Rabu, 04 Januari 2012

Pria Berkaloeng Soerdjan..





"mas, kok seneng pake baju lurik sih?" begitu celetuk tanya seorang kawan di sebuah pertemuan. hmm knapa ya? mungkin karena unik dan saya pikir ini adalah satu bentuk apresiasi pribadi saya pada budaya indonesia terutama Jawa (Jogja adalah kota yang membesarkan saya), sekaligus sebagai ungkapan identitas budaya. 

kalo pakaian menjadi sebuah ungkapan identitas, lalu kenapa bukan batik? bukankah batik adalah pakaian nasioal dan sudah terkenal sebagai identitas bangsa. pertanyaan itu meluncur setelah pertanyaan pertama belum selesai dijawab. hmmmm benar juga ya, kenapa bukan batik yang saya pilih untuk saya kenakan. Tapi kalau saya pikir-pikir lagi, batik sudah banyak yang pakai dan khasanah budaya kita tidak cuma batik dan saya pikir perlu juga untuk mengkampanyekan "fashion'' tradisional yang lain. Dan hati ini tertambat pada surjan lurik, karena saya cukup dekat dengan budaya jawa-jogja walau orang tua saya dayak dan sunda. selain itu surjan lurik sangat nyaman dan ringkas, kadan saya pakai sebagai jaket dan seringnya saya menjadikan sebagai syal.



Desain surjan pertama kali di perkenalkan oleh syeih Bonang dan di sempurnakan oleh syeih sunan kali jogo. Sebagai busana tuk menunaikan sembahyang/sholat, maka tak heran ternyata baju surjan juga dikenal sebagai baju takwa. Sedangan motif lurik melambangkan kesederhanaan seorang hamba,di depan sang maha segala nya yaitu TUHAN semesta alam.Sehebat apapun manusia di dunia tidak akan ada apa apa nya di hadapan TUHAN.


lurik is so njogja 
Sunan Kali Jogo terlihat tetap mempertahankan idetintas
sbg orang jawa dan tidak brpakaian seperti orang arab

Sunan Kali jogo menciptakan model pakaian islam utk orang jawa tanpa perlu meniru budaya pakaian orang arab. yang kemudian di sebut surjan.memang dalam sejarah sosok Sunan Kali Jogo memang seorang wali yang mampu medakwahkan agama Islam dengan tetap menunjukan idetintas budaya, beliau  sangat cerdas dalam mengakulturasi budaya. Dan kemudian pewaris baju surjan adalah kesultanan Yogyakarta. SURJAN (sirajan) yang berarti Pepadhang atau Pelita. Di dalam ajarannya HB I bercita-cita agar pimpinan Negara dan Penggawa Kerajaan memiliki Jiwa dan Watak SATRIYA, dimana tidak akan lepas dari sifat-sifat: Nyawiji, bertekad golong-gilig baik berhubungan dengan Allah SWT maupun peraturan dengan sesama. Sifat Greget (tegas bersemangat), Sengguh (percaya diri penuh jati /harga diri) dan sifat Ora Mingkuh, tidak melepas tanggung jawab dan lari dari kewajiban. Maka figur satriya Ngayogyakarta ideal yakni seseorang yang dilengkapi pengageman Takwa seperti  Nyawiji Greget Sengguh Ora Mingkuh.
Bentuk pakaian Takwa adalah; Lengan panjang, ujung baju runcing, leher dengan kancing 3 pasang (berjumlah 6, lambang rukun Iman), dua kancing di dada kanan kiri berarti dua kalimat syahadat, tiga buah kancing tertutup melambangkan 3 nafsu manusia yang harus diatasi, yakni nafsu bahimiah (binatang), lauwamah (perut) dan nafsu setan. Pakaian Takwa ini di dalam Kraton hanya dipakai oleh Sri Sultan dan Pangeran Putra Dalem. Sedang pakaian takwa untuk putri (Pengageman Janggan) dikenakan untuk Para Abdi Dalem Putri dan Keparak Para Gusti dengan warna kain hitam.

Baju surjan sendiri memiliki banyak corak dan warna, dan yang sering saya kenakan ini merupakan corak lurik. Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) disebutkan bahwa lurik diperkirakan berasal dari daerah pedesaan di Jawa, tetapi kemudian berkembang, tidak hanya menjadi milik rakyat, tetapi juga dipakai di lingkungan keraton. Pada mulanya, lurik dibuat dalam bentuk sehelai selendang yang berfungsi sebagai kemben (penutup dada bagi wanita) dan sebagai alat untuk menggendong sesuatu dengan cara mengikatkannya pada tubuh, sehingga kemudian lahirlah sebutan lurik gendong. Dan beberapa situs peninggalan sejarah, dapat diketahui bahwa pada masa Kerajaan Majapahit, lurik sudah dikenal sebagai karya tenun waktu itu. Bahwa lurik sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lampau, dapat dilihat dari cerita Wayang Beber yang menggambarkan seorang ksatria melamar seorang putri Raja dengan alat tenun gendong sebagai mas kawinnya. Keberadaan tenun lurik ini tampak pula dalam salah satu relief Candi Borobudur yang menggambarkan orang yang sedang menenun dengan alat tenun gendong. Selain itu adanya temuan lain, yaitu prasasti Raja Erlangga dari Jawa Timur pada tahun 1033 menyebut kain Tuluh Watu sebagai salah satu nama kain lurik (Djoemena, Nian.S:2000).

Dalam bahasa Jawa kuno, lorek berarti lajur atau garis, belang dan dapat juga berarti corak. Karena itulah mengapa di Jawa Tengah dan Jawa Timur kain tenun bercorak lajur ini akhirnya dikenal dengan nama lurik.
Pada dasarnya motif lurik secara garis besar terbagi 3 :
1. Motif garis-garis searah panjang sehelai kain, disebut dengan istilah lajuran

2. Motif garis-garis yang searah lebar kain disebut dengan istilah pakan malang 

3. Motif lurik dengan motif kecil-kecil disebut cacahan

Dalam perkembangannya, motif dasar tersebut dapat bervariasi baik ukuran lajurnya maupun besar cacahannya. Pencipta lurik biasanya menggabungkan berbagai variasi lajuran dan pakan malang sehingga terciptalah motif-motif baru.

note : ini bukan foto mbah jarwo... cuman dapet waktu gugling
Meskipun motif dasar lurik hanya berupa garis, namun lurik memiliki banyak variasi dan ragam motik seperti corak klenting kuning, sodo sakler, lasem, tuluh watu, lompong keli, kinanti, kembang telo, kembang mindi, melati secontong, ketan ireng, ketan salak dan lain-lain. Perpaduannya pun tidak hanya garis melainkan juga kotak-kotak, dua garis vertikal serta horizontal.

Bagi Saya lurik sarat akan nasihat akan hidup yang sederhana, dan ada ninilai sentimental dbagi saya. Saya ingat betul ketika masih ditipkan ke tetangga saya di sebuah desa di Klaten –Jateng. Saat itu saya tinggal selama setahun bersama seorang nenek tua, Mbah Jarwo begitu kami sering menyapanya.  Selama satu tahun pula saya menikmati kehidupan jawa yang sederhana, rumah Mbah Jarwo sebagan masih berlantaikan tanah dan dapurnya pun masih menggunakan tungku (walau pun ada sebuah kompor gas pemberian anak tertuanya, tapi jarang digunakan).  Selain bertani, Mbah Jarwo adalah seorang tukang tenun. Tak jarang motif luring di tenun oleh mbah Jarwo disela-sela kesibukannya bertani. Saya mengamati betul proses menenun sehelai kain lurik ternyata benar-benar butuh ketekunan luar biasa apalagi Mabh jarwo masih mengbunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin. Hari-hari saya selama setahun di cawas selalu di ramaikan suara dengan itme khas yang keluar dari Alat tenun.

Semoga baju surjan dan motif lurik ini bisa setenar  batik, dan segera di ajukan ke UNESCO. Pasti menarik sekali kalo surjan bisa menjadi pakaian nasional dari pada sekedar baju sebagai buah tangan dari jogja ,lurik seharusnya seperti batik yang sudah sering dikenakan setidaknya di hari jumat dan kondangan. Atau bisa jadi alternative baju muslim dari pada pakai yang ke Arab-araban. Dan siapa tahu pengerajin kain tenun motif lurik bisa lebih sejahtera bila surjan dan lurik menjadi popular.
 Saat ini saya masih menikti surjan lurik yang kadang terlilit di leher atau membungkus badan agar tidak kena panas atau dingin. Dan boleh sajakan kalo saya menjadi “pria berkalung surjan” hehehehehe….









1 komentar: