Jumat, 04 Februari 2011

A(rt)Sem : Kota Dan Agenda Seni Rupa

Oleh: Adikara (Maros Visual Culture Initiative)

Sejarah kota-kota besar di Indonesia, khususnya di Jawa semuanya berbasis pada kekuatan sejarah yang dibentuk oleh kepentingan budaya mulai dari ekonomi hingga lapisan masyarakatnya. Kota-kota disepanjang Pantai Utara, seperti Banten, Jakarta, Semarang hingga Surabaya dibangun secara multiras dan multietnik, mereka adalah pembentuk kota yang dimanifestasikan pada arsitektur, tata kota dan aliran sungai, keragaman kuliner, bahasa, kesenian, seremoni hingga aturan dan hukum yang seluruhnya membentuk identitas masyarakat dan kotanya.

Karya Candra Yudha Satria, Could I Borrow Your Bones #1, 140 x160cm, Charcoal on Canvas, 2010.


Sejarah kota mulai dari pra-kolonial hingga kolonial, paling tidak, meninggalkan fakta arkeologis bagaimana logika dan akal sehat membangun suatu Order sehingga lingkungan kota adalah ruang mobilitas manusianya untuk menjalankan multi aktifitas dan sosial. Di kota, interaksi dijalankan dalam konteks norma, sistem, keyakinan dan nilai-nilai yang tentunya memberi dinamikanya sendiri. Agama, kepemerintahan dan terutama ekonomi merupakan tiga aspek interaksi yang umumnya paling menonjol untuk dikenali. Oleh karena kota sebagai ruang dan tempat interaksi yang serba multi, tentu infrastruktur pendukungnya akan sangat berbeda dengan desa yang masyarakatnya homogen yang mengirim hasil buminya ke kota. Realita kota seperti itu melahirkan pola pikir dan pola tindak serta perilaku masyarakatnya yang heterogen dalam menghadapi dan memutuskan kebijakan sosial, mata rantai ekonomi, dan politik.

Geografi kota-kota di sepanjang Pantai Utara memberi keuntungan dalam ekonomi dan budaya, pertama lalu lintas hasil bumi bisa diteruskan ke berbagai wilayah lain hingga Eropa, kedua kaum pendatang memberi pengaruh budayanya secara langsung. Dengan demikian, pertukaran budaya berpaut dengan perdagangan yang pengaruhnya hingga sekarang sangat bisa dirasakan dan dilihat, dapat dikatakan budaya sebagai alat tukar yang terus menerus menjadi fondasi budaya keragaman masyarakat perkotaan.

Karya Candra Yudha Satria, Could I Borrow Your Bones #2, 140 x160cm, Charcoal on Canvas, 2010.


Pasca kolonial, terutama masa Orde Baru, perubahan kebijakan ekonomi terbuka baik dalam penanaman modal untuk produksi dan distribusi serta persaingan, merubah order yang telah terbentuk sebelumnya, banyak menghilangkan karakter kota sehingga setiap kota memiliki kesamaan yang sebenarnya seragam, hal itu tidak memberi identitas bagi masyarakatnya. Mall adalah salah satu contohnya sebagai tempat menjual barang yang sama bisa ditemukan di berbagai sudut kota dan disetiap kota manapun, kemudian wahana hiburan pun menjadi penanda keseragaman. Dalam konteks pembentukan kota, perubahan arah pembangunan ekonomi itu menempatkan artefak sejarah kota menjadi situs selain pajangan semata yang cenderung sulit untuk dipahami nilai kesejarahannya, yang paling dirugikan adalah kota menjadi ruang eksploitasi ekonomi uang yang jauh dari pemahaman budaya sehingga konflik seperti perebutan ruang, pengakuan sosial dan penyusutan identitas seolah-olah suatu kewajaran. Pada akhirnya kota menumbuhkan keliaran tanpa order. Beberapa contoh yang bisa dikedepankan seperti pembangunan mall, lokasi hiburan, pembangunan pasar, tempat peribadatan hingga tempat tinggal yang tumpang tindih ditambah pengelolaan aliran sungai yang dianggap sebagai bagian belakang bangunan yang menyebabkan sungai menjadi tempat pembuangan untuk apapun. Belum lagi dibebani dengan pelanggaran ruang seperti lahan publik atau bantaran sungai yang dijadikan kawasan hunian kumuh yang dilegalkan oleh aliran listrik dan air konsumsi, serta fasilitas umum dijadikan lahan kepentingan perorangan hingga kelompok.

Di tengah situasi itu, kita bisa melihat bagaimana respek warga kota mengalami kemunduran, padahal bila kita memahami istilah individualisme seharusnya kota sangat dijaga karena individualisme diciptakan untuk respek kepada orang lain termasuk lingkungannya bahkan sejarah.

Dalam realitas kota yang sekarang kita tinggali, sudah saatnya dipikirkan bagaimana sikap dan peran kita dalam membangun kota tanpa melahirkan konflik baru.  Ada beberapa cara, yang tentunya harus digarap lebih rinci, seperti pola Transmisi yaitu menempatkan sejarah, masa lalu dan tradisi untuk membangun kekinian dan moderen, kemudian sikap Proporsional supaya tidak terjebak pada penilaian sisi buruk, terakhir adalah Interpretasi dan/atau Re-interpretasi sebagai upaya pembangunan yang berkelanjutan tanpa harus merusak nilai-nilai yang sudah terbentuk. Itu bukan pekerjaan mudah, tapi tetap harus diupayakan tentunya dalam konteks budaya sehingga hal apapun yang tumbuh didalamnya akan memiliki karakter dan nilai jual. Pendekatan edukatif (diluar cara-cara formal) kepada warga masyarakat khususnya generasi muda yang menekankan aspek logika dan akal sehat, masih memiliki kemungkinan besar untuk mengembalikan kesadaran dan sikap terhadap kota yang ditinggali.

Karya Candra Yudha Satria, Could I Borrow Your Bones #3, 140 x160cm, Charcoal on Canvas, 2010.


Dari paparan di atas kaitannya dengan A(rt)Sem, apapun kegiatan sepanjang berkaitan dengan kota akan lebih baik bila pijakannya kepentingan budaya dan A(rt)Sem nampaknya akan memberi dampak positif yang besar ketika ditempatkan sebagai bagian membangun masyarakat kota Semarang. Kesenian seperti seni rupa merupakan bagian dari membangun kekayaan artistik dan estetik masyarakat yang dalam jangka panjang diharapkan memberi peran dalam keindahan kota.

Seni rupa yang saat ini kita jalani, seperti seni-seni tradisi yang kita miliki, akan menjadi milik masyarakat bila ditumbuhkan dari issue di lingkungan sekitar kita, hal itu yang menjadi faktor penentu bobot muatan karya. A(rt)Sem dalam skala kota diharapkan sebagai permulaan maksud seni yang ditumbuhkan itu. Ada alasan faktual kenapa A(rt)Sem bisa diletakan dalam konteks lebih luas, pertama Semarang memiliki sejarah panjang dalam keragaman budaya, kedua adalah sejarah pergolakan politik, ketiga tentunya lapisan problema dimasyarakatnya. Ketiganya kita pandang suatu dinamika yang mengandung keterpautan satu sama lain yang harus disikapi secara bijak dan proporsional.

Semoga A(rt)Sem memberi inspirasi serta menjadi agenda periodik kegiatan budaya masyarakat Semarang.


*Makalah Ini Dijabarkan Secara Detail Dalam Presentasi "Kota Dan Seniman: Bagaimana Hubungannya?" Oleh Didik Adikara Rahman. 14 Januari 2011, Gallery Bu Atie, Semarang Indonesia, A(rt)SEM 2010.
==========================================
I
I
I
I


Tidak ada komentar:

Posting Komentar