum muda"

"kaum muda sebagai semua orang Hindia—muda atau tua—yang tak lagi berkeinginan mengikuti aturan kuno, namun sebaliknya bersemangat mencapai rasa percaya diri melalui pengetahuan dan ilmu."

"Media, klub, dan organisasi sosial politik pada awal pertumbuhan ruang publik ini digagas, diorganisasikan, dan dijalankan kaum inteligensia."

"Kata merdeka berasal dari kata dalam bahasa Kawi/ Sanskerta maharddhika yang berarti ’rahib’ atau ’keramat, sangat bijaksana, sangat berilmu’."

"Ancaman pertama datang dari konsep kebermanfaatan lembaga pendidikan yang bermuara pada pemujaan akan budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap kepentingan material dan praktis."

"Ancaman kedua berupa terpaan luas dan liat multimedia, khususnya televisi yang bias kelisanan dan kemaharajalelaan ketika literasi rapuh dan kesastraan terpinggirkan dan itu menguatkan budaya kedangkalan, melemahkan fungsi keberaksaraan."

"Masyarakat yang hidup dengan warisan budaya ratusan tahun dapat berubah karena ada individu-individu yang membuat terobosan, inovasi, dan menginterpretasi ulang hal-hal yang dianggap tabu dan berisiko. Tanpa mereka, tidak akan ada kemajuan peradaban."

"Kita terimpit oleh dua lempeng budaya. Pertama, modernitas dari Barat yang menghasilkan kebiasaan instan, melemahkan kemampuan kreasi, menciptakan kecepatan yang meninggalkan kedalaman, dan merayakan artifisial sehingga konsumtivisme dapat pijakan.
Kedua, budaya Timur yang tidak egaliter meninggalkan kultur upeti, bertransformasi menjadi sikap asal bapak senang dan penghormatan kepada mereka yang berharta dan berkuasa."

"tampaknya perlu generasi baru yang imajinasinya melewati horizon budaya saat ini, seperti semangat Sumpah Pemuda yang melihat jauh ke depan, melampaui batas kesukuan mereka."



*******


Nah, pertanyaan sederhananya sekarang:
Apa yang bisa kita lakukan?
Bagaimana kita berperan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar