Senin, 22 November 2010

Menyimak Transformasi Manusiawi Kota Surabaya

Berikut merupakan rangkaian tulisan di harian Kompas yang khusus membahas Kota Surabaya kini. Semoga rangkaian (marathon) tulisan-tulisan tersebut bisa bermanfaat & menginspirasi teman-teman untuk bergerak di kota masing-masing.
-----------------------------------------------------------------------------



Kemenangan Rakyat Surabaya!
Minggu, 21 November 2010 | 03:12 WIB

Jembatan Merah Surabaya digunakan tukang becak untuk menunggu penumpang, Kamis (4/11). Jembatan yang menjadi salah satu judul lagu ciptaan almarhum Gesang ini menghubungkan Jalan Rajawali dan Jalan Kembang Jepun.

Oleh: Putu Fajar Arcana dan Kris Razianto Mada

Surabaya di bulan November. Brigjen Mallaby, komandan pasukan sekutu, terbunuh di Jembatan Merah, 65 tahun silam. Ada aroma heroisme dan darah. Sekarang kota ini berhasil mentransformasi diri dari kota garang, kumuh, dan ugal-ugalan menjadi kota yang ramah dan manusiawi. Ada kemenangan atas perebutan simbol-simbol yang menggerakkan sebuah kota.
Tewasnya Mallaby pada awal November 1945 adalah peristiwa simbolik yang memompa moral arek-arek Suroboyo mempertahankan kota dari penguasaan Belanda kembali. Ketika Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono, kini Wakil Wali Kota, memulai proses transformasi tahun 2002, ia sadar betul akan perebutan simbol itu. Simbol-simbol yang menjadi hak publik harus dikembalikan sesuai fungsinya.

Itulah yang mendasari mengapa kemudian Bambang ”merebut” kembali lahan-lahan 14 stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) yang berdiri di atas ruang terbuka hijau (RTH). ”Saya hanya mengembalikan fungsi-fungsi infrastruktur kota saja,” kata Bambang, Selasa (2/11) di Surabaya, Jawa Timur.

Perebutan RTH yang telah bertahun-tahun dikuasai swasta tidak mudah. Atas pengembalian RTH itu, Bambang harus menghadapi 13 gugatan ke pengadilan dan baru dinyatakan berhasil tahun 2009. ”Ya harus ada yang memulai,” kata Bambang.

Keberhasilan perebutan RTH, menurut Bambang, adalah simbol kemenangan warga kota atas kesewenang-wenangan. Inilah cara masyarakat modern, tambahnya, mempertahankan haknya sebagai warga kota. Kini ke-14 SPBU itu telah menjelma menjadi taman-taman dengan berbagai tema yang spesifik.

Perebutan memang belum selesai. Kebun Bibit, sekarang dikenal sebagai Taman Flora di kawasan Bratang, Kota Surabaya, masih menyisakan sengketa. Lahan seluas 3,1 hektar itu sampai kini dalam proses pengadilan karena sebelumnya pernah dialihtangankan kepada swasta. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, di bawah Wali Kota Tri Rismaharini, ingin mempertahankan lahan ini sebagai paru-paru kota. Dan terutama sebagai medium interaksi antarwarga kota dalam posisi yang sejajar, tanpa melihat kelas sosial dan ekonomi.


Peleburan kelas

Di bawah Tri Rismaharini, yang sebelumnya menjadi Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya, lahan eks SPBU dalam waktu singkat berubah jadi Taman Pelangi, Taman Prestasi, Taman Lansia, dan berbagai taman lain dengan bermodalkan dana Rp 6 miliar. ”Saya bagi setiap taman dapat anggaran Rp 50 juta. Ini dana yang kecil untuk membangun sebuah taman,” kata Tri Rismaharini.

Pilihan pertama memang jatuh pada taman. Menurut Risma, panggilan Tri Rismaharini, taman menjadi oase warga kota setelah sumpek menyusuri kehidupan kota yang keras. ”Di taman, warga yang hitam dan putih bisa berinteraksi tanpa harus melihat perbedaan kelas,” katanya.
Bahkan di mata pengamat tata kota dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Johan Silas, taman menjadi kanal bagi warga kampung untuk menyegarkan kembali tubuh mereka.
”Taman itu seperti menyalurkan segala kekesalan, segala kemarahan dengan murah,” kata Silas.

Silas berani mengatakan, dari tamanlah ”peradaban” baru Kota Surabaya dimulai. ”Tidak ada kota yang bebas dari unjuk rasa dan bentrokan dalam pilkada seperti Surabaya. Tidak ada bentrokan pula saat pembebasan fasilitas umum dari para pedagang kaki lima,” ujarnya.
Semasa menjadi wali kota, Bambang Dwi Hartono memulai proses transformasi Kota Surabaya dengan mengembalikan fungsi infrastruktur kota. Ia mengidentifikasi persoalan Surabaya tak lepas jauh dari air bersih, pedagang kaki lima (PKL), pasar tradisional, permukiman kumuh, kemacetan, dan banjir. ”Saya mulai dengan menyusuri seluruh sungai yang selama ini menjadi sumber banjir,” tuturnya.

Penyusuran itu menemukan fakta bahwa tidak satu pun dari seluruh sungai yang bermuara atau melintasi Kota Surabaya yang tembus sampai ke laut. ”Pekerjaan pertama saya, kami tembuskan muara-muara sungai ke laut. Ini syarat agar aliran air sungai lancar,” kata Bambang.
Pekerjaan itu diikuti dengan pengedukan saluran-saluran drainase kota. Di atas saluran-saluran itu, Bambang kemudian memperluas jalur pedestrian. Areal ini yang kemudian menjadi salah satu kebanggaan warga kota.

Silas bahkan mengapresiasi soal jalur pedestrian dengan mengatakan, tidak ada satu kota pun di Indonesia, kecuali Surabaya, yang membangun trotoar dengan memerhatikan para pejalan kaki dan kaum difabel. ”Trotoar di Surabaya bisa dilewati kursi roda sampai ke pelosok kota,” katanya.

Hal yang luar biasa juga, saban petang seluruh jalur pedestrian di penjuru kota dibersihkan oleh sepasukan petugas pembersih dengan cara disapu dan dipel. Upaya ini membuat jalur pedestrian tampak bersih, bahkan berkilau, sehingga sangat nyaman jika dipakai berjalan kaki.


Pedagang kaki lima

Sejak awal, Bambang dan Risma melihat persoalan paling pelik ditangani di Surabaya adalah PKL. Sejak krisis ekonomi tahun 1997, para PKL menyebar hampir di setiap trotoar kota, tempat- tempat kosong, dan bahkan menggunakan badan jalan. Persoalan itu masih ditambah pula dengan karakter PKL di Surabaya yang terkenal sulit diatur dan galak. Serbuan para pedagang ini membuat kota terkesan liar dan tak terurus, dan telantar.

Bambang mulai menertibkan seluruhnya dengan memahami hulu persoalannya. ”Semua warga kota ingin makan enak dan tidur nyenyak. Maka, kami masuk langsung ke kampung-kampung, memberdayakan warga dengan membentuk mantri-mantri ekonomi,” katanya.

Bambang secara rutin pula bertemu dengan ketua RT, ketua RW, serta perangkat desa dan tokoh-tokoh masyarakat untuk membicarakan persoalan kota, terutama PKL. Sebagian besar PKL yang menempati fasilitas kota direlokasi ke sentra-sentra penampungan yang telah disiapkan pemkot. ”Pemkot beli tanah dan membangun fasilitasnya untuk kemudian ditempati PKL,” ujar Risma.

Konsep transformasi menyeluruh yang dilakukan Bambang dan Risma, yang didukung pakar-pakar tata kota dari ITS, ingin menciptakan kota yang ramah dan manusiawi. Dalam terminologi Risma, Surabaya ingin menjadi kota modern dengan disiplin warganya yang terjaga dalam segala hal, terutama dalam berkendara dan menjaga kebersihan.

Kuncinya sederhana: ciptakan rasa memiliki di hati setiap warga kota!






Taman Semua Golongan
Minggu, 21 November 2010 | 04:34 WIB
Oleh: Putu Fajar Arcana dan Kris Razianto Mada
Sekelompok anak muda bermain ”skate board” dan sepeda BMX di sudut taman. Beberapa lainnya mengakses internet dari laptop lewat jaringan nirkabel. Semua terjadi di Taman Bungkul Surabaya dan bukan di luar negeri.

Pemandangan itu lazim disaksikan setiap hari di Taman Bungkul sejak Maret 2007. Taman itu taman modern pertama di Surabaya dengan aneka fasilitas. Ada plaza dengan tempat duduk mirip amphitheater Yunani dan dipakai untuk aneka pertunjukan, ada areal bermain anak, ada areal skate board dan BMX, dan tentu banyak tempat duduk. Setiap sore, warga aneka usia dan penampilan melakukan berbagai kegiatan di taman itu.

Pemandangan itu berbeda dibandingkan setidaknya empat tahun lalu. Kala itu Taman Bungkul hanya berisi dua lapangan voli yang gersang dengan bau pesing di berbagai sudut taman. Setelah pukul 18.00, sedikit orang berani duduk di sana karena gelap dan tak terjamin keamanannya. Pedagang kaki lima bertebaran di berbagai sudut jalan dan sampah terserak di mana-mana.

Sekarang, taman itu tetap hidup sampai dini hari. Bahkan, terkadang ada orangtua membawa anak balita bermain di area permainan anak sampai larut malam. Rendi (18), pengunjung taman yang terlihat pada Rabu (3/11) dini hari bersama beberapa temannya, mengatakan, ”Waktu saya SMP taman ini gelap dan enggak asyik buat nongkrong,” ujar warga Bratang, Surabaya, ini.

Selain Taman Bungkul, ada 12 taman besar dan modern lain di sejumlah sudut Surabaya. Belum lagi menghitung taman-taman di jalur hijau. Setiap taman punya tema berbeda. Dengan belasan taman, warga Surabaya punya beragam model taman untuk dilihat. Taman-taman itu juga berdekatan dengan permukiman penduduk. Jadi, mereka bisa berjalan kaki atau naik sepeda ke taman untuk bersantai.

Hampir semua taman modern itu muncul setelah tahun 2005. Sebagian hasil renovasi taman lama, sebagian hasil pembangunan dari bekas lahan stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Taman lama yang direnovasi antara lain Taman Bungkul, Taman Prestasi, Taman Flora, Taman Bahari, dan Taman Ronggolawe. Sementara taman hasil perombakan bekas lahan SPBU, antara lain, adalah Taman Pelangi, Taman Persahabatan, dan Taman Lansia. Ada pula taman yang benar-benar baru, seperti taman skate dan BMX di dekat Monumen Kapal Selam Surabaya.


Gugatan

Wali Kota Surabaya periode 2002-2010, Bambang DH, menuturkan, tidak mudah mengubah SPBU menjadi jalur hijau atau taman. Ada 14 SPBU yang menempati 1,6 hektar jalur hijau di beberapa sudut Surabaya. ”Desember 2002, saya minta penutupan SPBU-SPBU itu,” ujarnya.
Satu SPBU yang dimiliki Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) Surabaya mudah ditutup. Namun, pemilik 13 SPBU lain tidak menuruti itu dan malah menggugat ke pengadilan. ”Proses di pengadilan baru tuntas semua tahun 2009. Untuk gugatan yang selesai duluan, lahannya segera dijadikan taman,” ujarnya.

Gugatan bukan satu-satunya hambatan mengubah lahan SPBU menjadi taman atau jalur hijau. Mantan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Surabaya Tri Rismaharini menuturkan hanya punya Rp 6 miliar pada 2005 untuk merevitalisasi belasan taman. ”Waktu itu anggaran dinas pertamanan di Jakarta sudah ratusan miliar,” ujar perempuan yang kini menjabat sebagai Wali Kota Surabaya periode 2010-2015.

Untuk menutup bekas tempat pemendaman tangki SPBU saja butuh 100 truk tanah. Belum lagi memikirkan dana untuk bangunan baru taman. ”Untuk menimbun saya pakai lumpur bekas pengolahan limbah di kawasan Keputih. Untungnya cukup dan tanahnya subur. Cocok untuk revitalisasi lahan bekas SPBU yang dicemari minyak bertahun-tahun,” ujar Risma.

Untuk tanaman antara lain diambil dari Taman Flora Bratang atau dikenal juga Kebun Bibit Bratang. Untuk dana, selain dari APBD Surabaya, juga ada sponsor. ”Kami dapat dari Pertamina, Telkom, dan Bank Jatim. Kalau tidak, mana bisa merevitalisasi yang butuh lebih dari Rp 1 miliar untuk satu taman,” ujarnya.

Taman-taman itu tidak hanya dirancang untuk indah saja. Seluruh taman dibangun dengan filosofi kota berpenduduk heterogen, seperti Surabaya, perlu ruang publik. Di ruang itu semua orang dari aneka golongan bisa berkumpul tanpa prasangka, bebas beraktivitas. ”Saya ingin orang hitam atau putih, tua atau muda bisa berkumpul dan bersosialisasi di taman-taman,” ujarnya. Semua golongan sama dalam sebuah taman.

Karena itu, Surabaya merelakan 20,63 persen luas wilayahnya untuk ruang terbuka hijau. Sebagian dijadikan hutan kota, ada pula berupa jalur hijau, dan sebagian berbentuk taman. Kota jadi tampak manusiawi.


Ruang terbuka

Pakar tata kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Johan Silas mengatakan, taman itu salah satu wujud pemanusiaan warga kota. Di taman itu orang bisa bebas beraktivitas dengan rasa aman dan nyaman. ”Taman membantu orang yang tidak punya open space untuk bersantai,” tuturnya.

Tempat bersantai untuk kota besar seperti di Surabaya memang diperlukan. Tempat-tempat seperti itu antara lain akan menyeimbangkan jiwa penduduk kota. ”Taman meredam sifat berang orang Surabaya karena ada tempat untuk santai. Orang Surabaya punya tempat untuk berinteraksi dengan santai tanpa cemas,” ujarnya. Hanya di Surabaya, kata Johan Silas, relokasi PKL dan pemilukada yang nyaris tanpa demonstrasi massa.

Selain taman, pemanusiaan terlihat dari trotoar yang lebar dan rata. Trotoar-trotoar baru di Surabaya memungkinkan pengguna kursi roda menjelajah semua sudut kota. ”Di sini ketinggian jalan mengikuti trotoar. Kalau bertemu jalan, bukan trotoar yang diturunkan (agar rata dengan permukaan jalan). Jalan dinaikkan (agar sama tinggi dengan permukaan trotoar),” tuturnya.

Surabaya juga sukses merelokasi pedagang kaki lima. Sampai saat ini ada 19 sentra PKL. Untuk aneka ikan hias yang awalnya tersebar di Jalan Irian Barat, Jalan Patua, dan Jalan Gunung Sari dimasukkan ke sentra ikan hias Jalan Gunung Sari. Sentra itu aktif setiap hari sampai dini hari. Di lokasi sebelumnya, transaksi hanya ramai pada hari tertentu. ”Pemindahan PKL ke sentra baru nyaris tanpa gesekan, lho,” ujar Johan Silas.

Sementara itu, PKL makanan antara lain ditempatkan di Taman Bungkul, Lapangan Hoki Dharmawangsa, sentra kuliner Wiyung, dan pujasera Urip Sumoharjo. Para PKL mau masuk ke sentra baru nyaris tanpa konflik.

Taman, trotoar, dan relokasi PKL adalah tiga hal dari masalah laten yang melanda semua kota di Indonesia. Surabaya yang dulu dikenal sebagai kota kumuh, kini menjelma sebagai kota yang nyaman dan asri, serta tentu saja berkesan ramah terhadap para penghuni dan pendatang….

 

Rusa dan Bisbul di Taman Flora
Minggu, 21 November 2010 | 04:37 WIB

Di luar pagar Taman Flora Surabaya, mobil dan sepeda motor berebut jalan. Di dalam taman, Murti Ningsih (67) dan cucunya, Nayla (3), merendam kaki di kolam sembari memandangi puluhan ikan koi. Kerindangan aneka jenis pohon meneduhi nenek dan cucu pengunjung setia taman seluas 33.810 meter persegi di kawasan Bratang, Surabaya, itu.

Saefuddin (35), warga Sidoarjo, juga mengaku sering kali melepas lelah di Taman Flora. Rabu (3/11) siang, ia datang bersama anak dan istrinya. ”Pengin rekreasi murah sekalian melepas lelah,” katanya.

Yuni, karyawan kantor pengelola taman, menuturkan, Taman Flora merupakan pusat konservasi tanaman langka di tengah kota Surabaya. Di taman itu antara lain ditanam 10 batang bisbul (Diospyros blancoi). Lebih dari 100 jenis pohon ditanam di taman itu. ”Bibitnya dipakai untuk taman-taman lain di Surabaya,” tuturnya.

Taman yang juga dikenal sebagai Kebun Bibit Bratang itu punya koleksi delapan rusa tutul (Axis axis) dan delapan rusa bawean (Axis kuhlii) di sisi utara taman. Ada pula aneka jenis burung di dekat kandang rusa-rusa itu. Selain puluhan ekor koi di kolam tempat Murti menceburkan kaki.
Di sudut utara ada fasilitas untuk outbond. Hampir setiap hari fasilitas itu dipakai anak-anak dari berbagai sekolah. ”Semua gratis, asal memberi tahu akan memakai saja. Pemberitahuan untuk memastikan tidak ada kelompok lain memakai fasilitas itu,” ujar Yuni.

Sementara di sudut selatan yang juga diteduhi pohon rindang terdapat beberapa jenis mainan anak-anak. Bergeser ke tengah sedikit ada ruangan latihan komputer dan internet, ruangan baca, dan panggung terbuka. Seperti fasilitas outbond, fasilitas lain di taman itu gratis atau tanpa biaya pemakaian. Parkir di taman itu juga tidak dipungut biaya.

Kesejukan bukan satu-satunya alasan taman itu menarik sebagai tempat bersantai. Di seluruh area taman bisa ada koneksi internet tanpa kabel. Jika punya komputer jinjing dan ingin mengakses internet tanpa bayar, taman itu bisa jadi salah satu pilihan. Berbagai tempat duduk yang diteduhi kerindangan pohon bisa dipilih untuk tempat mengakses internet.

Jangan khawatir dengan kenyamanan dan keamanan. Soal kenyamanan, hampir tidak ada pedagang asongan atau pengamen yang mendekati pengunjung taman. Pedagang ditempatkan di luar pagar taman. Kalau berjualan di dalam taman, mereka hanya boleh menggelar dagangan di pinggir taman.

Taman ini menjelma menjadi paru-paru kota, yang seolah mendaur ulang udara yang tercemar akibat sesaknya kendaraan. Oleh sebab itu, pihak Pemerintah Kota Surabaya ”mati-matian” mempertahankan situs ini dari kepemilikan pihak swasta, yang sebelumnya mendapatkan konsesi pengelolaan dari wali kota sebelumnya. Warga kota juga tidak ingin rusa dan bisbul punah jika taman ini berubah kepemilikan. (RAZ/CAN)



Jembatan Merah Berpagar Gedung Tua
Minggu, 21 November 2010 | 04:40 WIB
Oleh: Kris Razianto Mada dan Nina Susilo

Gedung Internationale Crediet en Verening Rotterdam atau dikenal Internatio masih berdiri di barat Jembatan Merah, Surabaya. Kantor Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij berdiri di timur jembatan atau di Jalan Kembang Jepun. Persis seperti digambarkan Remy Sylado dalam novel ”Kembang Jepun”.


Bedanya, pada Rabu (3/11) siang, Internatio berdiri muram terkepung pedagang kaki lima (PKL), angkot, dan becak. Tak ada aktivitas dalam gedung tempat pemimpin pasukan sekutu Brigadir Jenderal AWS Mallaby tewas pada 31 Oktober 1945 itu. Kematian itu memicu peristiwa 10 November 1945. Gedung itu kini dipagar seng dan sudah bertahun-tahun sama sekali tidak ada kegiatan di dalamnya. Ia bahkan menjelma menjadi gedung tua walau secara arsitektural masih tampak menawan.

Sementara Kantor Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij tetap beroperasi sebagai bank. Tentu dengan nama baru, Bank Mandiri, nama keempat sejak bank itu beroperasi di Indonesia pada 1857. Pada tahun 1958, bank itu berganti nama menjadi PT Escomptobank. Kemudian namanya berubah menjadi Bank Dagang Negara pada April 1960. Selanjutnya bersama Bank Exim, Bapindo, dan Bank Bumi Daya (BBD), BDN dilebur menjadi Bank Mandiri.

Tentu tidak semua gedung di sekitar jembatan merah masih berdiri. Tepat di utara jembatan pernah berdiri kantor Residen Surabaya. Sekarang, sama sekali tidak ada bekas kantor itu. Lahan bekas kantor itu termasuk halaman Jembatan Merah Plaza, salah satu pusat perbelanjaan di Surabaya.

Kawasan ini sesungguhnya menjadi identitas ”baru” kota Surabaya, setelah bergerak dari zaman Majapahit, Mataram, lalu masa pemerintahan kolonial. Sebab dari Jembatan Merah inilah meluncur ucapan Surabaya sebagai kota pahlawan. Muhammad Subur (78), seorang tukang becak yang setiap hari mangkal di Jembatan Merah bisa dengan antusias bercerita soal Surabaya tempo dulu. Bahkan, ia mengatakan ikut bertempur melawan pasukan sekutu pada 10 November 1945.


Pemerintahan

Hingga 1905, kantor Residen Surabaya menjadi pusat pemerintahan Surabaya. Pembangunan terus berkembang di sekitar kawasan yang dulu disebut Willem Plein itu. Apalagi, sebelum pelabuhan Tanjung Perak selesai dibangun pada 1910, kapal layar bersandar di sekitar jembatan merah sekarang.

Di barat Jembatan Merah, seperti Jalan Jembatan Merah (dulu disebut Willenstraat) dan Jalan Rajawali (Heerenstraat), dipenuhi pedagang besar Eropa. Maskapai dan bank-bank kebanyakan berada di wilayah ini. Sebagian besar gedung masih digunakan aneka perusahaan dan keasliannya relatif terjaga.

Sementara kawasan timur jembatan diperuntukkan bagi warga Asia, seperti Tionghoa, Arab, dan Melayu. Penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, Dukut Imam Widodo, mencatat masyarakat China sebagai golongan yang sangat penting di Surabaya. Pada awalnya mereka mendiami suatu wilayah yang disebut Chinese Kamps atau Kampung Cina, di sebelah timur Kali Mas. Jalan-jalan yang didiami warga Tionghoa itu antara lain Chinesevorstraat atau kini Jalan Karet, dan Hendelstraat atau kini dikenal Kembang Jepun.

Kini sebagian gedung di Jalan Karet tidak difungsikan dan tampak berdebu dalam bentuk aslinya. Sementara sebagian lagi berfungsi sebagai gudang atau aneka kantor. Sayang gedung itu sudah berganti rupa menjadi ruko. Pergantian rupa juga terlihat di Jalan Kembang Jepun bagian timur.

Bukti bahwa kawasan ini pernah menjadi kawasan kebanggaan, tidak saja karena menjadi pusat pemerintahan, tetapi juga karena heroisme arek-arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan mengorbankan darah, pencipta lagu Gesang pun melukiskannya dengan lirik, ”Jembatan Merah, sungguh gagah, berpagar gedung indah. Sepanjang hari, yang melintasi, silih berganti....”


Dijaga

Pengamat perkotaan, Johan Silas, yang turut serta merumuskan pedoman pembangunan kota Surabaya sejak tahun 1965 mengatakan, kawasan Jembatan Merah sejak semula ”disisihkan” dalam pengembangan kota. ”Kawasan itu tetap kita perlakukan sebagai kawasan preservasi. Tidak boleh diapa-apakan dulu....” ujar Silas.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pun menuturkan bahwa ia sungguh berhati-hati di dalam pengelolaan kawasan tua, seperti Jembatan Merah. Pihaknya sedang membangun Taman Jayengrono untuk mempercantik kawasan. ”Kita bangun taman agar kawasan itu juga hidup, tidak berkesan kusam,” tutur Tri Rismaharini.

Tri juga berencana membuat subterminal untuk menampung angkutan umum yang sekarang meluber di jalanan, tepat di sisi Gedung Internatio. ”Semua harus pelan-pelan karena menyangkut kepentingan banyak orang,” katanya.

Dalam kondisi demikian, pemerhati cagar budaya Freddy H Istanto menilai data tidak terwujud (intangible) yang dipendam kawasan Jembatan Merah harus tetap dilestarikan. Data itu berupa semangat kesetiaan, keberanian, dan kegagahan yang kemudian menjadi identitas kota.
Jembatan Merah boleh tua dan dipagari gedung-gedung tua, tetapi kawasan ini telah turut andil membangun citra Surabaya dalam pentas internasional: heroisme! (CAN)


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar