Jumat, 18 Februari 2011

Mengatasi Sindroma Marina

Oleh A Rudyanto Soesilo

ROB tidak bisa dianggap sebagai suatu kelaziman (Suara Merdeka, 5 Mei 2009), sudah menggenangi 3000 hektare lahan perkotaan (Suara Merdeka, 7 Mei 2009),  dan tidak boleh dianggap suatu bagian dari nasib, suatu sikap fatalistis, kepasrahan yang hanya menunjukkan kelemahan suatu bangsa. 

Karena itu, semua harus peduli terhadap rob, terutama para aktor yang terlibat di dalamnya, yaitu birokrat penentu kebijakan, para pengembang beserta para perencana dan perancangnya, serta rakyat yang bila perlu diwakili oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat ataupun lembaga penelitian universitas yang mengawasi pembangunan kota. 

Kota-kota sepanjang pantura dari Jakarta, Tegal, Semarang merupakan kawasan yang lahir dari pertumbuhan peradaban yang muncul akibat sarana transportasi antarwilayah dan antarpulau waktu itu, yaitu tranportasi sungai dan laut berupa kapal, perahu dan lain-lain. 

Terbentuknya jejaring perdagangan yang menjadi inti sebagai pemicu 
perkembangan wilayah hunian, terus tumbuh sehingga menjadi kota-kota seperti yang kita lihat dan alami sekarang ini. Dengan makin tinggi muka air laut maka rob mulai merambah berbagai kawasan yang pada awalnya merupakan kawasan pusat-kota itu.  

Setelah era kemerdekaan, maka berkembanglah kota keberbagai arah dan di antaranya meninggalkan kawasan pusat Kota Lama yang merupakan kawasan tepi-air itu. 

Rob memang fenomena alamiah yang dekade ini meningkat seiring dengan fenomena global warming. Akibatnya sebagian kawasan suatu kota pantai jadi tergenang rob. Masalah bertambah ketika muncul tren pengembangan baru suatu kota yang mengglobal juga, demam Marina. 

Sejak 1960-an atas sukses pengembangan kawasan tepi-air (waterfront) Inner Harbor di Baltimore, maka maraklah pengembangan kawasan pantai di kota-kota besar di berbagai belahan dunia mengikuti tren ’’Impian Marina’’ yang kemudian menjadi ’’Sindroma Marina’’ yang membuat kota-kota yang telah menderita karena fenomena rob menjadi tambah ’’sakit’’ dan lebih terjerembab lagi. 

Impian

Seiring dengan berkembangnya tren ’’Impian Marina’’, kawasan tepian-air mulai dilirik lagi. Sukses dari Kota Bilbao di Spanyol dengan Museum Guggenheim karya arsitek Dekonstruksi Frank Gehry, membuat kota yang telah ditinggalkan turis, berbalik menjadi daerah tujuan wisata terkemuka yang berhasil meraup pendapatan yang luar biasa. 

Proyek ini disebut ’’Remaking the Image of the City’’, karena telah menyulap citra kota yang ketinggalan zaman menjadi sangat menggiurkan bagi turis mancanegara. 

Kasus serupa muncul di Shanghai, China yang disebut sebagai ’’The Redevelopment of the Shanghai Waterfront’’ yang berhasil menyulap kota Shanghai menjadi salah satu kota tergemerlap di dunia. 

Terus berderet kota-kota di dunia, Sydney, San Francisco Bay, Boston dan yang paling menggelitik kita, yaitu tetangga kita Singapura. 

Turis-turis Indonesia berdecak mengagumi keindahan Marina Bay Singapura dengan Esplanade, Marina hasil reklamasi yang konon menghabiskan sebuah pulau kita itu. 

Jelas ’’Impian Marina’’ ini segera menjadi panutan kota-kota di Indonesia, dan Jakarta telah membuktikan hal itu. 

Para pengembang membius masyarakat dan meluncurkan Impian baru sebagai suatu global new life-style, beramai-ramai menggarap bibir pantai Jakarta dengan mereklamasi sebagai solusi murah, mendirikan ’’Waterfront district’’ di situ dengan berbagai fasilitas permukiman mewah, rekreasi, perkantoran yang kesemuanya menjual the waterfront view sebagai tren internasional. 

Semua prosedur pengembangan itu dilengkapi dengan segala dokumen yang dibutuhkan seperti amdal dan lain-lain yang sah, valid, dan resmi. Dan entah kenapa, makin lama Jakarta makin tenggelam, jalan utama menuju gerbang nasional, Bandara Soekarno-Hatta, mengalami banjir besar hingga semua  penerbangan waktu itu dibatalkan. Gerbang Nasional tak berfungsi, Indonesia bak terisolasi dari dunia luar. 

Bibir Pantai

Sementara para pengembang mengiklankan bahwa lahan pengembangannya sama-sekali tidak banjir, aman dan ternyata tak ada yang salah dan  tak ada yang bisa disalahkan. Pengembangan kawasan bibir-pantai sebagai kawasan batas-air itu seakan melengkapi kebrengsekan saluran air yang ada dan sekaligus sebagai segumpal ’’sumpel’’ besar yang menyumbat sungai-sungai yang bermuara di situ. 

Lalu mau diapakan kawasan bibir pantai, terutama di Kota Semarang, yang sebagian (besar?) warganya justru tidak tahu kalau kotanya adalah kota-pantai, kota tepi-air (waterfront-city). 

Kita perlu banyak belajar pada Kota Genoa, Italia, 1999 yang telah menggabungkan antara kota bersejarah dengan suatu pelabuhan modern dengan melakukan revitalisasi. Kita juga bisa belajar dari Amsterdam di Belanda dan Havana di Cuba, (Richard Marshall, Waterfronts in Post-industrial Cities, 1999). 

Revitalisasasi kawasan tepi-air dengan konteks kota-bersejarah menjadi andalan yang mewarnai pengembangan kawasan tepi-air pada kota-kota bersejarah itu. Yang dilakukan adalah relasi bermakna dari pengembangan baru dengan kawasan kota-lama bersejarah itu, yang melindunginya dari kerakusan pengembangan liar. 

Tanpa melakukan reklamasi yang tidak perlu dan penuh risiko, tetapi mendayagunakan potensi-potensi lama secara optimal dan terarah dengan upaya-upaya revitalisasi dan konservasi, menuju Waterfront Development in Heritage-city. (35) 

Dr A Rudyanto Soesilo, anggota Pusat Studi Urban dan Direktur Program Pascasarjana Unika Soegijapranata


http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=65363

Tidak ada komentar:

Posting Komentar