Jumat, 18 Februari 2011

Belajar Dari Gerakan Rakyat Kecil

Mari kita berhenti sejenak, belajar dari gerakan rakyat kecil.

Tentang semangat berbagi, semangat kebersamaan.
Sebagaimana yang dimuat Kompas hari Minggu, 13 Februari 2011.
Moga-moga kita masih punya waktu untuk membaca, merenung,


belajar dari rakyat kecil...

=========================================


Harmoni Dari Ciliwung



Ada beragam cara yang dilakukan masyarakat untuk menanamkan nilai-nilai keberagaman dalam kehidupan. Salah satunya melalui mural, seperti yang tampak di Sanggar Ciliwung, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (10/2). Mural itu dibuat remaja dari sanggar tersebut.


Oleh: Maria Hartiningsih


... O ya Allah/Ya Rabbi/Junjungan kami/ Terima sujud/Sembah kami/Bebaskanlah kami/Dari segala tirani/… O ya Allah/Ya Rabbi/Harapan kami/Kurindukan gaib-Mu/Jadikan mata-Mu/Mata kami/Nafas kami/Hidup kami....
Lagu ”Senandung Ciliwung” mengiringi kegiatan harian di Sanggar Ciliwung di bantaran Sungai Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta. Sejak tiga tahun lalu, fasilitas di situ sudah lebih tertata. ”Dari tahun 2000 sebenarnya sudah ada program kesehatan. Relawan dokter rajin datang ke sini, ” ujar Mbak Atik (59).
Ia menunjukkan ruang periksa dokter umum, dokter gigi lengkap dengan peralatannya, dan ruang obat. Dokter umum datang tiga kali seminggu dan dokter gigi dua kali seminggu. Biayanya dengan sistem jimpitan.
”Kalau punya Rp 1.000, ya itu yang dikasih, termasuk obat,” kata Mbak Atik. Fasilitas itu sangat membantu karena meski ada program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dari pemerintah, tak semua warga miskin punya hak atas bantuan itu.
Organisme
Seperti organisme, warga dan wilayah itu berkembang bersama sanggar, yang dibangun bersama para relawan kemanusiaan pascareformasi tahun 1999, menjadi komunitas merdeka dari segala stigma. Ruang di rumah setengah permanen itu adalah ruang belajar dalam arti luas melalui kegiatan bersama.
”Dulu, saya buat pekerjaan rumah di sini, belajar komputer, buat perpustakaan, sebelum sanggar jadi seperti ini. Lalu saya mengajar juga,” ujar Yanti (28), kini koordinator kesehatan. ”Anak yang kecil belajar dari yang lebih besar. Kalau sudah lebih besar, ia mengajar adik-adiknya yang lebih kecil, begitu seterusnya.”
Di tempat itu, setiap anak adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah. ”Alam raya ini adalah sekolah yang ilmunya tak pernah habis,” ujar Sandyawan Sumardi, pekerja kemanusiaan yang sejak awal tinggal dan mendampingi komunitas itu.
Bahkan, Risma, remaja dengan segala keterbatasannya, sekarang bisa membantu orangtua, menyanyi, dan mengasuh anak-anak di sanggar. Kehadirannya memberi kesempatan bagi orang lain untuk belajar dari keterbatasan Risma. Ini hanya satu contoh bagaimana kepekaan tumbuh menjadi toleransi yang jujur dan kesadaran akan kesalingan.
Pak Yusuf, mantan ketua RT, yang sudah 23 tahun bermukim di situ, menyaksikan banyak perubahan 12 tahun terakhir. ”Dulu orang takut ke sini karena dianggap tempat penjahat dan preman. Kini, sejak ada sanggar, bukan cuma RT kami, RT 08, yang bergerak di sini, tetapi RT 06 dan RT 07 juga bergabung bersama. Kami gotong royong bikin penghijauan,” ujar Pak Yusuf.
Merebut martabat 
Pandangan bahwa komunitas seperti itu hanya menengadahkan tangan, menunggu bantuan, dipatahkan oleh banyak kerja konkret. Warga ”pinggiran” yang selalu menjadi subyek pemarjinalan itu aktif memberi bantuan kemanusiaan, di antaranya kepada korban bom di Jakarta dan di Bali, buruh migran di Nunukan, serta korban gempa dan tsunami di Aceh. Warga yang berpengalaman membuat dapur umum sejak tahun 2000 memberi bantuan tenaga dan materi yang dihimpun dari setiap keluarga. Mereka juga melakukan advokasi dan mendampingi korban konflik etnis Madura-Dayak di Sampit.
Sebagai warga pinggir sungai, mereka belajar mengenali lingkungannya, termasuk perilaku dan nadi sungai. Seorang warga menuturkan, waktu banjir sampai tujuh meter, mereka membentuk tim SAR dan dengan empat perahu karet ikut membantu evakuasi warga di 32 titik banjir.
Ruang sisa—berupa harga diri dan harkat hidup—menjadi penuh dengan kegiatan yang saling mengisi. Upaya produktif dan kultural telah menahan pembodohan, pemiskinan, dan ketidakpastian yang dihadapi sehari-hari.
Warga terus menghidupi komunitasnya tanpa bantuan pemerintah. Termasuk pemberdayaan ekonomi melalui pengelolaan sampah dan pemanfaatan limbah, penataan lingkungan, dan pendidikan tata ruang. Ivanna, relawan arsitek, mengajak warga melihat masalah dan potensi di situ dengan membuat perencanaan kampung.
”Ini bisa menjadi daya tawar karena ada program normalisasi sungai tahun 2011-2014. Kali Ciliwung termasuk,” ujar Ivana.
Usaha bersama produk jahit yang mendapat bantuan dari The Body Shop, budidaya jamur, seni kriya, kompos, dan menghidupkan kembali koperasi adalah mimpi yang sedang dirintis. ”Cita-cita kami adalah punya counter di pusat-pusat perbelanjaan dan ekspor,” ujar Gofur (26), Koordinator Usaha Bersama.
Iman sosial
Seni budaya yang menjadi wadah ekspresi warga dibangun oleh kelompok-kelompok pengamen jalanan sejak awal tahun 2000-an. Kini Sanggar Ciliwung memiliki seperangkat gamelan, gitar bermutu, dan musik perkusi. Semua merupakan hadiah berbagai lomba yang dimenangi mereka.
Pada tahun 2007, anak-anak bantaran Ciliwung menyelenggarakan Festival Budaya Anak Pinggiran Ciliwung Merdeka, melibatkan 2.150 anak dari 39 komunitas anak ”pinggiran” se-Jabotabek. Bulan Desember 2010, Komunitas Bantaran Sungai Warga Bukit Duri dan Kampung Pulo menyelenggarakan Festival Gerakan Budaya ”Ciliwung Larung”. Juli mendatang mereka diundang pentas di Jerman.
”Dengan kegiatan sehari-hari, kami menumbuhkan solidaritas pada kemanusiaan yang tak bersekat,” ujar Nizar. Oleh karena itu, ”Kami sangat prihatin dengan tindak kekerasan kepada mereka yang dianggap berbeda,” sambung Moh Zaki (20).
Banyak perbuatan baik dilakukan warga tanpa diumumkan. ”Tidak perlu pamer,” ujar Gofur. ”Tidak perlu juga orang tahu kita shalat karena iman itu urusan diri kita dengan Sang Pencipta.” 
Kerja nyata kelompok-kelompok masyarakat untuk mengurai persoalan sehari-hari di lingkungan mereka tanpa bendera agama perlu dipandang sebagai cermin pendalaman agama. ”Indikator dakwah semestinya lebih diukur pada pendalaman nilai dan praktik keagamaan yang tecermin dalam kerja untuk sesama dalam masyarakat yang berbineka,” ujar Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan yang diminta komentarnya tentang upaya rakyat membangun kerukunan.
Iman berdimensi sosial itu terwujud dalam karya nyata di bantaran Kali Ciliwung. ”Komunitas ini adalah gambaran nyata harmoni antara iman dan dimensi sosial,” ujar Sidik Rahmat, mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam yang beberapa kali mengunjungi komunitas itu. (DAY/MYR)

http://cetak.kompas.com/read/2011/02/13/03431285/harmoni.dari.ciliwung


-----------------------------------------------



Merobek Sekat, Memberi Ruang


Oleh: Aryo Wisanggeni

Di tengah kekacaubalauan negeri ini, masih banyak orang yang saling merangkul, berbagi kasih tanpa membedakan latar belakang apa pun.
Marilah kita ke Sanggar Akar di bilangan Kalimalang, Jakarta Timur. Di tempat itu anak-anak jalanan mengasah kepekaan rasa lewat kesenian teater, musik, membaca, diskusi, dan kegiatan lain. Kamis (10/2) lalu, mereka tengah berlatih teater dengan siswa-siswa Sekolah Pelita Harapan Lippo Karawaci. Mereka tengah membaca naskah ”The Prince and The Pauper” karya Mark Twain yang berkisah tentang persahabatan anak raja dan anak kaum papa.
Hari itu Leman (14), yang bergabung dengan Sanggar Akar sejak tahun 2008, seperti segan berakting. Soal nyali, Leman pasti punya. Ia dulu menyabung nyawa mencuri besi tua di Plumpang, juga mengamen di jalanan. Leman juga pernah naik panggung Taman Ismail Marzuki dalam pentas ”Nyanyian Negeri Pelangi.” Namun kali ini saat harus berhadapan dengan teman-teman barunya, ia merasa grogi.
”The King didn't even provide us any jobs! Curse that King Henry! Give me a job and I won’t be in the street begging!" ucap Leman lirih, membaca naskah drama.
Sang putra mahkota, Prince Edward, dikisahkan sedang bersembunyi menguping omongan rakyatnya terkejut. ”Father ... did this? I thought he was a wonderful king to everyone ...,” ujar Lee Ju Hyup, siswa kelas enam Sekolah Pelita Harapan asal Korea, yang juga masih canggung memainkan Prince Edward.
Kekikukan membaca naskah ”The Prince & The Pauper” bukan hanya dialami Leman. ”Saya juga belepotan membaca naskah itu. Ini naskah teater berbahasa Inggris pertama yang kami mainkan,” tutur Nuryadi, anak pemulung dan tukang ojek asal Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang, yang melakonkan peran hakim dan pemuda.
Namun Leman, Nuryadi, dan anak-anak Sanggar Anak Akar lainnya akhirnya tertawa bersama para siswa Sekolah Pelita Harapan, menikmati kekikukan mereka bersama-sama. Keceriaan mereka merobek berbagai sekat yang memilah dunia mereka. Antara dunia siswa Sekolah Pelita Harapan yang ”serba nyaman” dan dunia siswa Sekolah Otonom Anak Akar yang ”serba keras”.
”Awalnya kami berjarak dengan anak-anak sekolah yang mengunjungi Sekolah Otonomi Sanggar Anak Akar. Kami merasa mereka orang kaya, punya apa saja, sementara kami orang miskin, tak berpunya,” kata Andri (20), yang sejak 1989 tinggal di Sanggar Anak Akar karena lari dari rumah orangtua.
Cara pandang semacam itu berubah ketika mereka berkomunikasi sebagai manusia, tanpa membawa atribut sosial ekonomi atau lainnya.
”Ternyata mereka iri dengan kehidupan kami yang bebas, kreatif. Kami iri kepada mereka, mereka iri kepada kami, kami dan mereka, kami semua ternyata sama saja,” kata Andri melanjutkan. 
Ruang untuk tumbuh
Sanggar Anak Akar berdiri atas dasar keyakinan bahwa setiap anak berhak memiliki akses untuk tumbuh dan menjadi manusia yang utuh. Sebagian besar anak yang tinggal di Sanggar Anak Akar adalah anak pemulung, anak jalanan, anak yang lari dari orangtuanya, dan anak-anak yang tidak diketahui asal-usulnya.
”Ada banyak kebijakan makro yang bisa memarjinalkan anak seperti penggusuran, pelarangan becak. Realita ini membuat anak berada di jalanan dan mengalami kehidupan yang keras. Di sanggar Anak Akar, kami mengajak anak hidup bersama, membangun kesepakatan hidup bersama,” kata Susilo Adinegoro, Ketua Yayasan Anak Akar.
Motivasi serupa juga mendasari pengabdian Ketua Yayasan Chairun Nissa, Lies Haryoso (71), selama 40 tahun mengurusi anak-anak yatim piatu dan lansia. Ia yakin anak-anak di mana pun ingin memiliki dan dicintai orangtua. Alhasil, saat ini ada 60 anak putra dan putri yang ditampungnya di panti asuhan, dan sekitar 50 anak di luar panti yang mendapat santunan. Selain itu, Lies juga memberikan antaran makanan setiap hari kepada sekitar 230 orang lanjut usia.
Seperti juga di Sanggar Anak Akar, panti-panti asuhan milik Lies secara kontinu mengajarkan bagaimana hidup bersama. Mereka bukan saja harus berbagi, melainkan juga harus toleran terhadap perbedaan. Dan ia sendiri memberi contoh konkret soal itu—bukan berwacana.
”Panti yang saya asuh memang dikhususkan bagi mereka yang beragama Islam. Tapi kalau saya menemukan anak yatim yang non-Muslim segera saya salurkan pada panti asuhan Nasrani,” kata Lies yang adalah ibu dari Iwan Fals.
”Sesama pengelola panti asuhan kami kompak. Kami kerap pergi bersama-sama. Kalau mereka memiliki kelebihan beras, sementara kita sedang tak punya, biasanya mereka akan bawakan pada kami. Kalau sampai tidak rukun antarsesama panti, ya, susahlah,” kata Lies.
Bagi anak-anak di Sanggar Akar, ketidakrukunan akibat sentimen agama tak pelak menimbulkan pertanyaan kritis, mengapa agama sampai menimbulkan konflik. ”Akhirnya kami menyepakati untuk belajar bersama soal itu, dengan mempelajari sejarah agama di Indonesia. Setiap anak mendapat tugas untuk mencari sejarah agama yang ada di Indonesia dan kemudian mempresentasikannya,” kata Susilo.
Berharga sebagai manusia
Ruang tumbuh dan kesempatan merasa berharga sebagai manusia juga ditumbuhkan oleh Precious One atau P-One yang menampung orang-orang berkebutuhan khusus, para tunarungu. Di ruang aktivitas di bilangan Sunter Garden, Jakarta Utara, para tunarungu mendapat kesempatan bekerja membuat kerajinan seperti tas, tutup galon, tempat tisu, alat peraga pelajaran dan lainnya. Hasil kerja mereka bisa membantu ekonomi para tunarungu yang susah mendapat pekerjaan di negeri ini.
Mereka yang bergabung dengan P-One datang dari berbagai latar belakang. P-One memang membuka tangan lebar-lebar untuk menerima orang dengan kebutuhan khusus, siapa pun mereka.
Ulfa (27), seorang tunarungu, merasa senang mendapat kesempatan berkarya di P-One karena ia bisa membantu ekonomi keluarga. ”Kalau terkumpul modal, aku ingin buka usaha jahitan. Aku ingin membahagiakan orangtua,” kata Ulfa yang ditemui di P-One, Jumat (11/2) siang.
Siti Maspupa (23) merasa senang karena dengan berkarya ia mendapat banyak sahabat, selain juga bisa membantu biaya listrik dan berbagai keperluan hidup orangtuanya yang tidak bekerja.
Precious One yang berdiri tahun 2004 itu melatih dan menciptakan lapangan kerja bagi para tunarungu. Mereka juga memberi kesempatan kepada para pemilik bidang usaha lain guna memberi kesempatan bagi orang-orang berkebutuhan khusus untuk bekerja.
”Tujuan kami adalah memberi kesempatan mereka (orang berkebutuhan khusus) supaya mereka merasa berharga dalam hidup. Mereka dilahirkan sebagai pribadi yang berharga,” kata Ratnawati Sutedjo (37), pengasuh P-One.
Merasa dihargai sebagai manusia seharusnya dirasakan setiap warga di negeri yang katanya merdeka dan beradab ini. (MYR/CP/XAR)

http://cetak.kompas.com/read/2011/02/13/04272914/merobek.sekat.memberi.ruang


------------------------------------------------------------------------



Kebersamaan di Merapi


Oleh: Th Pudjo Widijanto

Di antara reruntuhan bangunan dan pohon-pohon hangus yang bertumbangan, terdengar alunan tembang-tembang religi menggelorakan syair-syair puja pada kebesaran Ilahi.
Tembang-tembang itu disuarakan oleh anak-anak Pesantren Jejeran, Kecamatan Imogiri, Bantul, DI Yogyakarta, dengan iringan tetabuhan berbagai rebana. Di antara santri yang tergabung dalam kelompok seni Hadroh ini, ikut bernyanyi pula Uskup Agung Semarang Mgr Pujosumarto Pr yang duduk bersimpuh bersama para santri. Dengan membaca catatan lagu, ia ikut melantunkan tembang-tembang yang bernapaskan islami, seperti ”Lit-ilir” dan ”Tamba Ati”.
Acara di Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Senin (7/2), itu menandai dimulainya penanaman penghijauan di lereng Merapi. Pentas seni Hadroh bukan sekadar pengisi acara, melainkan sekaligus simbol budaya kebersamaan. Gerakan penghijauan itu dilakukan serentak oleh 43 elemen lintas agama, suku, dan etnis yang tergabung dalam nama Konsorsium Penghijauan Area Lereng Merapi (PALM).
Di lokasi penanaman terlihat sekitar 1.000 sukarelawan, mulai dari jajaran Banser PWNU DIY, suster-suster, Fatayat Nahdlatul Ulama, Forum Persaudaraan Umat Beriman, Komunitas Sunda Wiwitan, Pondok Pesantren Al Qodir, Pondok Pesantren Nurul Umahat, organisasi Tionghoa dari Bali, berbagai paroki, hingga Mitra Tani. 
KH Muhaimin, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Umahat, bersama dengan umat agama lain memulai pembentukan gerakan penghijauan Merapi. Gerakan cepat itu berhasil menghimpun berbagai elemen masyarakat dari beberapa wilayah di Indonesia. ”Dari target sebanyak 112.500 bibit pohon yang akan ditanam, kini sudah 85.875 bibit yang sudah ditanam dan itu akan dipelihara dan dilakukan perawatan selama enam bulan,” katanya berbinar- binar.
Namun, bagi Muhaimin, yang utama bukan semata-mata kerja teknis, melainkan bagaimana membangun kebersamaan dalam tataran nilai. Gerakan penghijauan ini diharapkan menjadi bukti bahwa kerukunan itu nyata.
”Bentuk penghijauan itu merupakan hasil, sedangkan yang utama adalah ketulusan membangun persaudaraan. Karena kebersamaan itu sesungguhnya adalah hati dari bangsa Indonesia sendiri yang ber-Bhinneka Tunggal Ika,” katanya.
Karena rindu kebersamaan itu pula, putri almarhum Abdurrahman Wahid, Alisa Wahid, yang ikut dalam gerakan penghijauan itu merasa melihat sesuatu yang paradoks. ”Di tempat ini, saya melihat betapa indahnya kerukunan dan kebersamaan itu. Namun, di lain tempat, saya melihat peristiwa tragis yang merenggut nyawa manusia,” katanya. 
Dalam bahasa simbolik, Mgr Pujosumarto menyatakan, ”Jika hatimu tersulut api, maka kamu akan mampu melihat orang di sekitarmu sebagai bagian dari hidupmu.” (ABK)
------------------------------------------------------------------------------------------------

Damai di Gang Seribu Punten

 Oleh: Budi Suwarna
Lebih dari dua dasawarsa, Kampung Babakan Asih di Bandung dicap sebagai kampung preman. Perjudian terbuka dan tawuran massal jadi santapan sehari-hari. Kini, kampung itu damai dan penuh toleransi. Gang-gang sempit dan berkelok di RT 04 RW 01 Kampung Babakan Asih, Kota Bandung, Jawa Barat, seolah labirin tak berujung. Di sudut-sudut gang, suasana gelap dan lembab. Di tempat seperti itulah, selama lebih dari dua dasawarsa, kenakalan remaja dan kriminalitas tumbuh subur.
”Kami biasa nongkrong dan mabuk dari siang sampai pagi lagi. Kalau sudah bosan, kami cari orang yang bisa kami pukulin,” kenang Wandi (40), pemuda Babakan Asih, mengenai kelakuannya dulu.
Wandi sangat senang kalau ada orang luar kampung lewat di depan mereka tanpa berkata punten (permisi). Wandi langsung menghardik. ”Dasar hayam, ditajong sia ku aing (Dasar ayam, gue tendang lu). Saya tendang dia sampai masuk got,” ujar Wandi.
Itu sebabnya, lanjutnya, orang luar sering menyebut Babakan Asih sebagai kampung dengan gang seribu punten. Maksudnya, orang luar harus rajin bilang punten (permisi) ketika melintas di depan para pemuda itu kalau tidak ingin babak belur.
Begitulah, masalah sepele gampang menyulut perkelahian di kampung tersebut. Kalau itu terjadi, semua pemuda Babakan Asih akan turun di arena tawuran massal. ”Dulu, di rumah saya ada berbagai senjata seperti golok dan besi yang siap dibagikan kalau tawuran massal terjadi,” tambah Ipang Garniwa (29), pemuda lainnya.
Tawuran seperti itu, menurut Wandi, hampir setiap minggu terjadi. Pemuda kampung menganggap momen itu seperti ”pesta” yang sering berakhir di penjara. Pemuda berperawakan kecil itu mengatakan, sejak pertengahan tahun 1990-an sampai awal 2000-an, ada 81 anak muda Babakan Asih yang masuk bui. Tidak hanya sekali. Wandi masuk bui tiga kali, sedangkan Ipang lima kali. Kasusnya mulai dari mabuk-mabukan, pencurian, tawuran, hingga penganiayaan berat.
Pernah belasan pemuda Babakan Asih masuk bui bersamaan. ”Ketika keluar dari bui, kami disambut dengan pesta minuman (keras),” ujar Wandi.
Ahmad Ruyani (45), Ketua RT 04 RW 01 Babakan Asih, mengatakan, kenakalan pemuda di kampungnya terjadi sejak 1970-an dan kian menjadi sejak 1990-an. Kenakalan diturunkan dari generasi ke generasi. ”Pemuda ngajarin anak-anak mabuk dan judi. Strategi tawuran massal dibahas bersama-sama. Pokoknya kacau sekali,” katanya.
Ketika itu, hidup di kampung tersebut selalu tegang. Orangtua yang punya anak perempuan resah. Warga langsung tutup pintu jika ada anak muda lewat. Mereka khawatir tawuran massal terjadi. ”Kami capek dan ingin berubah,” ujar Ahmad.
Frustrasi sosial
Ahmad kemudian bertemu dengan Reggi Kayong Munggaran, aktivis dari LBH Bandung. Mereka mencari cara menyadarkan para pemuda dan membuat kampung itu damai.
Mereka menganalisis akar persoalan di kampung itu, antara lain kemiskinan. Warga kampung umumnya pedagang kaki lima dan tukang becak. Pemudanya sebagian besar menganggur dan dicap sebagai sampah masyarakat lantaran pernah jadi narapidana.
Persoalan lain adalah tekanan lingkungan. Kampung berpenduduk 556 jiwa itu amat padat. Rumah-rumah berimpitan. Orang berkompetisi memperebutkan ruang. Setiap musim hujan, banjir merendam kampung itu selama dua hari.
”Kampung terasa sangat sumpek. Satu-satunya pelarian yang menyenangkan adalah mabuk,” ujar Wandi.
Reggi melihat, masyarakat saat itu mengalami frustrasi, apatis, dan agresif. Apalagi, pemerintah seolah tidak hadir untuk mengatasi masalah mereka. ”Tawuran, misalnya, dibiarkan selama bertahun-tahun,” ujar laki-laki yang Koordinator Urbane Community.
Bersama Ahmad, Reggi mendekati para pemuda, berbagi makanan dan cerita, serta membangun optimisme bersama. Bersama LBH Bandung, Reggi juga mengadvokasi warga yang tersangkut masalah hukum, memberikan penyuluhan tentang HAM, hingga mengenalkan konsep toleransi dan dialog.
Dari dialog itu, kata Ipang, tumbuh keinginan kuat di hatinya untuk berubah. ”Saya dulu frustrasi karena telanjur dicap sampah masyarakat. Tapi, Reggi bilang, ’Sampah saja bisa didaur ulang, masa manusia tidak bisa’.”
Para pemuda kemudian didorong menjadi motor perubahan di Babakan Asih. Mereka diajak membuat sumur resapan, mengelola sampah, mengelola sumber air, membangun tempat nongkrong untuk warga, membangun sanggar kesenian, memperbaiki jalan, hingga mengelola asuransi bersama sampai lembaga keuangan mikro. Semua dibangun dengan dana warga sejak 2007.
Selamat tinggal kekerasan
Kini, sebagian persoalan di kampung itu teratasi. Warga miskin mendapat akses kredit murah dan asuransi mandiri. Lingkungan jadi lebih baik. Hubungan antarwarga pun menjadi harmonis. Orang tidak lagi takut ada pemuda mabuk berkeliaran di tengah kampung.
Wandi, yang dulu gemar ”mengajar” strategi tawuran, kini mengajar anak-anak menggambar di sanggar. Ipang, yang dulu pemabuk, sekarang menjadi pengawas anak-anak. ”Kalau ada anak-anak yang berantem, saya tegur. Sekolah tidak boleh bolos.”
Dua tahun terakhir, tawuran massal di kampung itu tidak terjadi lagi. Agar suasana damai itu langgeng, pemuda dan warga senior merajut perdamaian dengan kampung lain yang dulu menjadi musuh. ”Kami bersikap terbuka kepada mereka. Kalau mau, silakan gunakan fasilitas di kampung ini. Tidak perlu bersaing,” kata Ahmad.
Percikan bukannya tidak ada. Beberapa waktu lalu, ada anak muda kampung yang menantang berkelahi. ”Kami ajak dia ngobrol dan persoalan selesai,” ujar Ipang.
Begitulah warga Babakan Asih memberdayakan diri dalam membentuk kehidupan masyarakat beradab. Buat mereka, bahasa kekerasan yang memalukan tinggal cerita masa lalu.

http://cetak.kompas.com/read/2011/02/13/04360272/damai.di.gang.seribu.punten.


==========================================





I
I
I

Mari merenungkan kata-kata bijak:

Seperti organisme, warga dan wilayah itu berkembang bersama sanggar, yang dibangun bersama para relawan kemanusiaan pascareformasi tahun 1999, menjadi komunitas merdeka dari segala stigma.

”Alam raya ini adalah sekolah yang ilmunya tak pernah habis,”



Ruang sisa—berupa harga diri dan harkat hidup—menjadi penuh dengan kegiatan yang saling mengisi. Upaya produktif dan kultural telah menahan pembodohan, pemiskinan, dan ketidakpastian yang dihadapi sehari-hari.


”Dengan kegiatan sehari-hari, kami menumbuhkan solidaritas pada kemanusiaan yang tak bersekat,”


”Ternyata mereka iri dengan kehidupan kami yang bebas, kreatif. Kami iri kepada mereka, mereka iri kepada kami, kami dan mereka, kami semua ternyata sama saja,”


”Ada banyak kebijakan makro yang bisa memarjinalkan anak seperti penggusuran, pelarangan becak. Realita ini membuat anak berada di jalanan dan mengalami kehidupan yang keras. Di sanggar Anak Akar, kami mengajak anak hidup bersama, membangun kesepakatan hidup bersama,”


”Tujuan kami adalah memberi kesempatan mereka (orang berkebutuhan khusus) supaya mereka merasa berharga dalam hidup. Mereka dilahirkan sebagai pribadi yang berharga,”


”Bentuk penghijauan itu merupakan hasil, sedangkan yang utama adalah ketulusan membangun persaudaraan. Karena kebersamaan itu sesungguhnya adalah hati dari bangsa Indonesia sendiri yang ber-Bhinneka Tunggal Ika,”


Jika hatimu tersulut api, maka kamu akan mampu melihat orang di sekitarmu sebagai bagian dari hidupmu.”


”Saya dulu frustrasi karena telanjur dicap sampah masyarakat. Tapi, Reggi bilang, ’Sampah saja bisa didaur ulang, masa manusia tidak bisa’.”


”Kami bersikap terbuka kepada mereka. Kalau mau, silakan gunakan fasilitas di kampung ini. Tidak perlu bersaing,”

I
I
I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar